Liputan6.com, Maghazi - Mahmoud Abdelrahman Hamdan adalah seorang pengungsi Palestina berusia 82 tahun. Kamp Maghazi yang ada di Jalur Gaza tengah adalah tempat tinggalnya.
Sudah puluhan tahun sang kakek berada di sana, setelah meletusnya peristiwa Nakba -- pengusiran bangsa Palestina yang mendorong terbentuknya Israel pada tahun 1948.
Sebelum ajalnya tiba, ia punya keinginan terakhir: pulang ke kampung halamannya di Almoghar.
Advertisement
"Saya ingin pulang ke desa saya," kata dia kepada media The New Arab, seperti dikutip Liputan6.com pada Sabtu (27/5/2017).
Almoghar adalah sebuah desa yang berjarak sekitar 12 km dari selatan kota Ramla Israel. Namun, kampung halamannya kini terhapus dari peta. Pemerintah Israel telah membinasakannya.
Kehidupan yang dijalaninya relatif wajar. Ia punya lima orang anak, banyak cucu. Meski tak lagi muda, Mahmoud masih sehat dan berkomunikasi secara jelas.
Meski mensyukuri kehidupannya, ada perasaan rindu yang menyeruak dari kalbunya. Ia ingin pulang.
"Kembali ke Almoghar adalah sebuah impian, hidup dengan damai dan bahagia. Tiada masalah besar yang kami temui setiap hari. Saya ingat betul ketika sebuah pernikahan berlangsung, acara digelar empat sampai lima hari. Terlihat pemuda-pemudi yang menari dan makanan yang lezat begitu banyak disajikan," ujar Mahmoud.
Saat beranjak remaja, beberapa tahun sebelum peristiwa Nakba Palestina meletus, Mahmoud sempat bergabung dengan sekelompok pemuda desa di sebuah pos pemerintahan yang dikelola oleh pemerintah Inggris.
"Saya ingat betul, saat usia 12 tahun pemerintah Inggris merekrut banyak pemuda setempat untuk bekerja. Termasuk restoran yang dikelola oleh orang Inggris. saya sendiri bekerja sebagai tukang cuci piring. Sampai hari ini saya masih ingat beberapa kosa kata dalam bahasa Inggris," ujar Mahmoud mengingat masa lalunya.
Hidup Sederhana
Abdelrahman, ayah Mahmoud, adalah seorang petani biasa. Ayah dan kakeknya memiliki sebidang tanah. Di ladang sempit itu, sang ayah biasa menanam semangka dan wijen.
Baca Juga
Sedangkan di rumahnya yang berada di kota Almoghar terdapat beberapa ekor sapi yang diternakan. Hewan itu menghasilkan susu murni dan pasokan daging. Hidupnya di masa muda sangat lah menyenangkan.
Cerita kehidupan yang ia sampaikan begitu tampak berbeda sebelum terjadinya peristiwa Nakba Palestina. Mahmoud kembali menapak tilas kehidupannya saat memasuki bulan Ramadan.
"Setelah berbuka puasa bersama, kami para pemuda-pemudi berkumpul di sebuah aula hanya untuk berbincang-bincang sambil meminum segelas kopi. Hidangan berbuka puasa juga beragam, kami kerap menyantap hidangan bernama fatta, nasi campur dengan daging dan couscous atau maftoul."
Namun, suatu hari, ia dan penduduk desa dipaksa keluar dari Almoghar.
"Pada hari itu, kami mendengar beberapa desa terdekat seperti Aqer diserang oleh pasukan militan Israel. Desa kami tak ada pejuang, bahkan persenjataan saja kami tak punya. Karena mereka memaksa, akhirnya kami harus rela meninggalkan desa kami di bawah tekanan senjata api militan Israel," ujar Mahmoud.
"Setelah meninggalkan Almoghar, kami dibawa menuju kota Ashkelon di wilayah barat. Saya dan keluarga berhasil menyelamatkan diri dari pasukan itu dan bersembunyi di sebuah perkebunan milik Sayed Abu Sharekh. Tetapi menjelang dua bulan kemudian militan Israel kembali menyerang kota Askelon. Pada akhirnya dengan terpaksa kami kembali mengungsi ke kota terdekat bernama Barbara," tambahnya.
"Akhirnya kami pindah ke Jalur Gaza yang menjadi kamp pengungsi Maghazi. Dari sinilah keadaan sulit keluarga kami dimulai," ucap Mahmoud.
Mahmoud mengaku ini adalah penderitaan tersulit yang ia alami selama beberapa dekade terakhir.
Nakba Palestina atau peristiwa malapetaka diperingati setiap tahun nya. Kejadian mengharukan itu telah menimpa lebih dari 700 ribu warga Palestina yang berasal dari 450 desa yang usir dari tanah kelahirannya.
Selain kisah pilu yang dirasakan oleh Muhmoud Abdelrahman Hamdan, kisah serupa juga dialami oleh perempuan tua bernama Etaf Misleh.
Nenek berusia 80 tahun itu sempat tinggal di sebuah desa bernama Batani Timur yang berjarak 40 km dari Jalur Gaza. Dulu, di kota itu Etaf merasakan kehidupan yang layak dan bahagia.
"Kehidupan yang penuh suka dan kebahagiaan bermula dari bumi Batani. Peristiwa Nakba sungguh momen menjadi momen yang menyayat-nyayat hati. Saya ingat betul ketika ayah saya memiliki belasan ekor sapi yang kemudian salah satunya disembelih untuk disajikan kepada para tamu yang datang ke rumah. Segala keramahan, kebahagiaan dan suasana suka hanya kami rasa selama tinggal di Batani," ujar nenek yang memiliki puluhan cucu tersebut.
Etaf mengingat beberapa hidangan terkenal yang dimasak sang ibu di atas meja makan. Salah satu makanan yang terkenal adalah fatta. Ia juga mengingat beberapa pesta yang ia hadiri saat berada di kampung halaman.
Menggunakan gaun tradisional yang indah dengan bordir yang sempurna ia berkumpul bersama teman-teman dan menyanyikan lagu rakyat yang berjudul 'Ya Zareef Altoul' yang berarti 'Kamu Selalu Terlihat Cantik'.
Pada tahun 1948, saat Nakba meletus, Etaf dan keluarga dipaksa meninggalkan desa Batani timur tanpa membawa apapun kecuali beberapa pakaian.
"Saya ingat bahwa ayah saya, paman saya dan beberapa orang lainnya, sedang membicarakan kekejaman militan Israel di Desa Deir Yasin Palestina. Karena desa itu adalah tempat pertanian dan orang-orang di sana tidak memiliki persenjataan maka penduduk dipaksa untuk pergi di tengah rasa ketakutan yang terus membayangi," ujar Etaf.
"Saya ingin mengirim sebuah pesan kepada Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu. Bahwa Netanyahu harus mengakui hak kami atas tanah air Palestina. Kemudian, orang-orang Palestina dapat hidup bersama dengan siapa pun dalam kedamaian dan stabilitas," tambahnya.
Selama 69 tahun, warga Palestina tinggal di Jalur Gaza setelah pemerintah Israel mengambil paksa tanah nenek moyang mereka. Kini banyak warga Palestina yang hidup luntang-lantung di beberapa negara Arab seperti Suriah, Lebanon dan Yordania.
Ada sekitar 13 juta warga Palestina di seluruh dunia. Dan 1,5 juta di antaranya tinggal di Jalur Gaza.
"Saya ingin pergi ke desaku, saya hanya ingin pulang," kata Mahmoud.