Liputan6.com, Naypyidaw - Kepolisian Myanmar telah resmi menjatuhkan dakwaan hukum kepada dua jurnalis asing, satu jurnalis lokal, dan satu warga setempat, beberapa hari usai keempatnya menerbangkan drone di atas gedung Parlemen Myanmar.
Seperti dikutip dari The Guardian (31/10/2017), dua jurnalis asing itu adalah Lau Hon Meng (Singapura) dan Mok Choy Lin (Malaysia) yang bekerja untuk media pemerintah Turki, TRT.
Satu jurnalis lokal yang diringkus dan mendapat dakwaan serupa adalah Aung Naing Soe. Sementara satu warga setempat yang bernasib serupa adalah Hla Tin, sopir untuk ketiga jurnalis tersebut.
Advertisement
Keempatnya ditangkap pada Jumat, 27 Oktober 2017 di Naypyidaw. Hingga kini mereka mendekam di tahanan setempat hingga persidangan tiba.
Aparat penegak hukum mendakwa mereka atas tuduhan "mengimpor barang yang dilarang pemerintah" dengan ancaman maksimal tiga tahun penjara. Barang yang dimaksud adalah drone yang mereka terbangkan di atas gedung Parlemen Myanmar di Naypyidaw pada Jumat pekan lalu.
Menurut laporan The Guardian, kedua jurnalis TRT itu tengah melaksanakan tugas jurnalistik saat diciduk oleh aparat setempat. Begitu pula Aung Naing Soe (mantan jurnalis Coconuts.co) yang dipekerjakan oleh Lau Hon Meng dan Mok Choy Lin sebagai penerjemah.
Lembaga pegiat HAM yang berbasis di London, Burma Human Rights Network (BHRN), mengecam insiden penangkapan para jurnalis itu. Mereka mendesak agar aparat membebaskan Aung Naing Soe dan Hla Tin yang sejatinya bukan pemilik drone tersebut.
BHRN juga menambahkan bahwa penangkapan itu mungkin merupakan bentuk persekusi pemerintah atas riwayat jurnalistik Aung Naing Soe, yang "memiliki kemauan untuk secara adil meliput diskriminasi dan kejadian tidak demokratis di dalam negeri".
Pegiat HAM yang berbasis di London itu melanjutkan, "Bahkan meski melanggar hukum, potensi tiga tahun penjara karena melakukan kejahatan ringan tampak berlebihan, padahal pemberian denda sebagai bentuk sanksi dirasa cukup layak."
Beberapa kasus penangkapan jurnalis kerap terjadi di Myanmar beberapa tahun ini, memicu kekhawatiran akan erosi kebebasan pers yang justru berkembang setelah berakhirnya rezim junta militer sejak 2011 lalu.
Sebagian besar jurnalis yang ditangkap kerap didakwa atas pasal penghinaan. Mereka juga kerap diringkus setelah meliput kelompok pemberontak bersenjata di Myanmar.
Insiden itu juga terjadi di tengah tensi tinggi antara Myanmar dan Turki. Beberapa bulan terakhir, Presiden Turki Reccep Erdogan kerap mengecam Naypyidaw atas sikap mereka dalam menangani krisis kemanusiaan Rohingya.
Presiden Erdogan menuduh Myanmar dan sejumlah kelompok etnis mayoritas telah melakukan genosida terhadap Rohingya.
Hingga kini, lebih dari setengah juta etnis Rohingya melakukan eksodus massal usai konflik bersenjata yang pecah di Rakhine pada akhir Agustus 2017 lalu.