Kado China untuk Presiden Filipina Duterte: Kapal dan Granat Berpeluncur Roket

Sebagai penanda hubungan yang kian erat, China memberi hadiah kapal dan granat berpeluncur roket kepada Filipina.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 31 Jul 2018, 07:31 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2018, 07:31 WIB
Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersalaman dengan Presiden China Xi Jinping
Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersalaman dengan Presiden China Xi Jinping (Etienne Oliveau/Pool Photo via AP)

Liputan6.com, Manila - Pemerintah China dikabarkan segera menyumbang empat buah kapal sepanjang 12 meter dan 30 granat berpeluncur roket (RPG) kepada Filipina, sebagai hadiah atas hubungan baik Beijing dengan negara yang tengah dipimpin oleh Presiden Rodrigo Duterte itu.

Menurut Komandan Angkatan Laut Filipina, Jonathan Zata, hibah tersebut melanjutkan kesepakatan bantuan dari China pada tahun lalu, berupa sekitar 6.000 senjata serbu, ratusan senapan jitu, senjata kecil, dan amunisi.

Dikutip dari South China Morning Post pada Senin (30/7/2018), Komandan Zata mengatakan bahwa seluruh bantuan dari China itu merupakan peralatan baru, yang dimaksudkan untuk memberi dukungan logistik jangka panjang terhadap peran Filipina dalam menjaga perdamaian nasional dan regional.

Disebutkan pula bahwa senjata serbu telah diserahkan kepada Kepolisian Nasional Filipina (PNP), untuk membantu mengisi kekurangan alat pasca-pembekuan pesanan 26.000 senapan M4 oleh legislator Amerika Serikat (AS) pada 2016.

Pembekuan pesanan itu terjadi di tengah kekhawatiran AS terhadap tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam perang sengit Presiden Duterte terhadap narkoba, yang telah menewaskan ribuan orang di Filipina.

Presiden Duterte, yang belakangan dinilai bersikap kian kritis terhadap AS, berusaha memperbaiki hubungan antara Filipina dengan musuh lamanya, China. Seakan menutup mata tentang perselisihan di Laut China Selatan, kini Manila berusaha mempererat hubungan politik dan perdagangan dengan Beijing.

Meski masih kecil dalam hal persetase, namun bantuan Tiongkok terhadap Filipina dinilai oleh beberapa pengamat, sebagai manuver tajam pemerintahan Duterte dalam memosisikan negara itu dalam peta hubungan strategis di tingkat Asia Pasifi, dan khususnya di Laut China Selatan.

Selama ini, Manila lebih banyak menerima bantuan senjata dari AS, yang dimulai sejak perjanjian kedua negara pada 1950-an. Selama lima tahun terakhir, Washington menyediakan 15 miliar peso (setara Rp 11,5 triliun) bantuan militer, termasuk pesawat tak berawak, kapal, pesawat pengintai, dan senapan serbu.

Selain itu, Filipina dan AS juga diketahui rutin mengadakan latihan gabungan selama puluhan tahun, dengan rata-rata diikuti oleh 300 pasukan. Namun, hal itu dalam beberapa waktu terakhir kerap dirongrong oleh desakan Duterte atas penyesuaian pakta pertahanan bilateral pasca-merdeka dari Washington pada 1946 silam.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

Memiliki Sejarah Perselisihan

Lawan Ancaman Terorisme, Duterte Jajal Senjata Kiriman dari China
Presiden Filipina Rodrigo Duterte memeriksa senapan serbu CQA5 buatan China di Clark Airbase di Filipina (28/6). (AP Photo/Bullit Marquez)

Filipina dan China disebut memiliki sejarah perselisihan tentang kedaulatan maritim. Namun, di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, Manila justru mengambil pendekatan damai untuk mengajukan pinjaman, kerja sama perdagangan, dan mengundang investasi Beijing.

Media lokal beberapa kali memberitakan tentang pujian Duterte terhadap mitra pemimpin Negeri Tirai Bambu, Xi Jinping, dan bahkan sempat menawarkan Filipina ke Beijing sebagai provinsi China.

Menurut partai Akbayan yang berada di pihak oposisi, Filipina di bawah pemerintahan Duterte telah mencetak "gol bunuh diri" karena gagal menekan Tiongkok untuk menerapkan putusan arbitrase, pada keputusan Den Haag terkait perselisihan di Laut China Selatan.

Di lain pihak, Wakil Presiden Leni Robredo, yang dipilih secara terpisah dari Duterte, mengatakan bahwa warga Filipina sebaiknya melakukan protes damai terhadap kelambanan pemerintah.

Juru bicara Duterte, Harry Roque, menyebut spanduk itu "tidak masuk akal" dan mengatakan bahwa musuh politik pemerintah kemungkinan besar berada di belakangnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya