Liputan6.com, Jakarta - Pada April 2016, Garuda Indonesia memberikan konfirmasi pemesanan 14 pesawat baru keluaran Airbus. Pesawat Airbus A330-900neo itu disebut-sebut sebagai versi terbaru dari kelas A330 berbadan lebar yang amat laku di pasaran.
Perjanjian pemesanan itu sendiri ditandatangani dalam suatu upacara di London dengan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dari Indonesia dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris.
Dikutip pada Kamis (19/1/2017) dari terbitan pers perusahaan Airbus, pihak Garuda Indonesia berencana untuk menggunakan A330neo untuk mengembangkan jejaring penerbangan jarak menengah dan panjang.
Advertisement
Baca Juga
Pengembangan itu dimungkinkan oleh teknologi yang terpasang pada pesawat baru tersebut, ditambah lagi dengan pengoperasian yang efisien. Pemesanan 14 pesawat itu merupakan penggantian sekaligus penambahan pesanan sebelumnya untuk jenis A330-300.
Menurut Tom Williams, COO Airbus, "Pesawat A330neo membawa banyak keunggulan, mulai dari keekonomian operasional, pengurangan pemakaian BBM, rendahnya biaya perawatan, dan kemampuan jangkauan yang lebih luas."
Masih dari laman Airbus, pesawat jenis A330neo yang mencakup A330-800 dan A330-900, dibangun mulai Juli 2014 berdasarkan kesuksesan jajaran A330 sebelumnya.
Model A330neo menggunakan mesin Rolls-Royce Trent 7000 generasi terbaru dipadukan dengan perbaikan aerodinamika pesawat, misalnya penggunaan ujung sayap seperti sirip hiu yang terbuat dari bahan komposit.
Dengan demikian, bentang pesawat bertambah 3,7 meter dibarengi dengan peningkatan daya angkat dan penurunan drag, yaitu hambatan aerodinamika.
Untuk bagian dalam, A330neo meminjam sejumlah inovasi dari A350 XWB, misalnya penggunaan teknologi LED dalam kabin dan berguna untuk pengaturan mood. Demikian juga dengan hubungan WiFi, perbaikan panel awak pesawat dan sisipan baru pada lorong.
Melalui penggunaan mesin yang canggih, pesawat itu menawarkan penghematan BBM sekitar 14 persen per tempat duduk dibandingkan dengan A330 yang sedang berproduksi. Pesawat juga lebih senyap dan jarak jelajah bertambah 400 mil laut (740 kilometer).
Karena berbagi dengan keseragaman operasional Airbus, A330 neo juga melengkapi kemampuan jangkauan dan daya angkut A350 XWB, padahal dengan menggunakan jenis penjenjangan latihan pilot yang sama.
Dengan demikian operasi, perawatan, dan pelatihan menjadi lebih mudah bagi perusahaan penerbangan yang menggunakan keduanya, A330neo dan A350 XWB.
Jenis A330-800 memiliki panjang badan yang sama dengan A330-200, sedangkan A330-900 memiliki panjang yang sama dengan A330-300. Keduanya dengan kursi kelas ekonomi yang lega, selebar 46 centimeter.
Pesawat A330-900 yang lebih panjang mampu menampung 287 penumpang dalam konfigurasi 3 kelas, atau sebanyak 440 penumpang untuk konfigurasi penuh. Jarak jelajahnya sekitar 6550 mil laut (12.130 kilometer).
Sejarah Airbus
Perusahaan multinasional Airbus Group SE nmerupakan pembuat pesawat terbang sipil yang berkedudukan di Blagnac, pinggiran Toulouse, Prancis.
Airbus berawal sebagai Airbus Industrie, yaitu suatu konsorsium beberapa pembuat pesawat terbang Eropa. Konsolidasi pada 1999 dan 2000 memungkinkan terbitnya saham bersama pada 2001, dengan kepemilikan 80 persen oleh European Aeronautic Defence and Space Company (EADS) dan 20 persen oleh BAE Systems. Pada 13 Oktober 2006, BAE menjual kepemilikannya kepada EADS.
Dengan jumlah karyawan sebanyak 72.816 orang, sejumlah lokasi produksi ada terutama di Prancis, ditambah beberapa lokasi lain di Jerman, Spanyol, China, Inggris, dan Amerika Serikat. Anak perusahaan ada di Amerika Serikat, Jepang, dan India.
Konsorium itu sendiri dibangun untuk menyaingin perusahaan-perusahaan Amerika Serikat seperti Boeing, McDonnel Douglas, dan Lockheed.
Perusahaan-perusahaan Eropa memiliki inovasi tinggi, tapi hanya berproduksi kecil-kecilan. Pada 1991, Jean Pierson, CEO sekaligus Managing Director untuk Airbus Industrie, menjelaskan mengapa perusahaan AS mendominasi.
Ia menyebutkan luasnya benua Amerika sehingga penerbangan menjadi pilihan, lalu perjanjian Inggris dan Amerika yang mempercayakan produksi pesawat terbang kepada AS, dan Perang Dunia II yang mewarisi AS dengan industri penerbangan yang menguntungkan, giat, berdaya, dan terstruktur.
Baru pada pertengahan 1960-an muncul negosiasi tentatif untuk pendekatan kolaborasi di Eropa. Perusahaan-perusahaan dan pemerintah-pemerintah menyadari risiko dan menerima kolaborasi untuk pengembangan pesawat terbang berpenumpang banyak sebagai bus udara, atau “airbus”.
Advertisement
Inggris dan Prancis
Saat berlangsungnya Paris Air Show 1965, perusahaan penerbangan Eropa mulai secara formal memperbincangkan persyaratan daya angkut lebih dari 100 orang pada jarak pendek, dengan biaya rendah.
Hawker Siddeley, sambil mendesak pemerintah Inggris, berekanan dengan Breguet and Nord untuk mempelajari konsep bus udara tersebut dan menghasilkan Hawker Siddeley/Breguet/Nord HBN 100.
Pada 1966, rekanan bertambah dengan Sud Aviation, disusul Aérospatiale (Prancis), Arbeitsgemeinschaft Airbus, disusul Deutsche Airbus (Jerman Barat), dan Hawker Siddeley (Inggris). Pada 25 Juli 1967, pemerintah 3 negara menyetujui melanjutkan proposal.
Dua tahun kemudian, pemerintah Inggris dan Prancis sama-sama bimbang tentang proyek itu karena MoU mensyaratkan 75 pesanan sebelum 31 Juli 1968. Pemerintah Prancis mengancam undur diri karena pendanaan pengembangan Airbus A300, Concorde dan Dassault Mercure sekaligus, tapi batal menarik diri.
Khawatir tidak balik modal dengan proposal A300B pada Desember 1968, pemerintah Inggris menarik diri pada 10 April 1969 dan kesempatan itu tidak disia-siakan pemerintah Jerman Barat yang kemudian meraup kepemilikan hingga 50 persen.
Karena telanjur ikut serta hingga saat itu dan tidak ada yang mau mengambil alih pembuatan sayap oleh Hawker Siddeley, maka perusahaan Inggris tersebut menjadi subkontraktor istimewa.
Para Pemegang Saham Airbus
Secara formal, Airbus Industrie didirikan sebagai Kelompok Minat Ekonomis (Groupement d'Intérêt Économique atau Economic Interest Group, GIE) pada 18 Desember 1970 berdasarkan prakarsa pemerintah Prancis, Jerman Barat, dan Inggris pada 1967.
Pemegang saham mula-mula adalah Aérospatiale dari Prancis dan Deutsche Airbus dari Jerman Barat. Nama "Airbus" berasal dari istilah bebas yang dipakai di kalangan industri pada 1960-an untuk mengacu kepada pesawat terbang komersial berukuran dan berjangkauan tertentu.
Menurut pembagian pekerjaan, Aérospatiale dan Deutsche Airbus masing-masing melakukan 36,5 persen tugas produksi, Hawker Siddeley 20 persen, dan Fokker-VFW dari Belanda mengerjakan 7 persen tugas produksi. Masing-masing perusahaan mengirimkan bagian-bagian yang telah dikerjakan sebagai barang lengkap yang siap untuk diterbangkan.
Pada 1971, perusahaan CASA dari Spanyol membeli 4,2 persen saham Airbus Industrie, sedangkan Aérospatiale dan Deutsche Airbus masing-masing mengurangi kepemilikan menjadi 47,9 persen.
Pada Januari 1979, British Aerospace yang membeli Hawker Siddeley pada 1977, membeli 20 persen saham Airbus Industrie. Para pemegang saham mayoritas lagi-lagi menurunkan kepemilikan masing-masing hingga 37,9 persen, sedangkan CASA tetap memiliki 4,2 persen.
Advertisement