Pemilu Turki: Erdogan Kembali Berkuasa Sebagai Presiden

Putaran pertama pemilu Turki yang digelar pada akhir pekan lalu, menunjuk Recep Tayyip Erdogan kembali sebagai presiden.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 25 Jun 2018, 09:35 WIB
Diterbitkan 25 Jun 2018, 09:35 WIB
Keakraban Erdogan, Putin, Rouhani Saat Bahas Perdamaian Suriah
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berbicara dalam menggelar pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Iran Hassan Rouhani terkait perdamaian Suriah di Ankara, Turki, Rabu (4/4). (AFP PHOTO/ADEM ALTAN)

Liputan6.com, Ankara - Pemimpin petahana Turki, Recep Tayyip Erdogan, berhasil memenangi putaran pertama pemilu presiden di negara itu.

Kepala otoritas pemilu setempat, Sadi Guven, mengatakan bahwa Erdogan, "menerima mayoritas mutlak dari semua suara sah", tetapi tidak memberikan rincian lebih lanjut.

Dikutip dari BBC pada Senin (25/6/2018), laporan media setempat menyebut Erdogan berhasil meraih 53 persen dari total 99 persen suara yang dihitung. Persentase tersebut cukup jauh di atas pesaing terdekatnya, Muharrem Ince, sebanyak 31 persen.

Pihak oposisi belum secara resmi mengakui hasil pemilu tersebut dan mengatakan akan melanjutkan perjuangan demokrasi mereka, "apa pun hasilnya".

Adapun pengumuman resmi dari otoritas pemilu setempat akan dirilis pada 29 Juni 2018.

Selain memenangi putaran pertama pemilu presiden, Erdogan juga mengabarkan bahwa aliansi Partai AK--partai yang menaungi dirinya--turut meraih suara mayoritas di parlemen.

"Turki telah memberikan pelajaran baru tentang demokrasi ke seluruh dunia," kata Erdogan.

Di bawah konstitusi baru Turki, yang akan berlaku setelah pemilu terkait, presiden akan memegang kekuasaan cukup besar.

Para kritikus berpendapat peningkatan peran tersebut akan menyebabkan terlalu banyak kekuatan terkumpul di tangan satu orang. Hal itu berarti bahwa Turki tidak memiliki "checks and balances" dari pemangku jabatan eksekutif lainnya, seperti yang diaplikasikan di Prancis atau Amerika Serikat.

Kantor berita resmi Turki, Anadolu, melaporkan bahwa dalam total 96 persen penghitungan awal, Partai AK berhasil memimpin dengan 42 persen suara, di mana hampir setengah dari raihan pihak oposisi sebanyak 23 persen.

Meski begitu, otoritas pemilu Turki menegaskan bahwa Partai HDP yang pro-Kurdi, telah mencapai ambang batas 10 persen yang diperlukan untuk memasuki parlemen Turki. 

Hasil tersebut telah diprediksi oleh para pengamat, yang memeringatkan bahwa kian kuatnya eksistensi HDP akan membuat aliansi partai pendukung Erdogan lebih sulit mencapai suara mayoritas, meski faktanya saat ini "gerombolan sang presiden" telah berada di jalur positif.

Di sisi lain, ada laporan bahwa pesaing terdekatnya, Ince, telah mengakui kekalahan dalam sebuah pesan untuk seorang wartawan, meski ini belum dikonfirmasi.

Sebelumnya, pada hari Minggu, 24 Juni 2018, Ince menuduh kantor berita Anadolu melakukan "manipulasi" atas pelaporannya tentang angka-angka pembagian suara.

Sayangnya, dia enggan mengkonfirmasi pertanyaan media terhadap isu tersebut, dan mengatakan hanya akan berkomentar ketika hasil resmi diumumkan pada Jumat nanti.

 

Simak video pilihan berikut:

 

 

Kekuatan Baru yang Lebih Berdaya

Dukungan Warga Turki untuk Tentaranya yang Perangi Kurdi di Suriah
Warga membentangkan bendera sebagai dukungannya terhadap tentara Turki yang sedang memerangi milisi Kurdi di Suriah, Kilis, Turki, Jumat (26/1). Pasukan Demokratik Suriah mengatakan serangan Turki telah menewaskan 100 orang. (AP Photo/Lefteris Pitarakis)

Pemilu Turki semula dijadwalkan berlangsung pada November 2019, tetapi kemudian dimajukan menjadi akhir pekan lalu oleh Erdogan.

Presiden terpilih nantinya akan menjadi yang pertama memerintah di bawah konstitusi baru, yang didukung referendum ketat tahun lalu oleh 51 persen pemilih.

Sementara kandidat lainnya menolak perubahan, Erdogan akan memulai masa jabatan keduanya yang berdaya ganda (turbo-charged). Tugas perdana menteri dihilangkan, dan presiden memiliki wewenang lebih, termasuk kemampuan menunjuk secara langsung pejabat senior dan campur tangan dalam pengaturan sistem hukum.

Erdogan, yang partainya berakar pada paham Islamisme, pernah menjabat sebagai perdana menteri selama 11 tahun, sebelum kemudian menjadi presiden pada 2014.

Mulusnya karier politik Erdogan membuat para pengamat kerap bercanda bahwa sang presiden tidak akan pernah kesulitan menghadapi pemilu.

Di sisi lain, kandidat presiden dari kubu kiri-tengah yang berapi-api, Muharren Ince, berhasil menarik massa besar melalui kampanyenya yang menuduh Erdogan sebagai penguasa otoriter.

Sebagai balasan, kubu pro-pemerintah menuduh Ince--yang merupakan mantan guru fisika--tidak memiliki keterampilan memimpin.

Pasca-kehadiran Ince yang kian terus bersuara lantang, dan juga akibat percobaan kudeta pada 2016, Erdogan pun bergerak mengkonsolidasikan kekuatannya.

Turki telah berada dalam keadaan darurat sejak itu, dengan 107.000 pegawai negeri dan tentara diberhentikan dari pekerjaan mereka. Lebih dari 50.000 orang telah dipenjara sambil menunggu persidangan sejak Juli 2016.

Ada empat kandidat lain pada pemungutan suara kepresidenan, tidak ada yang tampak sangat kuat.

Karena Erdogan dinyatakan telah memenangkan lebih dari 50 persen suara, pemilu presiden kemungkinan besar tidak akan sampai ke putaran kedua.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya