Liputan6.com, Washington, DC - Saat kampanye Pilpres 2016 lalu, Donald Trump berkoar akan memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Israel, dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Miliarder properti tersebut kepada CNN, Maret 2016, bahkan menyebut, pemindahan tersebut akan dilakukan secara 'sangat cepat'.
Namun, dalam konferensi pers Senin 23 Januari 2017, Juru Bicara Gedung Putih, Sean Spicer bersikeras, belum ada keputusan yang diambil terkait pemindahan kedutaan besar AS di Israel itu.
Advertisement
Baca Juga
"Kita masih dalam tahap awal proses pengambilan keputusan, kata Spicer, seperti dikutip dari CNN, Selasa (24/1/2017).
Spicer menambahkan, pemerintahan Trump masih harus melanjutkan konsultasi dengan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholder).
Pertanyaannya, mengapa pemindahan kedutaan besar AS menjadi isu besar?
Jika AS memindahkan kedutaannya ke Yerusalem, itu berarti Washington DC mengakui kota tersebut sebagai ibukota Israel.
Hal tersebut akan membatalkan konsensus internasional yang telah diberlakukan selama 70 tahun.
Sejumlah orang berpendapat, hal tersebut menjadi sinyal berakhirnya upaya untuk mendamaikan Israel dan Palestina.
Ibukota Masa Depan Palestina
Pada 1947, PBB setuju untuk mengakhiri Mandat Britania untuk Palestina dari tanggal 1 Agustus 1948 -- untuk mengakhiri konflik di wilayah tersebut.
Rencana Pembagian Palestina atau Resolusi 181 kemudian dikeluarkan dengan persetujuan Majelis Umum PBB.
Rencana itu memecah Palestina dalam wilayah untuk Yahudi dan Arab, dengan wilayah besar Yerusalem, termasuk Betlehem, berada di bawah kendali internasional.
Namun, perang kemudian pecah dan diikuti deklarasi kemerdekaan Israel yang kemudian memecah wilayah Yerusalem.
Saat pertempuran berakhir pada 1949, batas gencatan senjata -- atau yang kerap disebut Green Line -- memutuskan Israel mengendalikan wilayah barat Yerusalem, Yordania mendapatkan kontrol wilayah timur -- termasuk Kota Tua.
Selama Perang Enam Hari pada 1967, Israel mengokupasi Yerusalem Timur.
Sejak saat itu, wilayah kota itu di bawah kendali Israel, namun Palestina dan sejumlah pihak di komunitas Internasional menganggap Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina masa depan.
Pada Juli 1980, Israel mengeluarkan keputusan yang mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negeri zionis.
Hal itu langsung direspons oleh Dewa Keamanan PBB yang mengeluarkan resolusi yang mengutuk aneksasi Israel atas Yerusalem Timur dan menyebutkan sebagai pelanggaran hukum internasional.
Sebelum tahun 1980, sejumlah negara seperti Belanda dan Kosta Rika menempatkan kedutaan besarnya untuk Israel -- sebelum akhirnya memindahkannya ke Tel Aviv.
Sejumlah negara menempakan konsulatnya di Yerusalem, termasuk Amerika Serikat.
AS tak pernah menempatkan kedutaan besarnya di Yerusalem, selalu di Tel Aviv. Sementara, kediaman resmi duta besar terletak di Herzliya Pituach.
Pada 1989, Israel menyewakan sebidang tanah luas di Yerusalem pada AS -- untuk mendirikan kedutaan besar. Masa sewa berlaku selama 99 tahun, dengan nilai sangat kecil US$ 1 per tahun.
Hingga saat ini, bidang tanah tersebut tak pernah dibangun. Dibiarkan kosong.
Pada 1995, Kongres AS mengesahkan UU yang meminta AS memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Para pendukungnya mengatakan, AS harus menghormati pilihan Israel untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibukotanya.
Namun, rencana pemindahan tersebut tak pernah direalisasikan. Setiap presiden sejak 1995 -- Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama -- menolak melakukannya, dengan alasan demi keamanan nasional.
Setiap enam bulan, para presiden menggunakan hak abai soal pemindahan kedutaan besar -- waktu peninjauan selanjutnya akan jatuh pada Mei 2017.
Advertisement
Memicu Gelombang Protes
Jika Trump merealisasikan janji kampanye, untuk memindahkan kedutaan besar AS ke Yerusalem, ia harus melakukan banyak hal.
Pertama, memutuskan apakah akan membangun gedung baru di atas tanah yang disewa dari Israel sejak 1989. Atau, AS bisa mengubah fungsi gedung konsulat yang sudah ada menjadi kedubes.
Opsi ketiga, AS masih menempatkan kedubesnya di Tel Aviv namun membuat duta besarnya yang baru melakukan pekerjaan sehari-harinya di Yerusalem.
Pemerintah Israel memuji janji Trump untuk menindaklanjuti pemindahan kedutaan. Wali kota Yerusalem, Nir Barkat bahkan melancarkan kampanye beberapa hari sebelum pelantikan presiden AS -- menagih Trump untuk menepati janjinya.
Sementara, para pemimpin Palestina bersikeras bahwa pemindahan kedubes AS ke Yerusalem adalah pelanggaran hukum internasional dan kemunduran besar bagi harapan perdamaian dua negara.
Sementara itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas melakukan pendekatan ke sejumlah pemimpin dunia, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin dan Raja Yordania Abdullah, untuk membantu menekan Donald Trump untuk mengubah pikirannya.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) bahkan mengancam akan mempertimbangkan mencabut pengakuannya atas Israel, dan membatalkan semua perjanjian antara negeri zionis itu dengan Palestina.
Pemindahan kedutaan besar AS ke Yerusalem juga berpotensi memicu gelombang kerusuhan, protes jalanan hingga kekerasan, di wilayah Palestina dan di seluruh dunia Arab -- bahkan di seluruh dunia.