Liputan6.com, Perth - Manusia yang dipaksa kerja keras tanpa dibayar, hidup dengan kondisi memprihatinkan bahkan tak jarang menjadi sasaran penyiksaan -- itu bukan cerita lama perbudakan pada masa lalu.
Praktik jahat itu ternyata masih ada hingga kini. Jejaringnya yang rumit dan terselubung bisa saja merasuk ke rantai yang menjadi urat nadi perekonomian global.
Banyak yang tak menyadari, isu perbudakan modern lekat dengan dengan kehidupan kita. Sangat dekat!
Advertisement
Baca Juga
Makanan yang tersaji di meja makan, pakaian yang kita kenakan, perangkat elektronik yang selalu dipakai, mungkin dihasilkan dari perasan keringat dan tetesan darah para korban perbudakan.
Misalnya, pada 2015 lalu, dunia dikejutkan dengan pengungkapan praktik perbudakan dalam industri perikanan laut di Benjina, Maluku, Indonesia.
Ratusan pria, sebagian besar berasal dari Myanmar, terjebak dalam situasi perbudakan. Mereka berpindah-pindah kapal, bekerja 18-20 jam per hari tanpa digaji, hanya minum air laut yang sudah direbus.
Mereka yang didapati sedang mengeluh atau beristirahat karena kelelahan akan mendapatkan hukuman cambuk.
Para korban tak pernah mendapatkan manfaat dari apa yang mereka hasilkan dari laut. Ikan, udang, cumi, dan makanan laut lainnya berakhir di toko kelontong besar di Amerika, masuk dalam makanan kaleng, menjadi bahan menu restoran mahal, dan dikonsumsi banyak orang di meja makan.
Dan itu baru satu kasus yang terbongkar. Masih banyak yang lain.
Untuk memberantas praktik perbudakan modern hingga ke akarnya, peran pemerintah tidaklah cukup.
Bali Process, sebagai salah satu inisiatif untuk melawan perbudakan, tahun ini mulai menggandeng sektor swasta dan bisnis.
Kerja sama tersebut sedang dirumuskan dalam ajang Bali Process Government and Business Forum yang digelar di Perth, Australia pada 24-25 Agustus 2017.
"Kerja sama kawasan dan lintas-sektor merupakan satu-satunya cara untuk menyusup ke jaringan kriminal yang menyebabkan puluhan juta jiwa menderita," kata Andrew Forrest, salah satu ketua "Bali Process Government and Business Forum" dari sektor swasta dan bisnis dalam telekonferensi dengan wartawan Indonesia, Kamis (24/8/2017).
Penggagas gerakan Walk Free Foundation tersebut menambahkan, ada lebih dari 30 perusahaan dan badan usaha yang berkomitmen bekerja sama membangun strategi dan kemitraan, untuk memberantas perbudakan modern. "Belum pernah diadakan forum seperti ini sebelumnya," kata dia.
Forrest menambahkan, Asia Pasifik adalah yang paling terdampak dan berisiko. Sebab, dari sekitar 45,8 juta korban perbudakan modern, lebih dari 66 persen korbannya berada di wilayah tersebut.
Chairman Fortescue Metals Group tersebut mengatakan, bahkan negaranya tak bisa lepas tangan dari masalah tersebut.
"Praktik perbudakan modern yang menyedihkan tersebut juga mengancam Australia, mengingat sebagian besar rantai pasokan yang memproduksi barang yang kita beli dan konsumsi berasal dari kawasan Asia Pasifik."
Senada, Co-Chair Bali Process Government and Business Forum dari sektor swasta dan bisnis, Eddy Sariaatmadja mengatakan, kemitraan pemerintah dan sektor swasta sangat penting untuk mengakhiri perbudakan modern.
"Sektor bisnis, sebagian, mungkin menjadi sumber masalah ini. Namun, kita juga memiliki kapasitas terbaik untuk mengurangi, dan semoga, mengakhiri perbudakan modern," kata Eddy Sariaatmadja.
(Laporan Reza Ramadhansyah/Liputan6 SCTV dari Perth, Australia)