Liputan6.com, Abuja - Setidaknya 86 orang tewas di Nigeria, menyusul bentrokan sengit antara petani dan penggembala di negara bagian Plateau.
Beberapa laporan mengatakan, bentrokan tersebut bermula pada Kamis, 21 Juni 2018, ketika petani dari etnis Berom menyerang penggembala dari etnis Fulani yang menewaskan lima orang.
Dikutip dari BBC pada Senin (25/6/2018), serangan balasan yang dilakukan pada Sabtu, 23 Juni 2018, menyebabkan lebih banyak kematian.
Advertisement
Negara bagian Plateau disebut memiliki sejarah kekerasan terbesar di Nigeria. Selama puluhan tahun, beberapa kelompok etnis saling bersaing memperebutkan lahan.
Oleh karenanya, sejak satu dekade terakhir, jam malam diberlakukan di tiga wilayah rentan konflik di negara bagian terkait.
Baca Juga
Komisioner polisi negara bagian Plateau, Undie Adie, mengatakan bahwa hasil pencarian pasca-kerusuhan menemukan sebanyak 86 orang tewas, dan enam lainnya luka parah.
Adie juga mengatakan sebanyak 50 unit rumah hangus terbakar, serta 15 buah sepeda motor dan dua kendaraan rusak parah.
Menyusul bentrokan berdarah itu, pemerintah negara bagian Plateau pun memberlakukan jam malam lebih dini, yakni antara pukul 18.00 hingga 06.00 di keesokan harinya.
Adapun wilayah utama yang terkena aturan jam malam tersebut adalah Riyom, Barikin, dan South Jos yang dinilai "rawan pelanggaran hukum dan ketertiban".
Mennurut Adie, bentrokan di Plateau merupakan konflik lawas yang kembali bangkit, namun dengan tingkat kebrutalan baru.
Di wilayah tengah Nigeria, komunitas pertanian menetap dan penggembala nomaden sering terlibat adu konflik, yang umumnya disebabkan oleh perebutan akses bidang tanah.
Namun dalam beberapa tahun belakangan, bentrok antar-etnis telah berubah menjadi perang komunal yang telah menewaskan ratusan orang hingga akhir tahun lalu.
Simak video pilihan berikut:
Konflik yang Berakar Puluhan Tahun
Dataran tinggi Plateau dihuni oleh komunitas muslim di bagian utara dan Nasrani di bagian selatan.
Kelompok penggembala nomaden berasal dari etnis Fulani yang beragama Islam, dan kelompok petani umumnya menganut ajaran Kristen.
Meski konflik di antara keduanya telah berakar puluhan tahun, namun pemerintah masih belum bisa menemukan alasan pasti di balik meningkatkan lonjakan kekerasan dalam beberapa tahun terakhir.
Presiden Nigeria menyalahkan eskalasi peningkatan senjata api dari Libya sebagai pemicu kasus kekerasan terkait. Di sisi lain, banyak pihak menuding akar masalahnya berasal dari kegagalan pasukan keamanan dalam memerangi dua kelompok pemberontak sekaligus, yakni Boko Haram di utara dan militer di wilayah selatan yang kaya minyak.
Gubernur negara bagian Plateau, Simon Lalong, mengatakan pihaknya telah berupaya "untuk mengamankan masyarakat yang terkena dampak dan menangkap para pelaku kejahatan ini".
"Sementara kami berdoa untuk bimbingan Tuhan melalui masa sulit ini, kami akan melakukan segala kemungkinan secara manusiawi untuk mengamankan negara," kata Gubernur Lalong.
Presiden Nigeria Muhammadu Buhari --merupakan keturunan Fulani-- berada di bawah tekanan yang meningkat di bawah tuntutan mengatasi ketegangan menjelang pemilu 2019.
Ia memerintahkan pengiriman pasukan polisi tambahan ke wilayah rawan konflik tersebut sejak awal 2018, namun belum juga menemukan titik terang penyelesaiannya hingga kini.
Pasukan khusus juga telah dikerahkan ke negara-negara bagian yang terletak di bagian tengah negara tersebut, seperti misalnya Nasarawa dan Taraba, dengan tujuan "mencegah konflik lebih lanjut".
Advertisement