Liputan6.com, Washington DC - Amerika Serikat (AS) mengakhiri seluruh pendanaannya untuk badan PBB yang ditugasi membantu pengungsi Palestina, menyebut alasan bahwa organisasi itu mengalami "cacat yang tak dapat diperbaiki," ujar pihak Kementerian Luar Negeri AS pada Jumat 31 Agustus 2018.
"Amerika Serikat tidak akan lagi melakukan pendanaan lebih lanjut untuk operasi organisasi yang tidak dapat diperbaiki ini," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Heather Nauert dalam sebuah pernyataan Jumat 31 Agustus 2018, seperti dikutip dari CNN, Minggu (2/9/2018).
Washington DC telah lama menjadi donor tunggal terbesar bagi United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA), menyumbangkan lebih dari US$ 350 juta kepada lembaga itu pada tahun 2017.
Advertisement
Badan itu memberikan layanan pendidikan, kesehatan, dan sosial di Tepi Barat, Gaza, Yordania, Suriah, dan Lebanon kepada lebih dari 5 juta pengungsi Palestina yang terdaftar.
Baca Juga
UNRWA memberikan bantuan pendidikan bagi sekitar 500.000 anak di hampir 700 sekolah, dan memberikan layanan kesehatan bagi lebih dari 9 juta pasien di hampir 150 klinik kesehatan primer setiap tahun.
Pada bulan Januari 2018, Amerika Serikat mengatakan akan memangkas US$ 65 juta dari total anggaran awal US$ 125 juta yang diharapkan akan diserahkan kepada UNRWA pada awal tahun ini. Alasannya, AS ingin agar UNRWA untuk mereformasi internal organisasi dan mendesak agar negara-negara lain harus meningkatkan jumlah dana bantuaan yang mereka kontribusikan kepada badan tersebut.
"Ketika kami memberikan sumbangan AS sebesar US$ 60 juta pada Januari, kami menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak lagi bersedia menanggung beban biaya UNRWA selama bertahun-tahun," kata Nauert.
"Beberapa negara, termasuk Yordania, Mesir, Swedia, Qatar, dan Uni Emirat Arab telah menunjukkan kepemimpinan dalam mengatasi masalah ini, tetapi respon internasional secara keseluruhan belum cukup."
Nauert mengkritik model bisnis dan praktik fiskal UNRWA sebagai "tidak berkelanjutan" dan telah berada dalam "mode krisis" selama bertahun-tahun.
"Kami sangat peduli dan sangat prihatin mengenai dampak pada orang-orang Palestina yang tidak bersalah, terutama anak-anak sekolah," ujar Nauert, yang kemudian menyebut bahwa UNRWA telah mengalami kegagalan "untuk mereformasi dan mengatur ulang cara UNRWA dalam melakukan bisnis," sebagai alasan bagi AS untuk tetap menghentikan bantuan.
Chris Gunness, juru bicara UNRWA, menyuarakan "penyesalan mendalam" atas keputusan AS dan menolak kritik Washington terhadap organisasinya dan Palestina.
"Kami menolak kritik bahwa sekolah-sekolah UNRWA, pusat-pusat kesehatan, dan program bantuan darurat adalah 'cacat yang tak dapat diperbaiki'," kata Gunness.
"Program-program ini memiliki rekam jejak yang terbukti dalam menciptakan salah satu proses pengembangan manusia yang paling sukses dan berhasil di Timur Tengah. Komunitas internasional, para donor dan negara tuan rumah secara konsisten memuji UNRWA atas pencapaian dan standar organisasinya."
Â
* Saksikan keseruan Upacara Penutupan Asian Games 2018 dan kejutan menarik Closing Ceremony Asian Games 2018 dengan memantau Jadwal Penutupan Asian Games 2018 serta artikel menarik lainnya di sini.
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
Pengurangan Jumlah Orang yang Berstatus Pengungsi Palestina
Pemerintahan AS juga akan menyerukan pengurangan dalam jumlah besar warga Palestina yang berstatus pengungsi, pejabat pemerintah dan seorang diplomat regional AS memberitahu tentang keputusan itu kepada CNN, dilansir Minggu 2 September 2018.
Penghapusan status pengungsi Palestina akan secara efektif membuat mereka kehilangan "hak untuk kembali" (Rights of return) ke rumah-rumah yang sekarang didukui Israel dan merebut kembali properti yang hilang di Palestina --sebuah langkah yang akan memiliki arti sangat besar bagi sekitar 5,3 juta pengungsi Palestina yang terdaftar di UNRWA.
Selama Perang Arab-Israel 1948-49, yang memicu pembentukan Negara Israel, sekitar 700.000 orang Palestina diusir dari atau meninggalkan rumah mereka, suatu periode yang oleh orang Palestina disebut "Nakba," yang berarti malapetaka.
Sebagian besar orang Palestina menganggap hak untuk kembali ke tanah mereka, menjadi hak asasi rakyat Palestina yang tidak dapat dicabut.
Itu telah lama dianggap sebagai bagian dari isu "status terakhir" (final status on Palestine) dalam pembicaraan damai --di mana orang Palestina telah berusaha untuk mencari sebuah pengakuan bahwa daerah yang kini diduki oleh Israel adalah salah satu wilayah mereka.
Di sisi lain, Israel juga mengklaim wilayah itu sebagai tanahnya --membuat penyelesaian atas isu tersebut sebagai yang paling sulit dicapai bagi orang Israel dan Palestina dalam dialog damai.
Isu "status terakhir" yang lain adalah soal status kota Yerusalem.
Selama beberapa dekade, kebijakan AS adalah untuk menghindari mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dalam ketiadaan perjanjian perdamaian Israel-Palestina, karena Palestina juga mengklaim Yerusalem sebagai ibukota mereka dan membiarkan kota tersebut dalam status quo.
Namun Trump membalikkan kebijakan itu pada Desember 2017 ketika dia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Media di Israel telah melaporkan kekhawatiran di beberapa kalangan bahwa pemotongan anggaran UNRWA dapat memperburuk ketegangan di wilayah Palestina dan memicu kelompok militan Hamas di Gaza semakin menggencarkan militansinya.
Advertisement