Liputan6.com, Jakarta - Seperti orang mati, begitulah yang dirasakan oleh Mahmoud, pengungsi dari Ghazni, Afghanistan. Pria ini telah mengungsi di Indonesia selama lima tahun terakhir, sejak 2013 hingga kini.
Konflik berdarah antara Taliban, pasukan pemerintah Afghanistan, dan kelompok teroris lainnya menjadi alasan utama bagi Mahmoud meninggalkan anak-istri dan handai tolan di tanah kelahiran.
Berbekal baju serta uang secukupnya untuk biaya transportasi dan hidup, Mahmoud membulatkan tekad.
Advertisement
Ia berangkat seorang diri. Tujuannya ke Indonesia, negeri transit para pengungsi.
Harapannya, dari Indonesia, otoritas Keimigrasian atau UNHCR RI dapat mengirim Mahmoud ke negara re-settlement atau penerima pengungsi.
Baca Juga
Kemudian, setelah mendapat suaka dari negara penerima pengungsi, Mahmoud bisa membawa serta anak-istri dari Ghazni.
Kenyataannya tidak demikian. Mahmoud justru luntang-lantung di Indonesia. Nasibnya tak pasti.
Parahnya, uang yang ia bawa dari Afghanistan untuk biaya hidup, sudah habis. Lima tahun berstatus pengungsi di negeri orang, Mahmoud tak bisa mencari pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan.
Nasib kemudian menghantarkannya ke Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Berbekal tenda terpal, Mahmoud berkemah di trotoar di samping kantor UNHCR Indonesia, mengharap bantuan dari mereka.
"Sekarang uang saya habis. Kini saya berkemah di sini (di dekat kantor UNHCR Indonesia), karena saya tak punya lagi dukungan," kata Mahmoud saat ditemui Liputan6.com di tendanya di Kebon Sirih, 5 April 2018.
Namun, bantuan tak kunjung datang. Mahmoud pun putus asa.
"Kami sendirian dan merasa seperti orang mati di sini ... jauh dari anak dan istri," kata pria berusia 39 tahun itu.
Saat ini, keinginan Mahmoud sederhana. Ia ingin, UNHCR Indonesia mampu mengirimnya ke negara re-settlement.
"Ke mana pun mereka mengirim saya, terserah," ujarnya.
Namun, Mahmoud tak sendiri. Ada ratusan pengungsi lain dari luar negeri yang bernasib serupa sepertinya; luntang-lantung di trotoar Jakarta.
Berikut ini video tentang pengungsi yang telantar dan hidup di trotoar di Jakarta: