Liputan6.com, New York - Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Masalah Kemanusiaan, Mark Lowcock, mengatakan dalam jumpa pers di Pyongyang, Rabu (11/7), bahwa Korea Utara menghadapi masalah malnutrisi, air bersih layak minum dan kekurangan obat-obatan.
Memang sudah banyak kemajuan yang dicapai dalam 20 tahun terakhir, tapi masih ada berbagai tentangan kemanusiaan yang signifikan, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (13/7/2018).
Menurutnya, kurang lebih 20 persen anak-anak gagal tumbuh kembang karena malnutrisi, dan sekitar separuh anak-anak di daerah pedesaan Korea Utara mengonsumsi air yang terkontaminasi.
Advertisement
Baca Juga
Dia menambahkan, kekurangan obat-obatan dan perlengkapan kedokteran membuat pihaknya sangat sulit memberikan perawatan medis kepada orang-orang.
PBB sedang berusaha mengumpulkan dana US$ 111 juta untuk Korea Utara. Sejauh ini, katanya, baru 10 persen yang terkumpul dari Swedia, Swiss, dan Kanada.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pembelot: Krisis Kemanusiaan di Korut Sangat Buruk
Perempuan Korea Utara yang menjadi pembelot menyebut, rezim totaliter Kim Jong-un sangat buruk. Bahkan, keburukan rezim itu jauh melampaui dari apa yang digambarkan oleh media.
Sebut saja namanya Joy, perempuan itu menjadi pembelot saat berusia 18 tahun. Tak jelas pada tahun berapa ia meninggalkan tanah airnya untuk menuju China. Demikian seperti dilansir Independent.
Nahas bagi Joy. Niat hati ingin terbebas dari belenggu totaliter Korut, ia justru menjadi korban, terperosok masuk ke dalam jerat sindikat perdagangan manusia Negeri Tirai Bambu.
Ia kemudian dijual untuk menjadi pengantin untuk dinikahi seorang pria Korea Selatan. Dari pernikahan yang "dipaksakan" itu, Joy memiliki seorang anak perempuan.
Masih merasa terbelenggu, Joy kembali melarikan diri dari Korsel, meninggalkan anak perempuan dan suaminya.
Perempuan yang kini berusia 25 tahun itu menceritakan kisah hidupnya di Korea Utara melalui laman elektronik forum Reddit dalam kanal "ask me anything".
"Saya tidak menghabiskan banyak waktu di sekolah mengingat betapa sulitnya hidup kami," jelas Joy.
Joy juga menambahkan, ketika dunia hanya berfokus pada krisis rudal, nuklir, dan militer Korut, ada satu masalah besar lain yang luput dari perhatian, yaitu krisis kemanusiaan yang melanda di Korea Utara.
"Kondisinya sangat buruk, lebih dari yang diberitakan oleh media. Hampir rata-rata penduduk Korut hidup terseok-seok," jelas perempuan yang sempat hidup 18 tahun di Korut.
"The Great Famine di Korut (1994 - 1998) membuat kami hidup tanpa makanan. Untuk mengatasi hal itu, kami memilih bekerja di ladang ketimbang sekolah."
Ia juga menjelaskan, hanya orang-orang terpilih yang dapat tinggal di Ibu Kota Pyongyang, yakni, mereka yang setia terhadap rezim. Sementara itu, bagi yang tak setia terhadap rezim, penjara adalah hunian untuk mereka.
"Saya tahu beberapa orang yang menghilang dan rumor menyebut bahwa mereka dibawa ke kamp kerja paksa. Tidak ada cara untuk mengonfirmasi memang, karena mereka hilang begitu saja pada suatu hari."
Advertisement