Liputan6.com, Jakarta - Selain sebagai destinasi wisata bahari terkemuka di dunia, Maladewa kini semakin tumbuh sebagai kawasan strategis di tengah adu pengaruh China dan India di kawasan Samudera Hindia.
China terus bergerak memenangkan pengaruh untuk memuluskan ambisi jalur sutra baru dalam inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road), yang telah bergulir sejak beberapa tahun terakhir.
Sedangkan India, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post pada Selasa (25/9/2018), berambisi menjadikan Maladewa sebagai bagian dari simpul pertahanan di kawasan Asia Selatan, sekaligus membendung upaya China untuk memperkuat dominasi di Samudera Hindia, yang dikenal sebagai jalur pelayaran terpadat di dunia, selain Atlantik.
Advertisement
Tersebar di hampir 1.200 pulau yang membentang lebih dari 90.000 kilometer persegi, Maladewa jadi rebutan China dan India untuk mengejar strategi maritim mereka yang sering bertentangan.
Baca Juga
Tetapi setelah Abdulla Yameen --yang telah menarik Maladewa lebih dekat ke China-- kalah dalam pemilu pada Minggu 23 September, penggantinya yang berasal dari pihak oposisi, Ibrahim Mohamed Solih, kemungkinan akan mengupayakan keseimbangan pengaruh antara dua raksasa Asia tersebut di jantung Samudra Hindia.
Selama bertahun-tahun sebelumnya, Maladewa --sebuah negara dengan penduduk sekitar 400.000 jiwa-- telah berada di wilayah pengaruh politik India.
Namun, kurang dari satu dekade terakhir, China telah meningkatkan keterlibatannya di Maladewa, karena melihatnya sebagai bagian penting dari rute investasi pada inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan.
New Delhi menuding kehadiran Beijing merupakan bagian dari startegi "jaring mutiara" untuk membangun jaringan hubungan ekonomi dan militer, guna menjegal pengaruh ekonomi India, yang berkembang sama signifikannya dengan China.
Tudingan India itu semakin menjadi-jadi ketika eks Presiden Yameen menggunakan bantuan uang dari China untuk membangun banyak infrastruktur di Maladewa.
Negeri Tirai Bambu, konon, telah mengucurkan dana hingga US$ 830 juta (setara Rp 12,3 triliun, dengan kurs 1 US$= Rp 14.918) untuk meningkatkan kapasitas Bandara Internasional Velana, dan juga membangun Jembatan Male-Hulhule sepanjang dua kilometer, yang menghubungkannya dengan ibu kota.
Selain itu, beberapa perusahaan China juga membangun kompleks apartemen dan rumah sakit di ibu kota Male, sebagai dukungan terhadap proyek perumahan pintar rakyat.
Ditambah lagi, sekitar 306.000 turis China mengunjungi Maladewa tahun lalu, menjadikannya sebagai yang terbesar dari total jumlah kunjungan wisatawan asing, yakni sekitar 21 persen di sepanjang 2017.
Simak video pilihan berikut:
Hubungan India dan Maladewa Memburuk
Sementara itu, hubungan bilateral antara India dan Maladewa telah memburuk selama Yameen berkuasa, di mana kian diperparah dengan sentien terhadap berlabuhnya tiga kapal angkatan laut Cina di Male pada Agustus tahun lalu.
Pada Maret 2015, Perdana Menteri India Narendra Modi membatalkan kunjungan kenegaraannya ke Maladewa atas perlakuan Mohamed Nasheed, mantan presiden Maladewa pro-India yang dipenjarakan.
Maladewa juga menolak undangan India untuk mengambil bagian dalam latihan angkatan laut selama delapan hari di Milan, pada tahun ini.
Pemerintah Yameen juga menolak perpanjangan visa untuk orang India yang secara hukum bekerja di Maladewa, tanpa memberikan penjelasan apa pun.
Di lain pihak, negara kepulauan kecil itu telah mengumpulkan sekitar US$ 1,3 miliar (setara Rp 19.3 triliun) utang ke China --lebih dari seperempat total PDB-- yang mayoritas digunakan untuk proyek infrastruktur berskala besar.
Mantan presiden yang diasingkan, Nasheed, mengatakan pada Januari lalu bahwa 80 persen dari utang luar negeri Maladewa berasal dari China.
Imbal balik bagi China, masih menurut Nasheed, adalah kemudahan dalam pengurusan izin sewa lahan di sedikitnya 16 pulau dari total 1.192 pulau karang, untuk membangun pelabuhan dan infrastruktur lain di sana.
Advertisement