Liputan6.com, Kabul - Sekitar 3,7 juta anak-anak Afghanistan harus putus sekolah akibat perang, kemiskinan, pernikahan, dan diskriminasi gender terhadap murid perempuan, kata sejumlah badan kemanusiaan dalam laporan bersama yang dirilis Minggu, 3 Juni 2018.
Kekerasan yang terus meluas memaksa banyak sekolah meliburkan siswa, sehingga memukul mundur kemajuan yang sudah diperoleh pada aspek pendidikan untuk perempuan di negara tersebut.
Sekitar 3,7 juta anak-anak berusia tujuh hingga 17 tahun, atau 44 persen dari keseluruhan anak-anak, harus berhenti sekolah.
Advertisement
Sebanyak 2,7 juta di antaranya adalah perempuan, kata Menteri Pendidikan Mirwais Balkhi dalam seminar, yang menjelaskan temuan penelitian oleh badan anak-anak PBB UNICEF, USAID, dan lembaga Samuel Hall. Demikian seperti dikutip dari Antara (4/6/2018).
Kelompok Taliban di Afghanistan, yang berupaya menggulingkan pemerintahan dan menerapkan aturan diskriminatif, dikenal menolak pendidikan untuk perempuan. Selain itu, ancaman dari ISIS di Afghanistan juga memaksa puluhan sekolah tutup.
Baca Juga
Tanpa menyebut Taliban ataupun ISIS, Balkhir mengatakan bahwa "banyak alasan" kenapa anak-anak berhenti sekolah.
"Pendidikan bagi anak adalah hal terpenting bagi pembangunan bagi semua komunitas manusia. Pendidikan juga merupakan alat penting untuk menghentikan peperangan, kemiskinan, dan pengangguran," kata dia.
Di sejumlah provinsi Afghanistan yang paling terdampak, hampir 85 persen anak perempuan tidak bersekolah sama sekali, kata laporan terbaru ini. Ketiga lembaga yang menggelar penelitian tidak menuliskan periode periode waktu yang spesifik ataupun perbandingan.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Kekerasan di Afghanistan Memicu Anak-Anak Putus Sekolah
Pada April tahun ini, sekelompok orang bersenjata membakar dua sekolah, sementara kekerasan yang meluas membuat ratusan sekolah swasta menutup operasi mereka.
"Afghanistan tidak bisa meneruskan kebijakan yang ada jika ingin memenuhi hak pendidikan bagi semua anak," kata Adele Khodr dari UNICEF dalam dokumen laporan yang sama.
"Saat anak-anak tidak berada di sekolah, mereka semakin terancam menerima kekerasan, eksploitasi, dan direkrut oleh kelompok bersenjata," kata dia.
Salah seorang remaja putri, Ziwar, dari provinsi Daikundi yang merupakan salah satu daerah teraman di Afghanistan, mengatakan bahwa dia hanya bisa bersekolah sampai umur 14 tahun.
"Saya bisa membaca dan menulis. Saya bisa menulis sebuah surat," kata Ziwar dalam seminar yang sama dengan menteri Balkhir.
"Saya belajar dari buku. Saya ingin meneruskan pendidikan saya. Saya bercita-cita menjadi dokter," kata dia.
Advertisement