Liputan6.com, Tokyo - Pagi itu, 27 September 1945, di penghujung Perang Dunia II, Kaisar Jepang Hirohito dijadwalkan bertemu Jenderal Douglas MacArthur di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tokyo.
Pemimpin Takhta Bunga Krisan itu datang tepat pukul 10.00, dengan mengendarai Rolls Royce khusus, diiringi para pengawal dan sejumlah petinggi kekaisaran.
Kala itu, Hirohito berada di pihak kalah. Negaranya babak belur, dua kota, Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak akibat ledakan bom atom yang menebar maut.
Advertisement
Baca Juga
Dua pejabat AS menyambut kedatangannya. Faubion Bowers dan Bonner Fellers memberikan hormat yang disambut dengan salam bungkuk atau ojigi dari sang kaisar. Mereka kemudian berjabat tangan.
Tak lama kemudian Douglas MacArthur memasuki ruangan. "Selamat datang, Tuan," kata dia kepada Hirohito dengan suara nyaring. Seperti dikutip dari situs rarehistoricalphotos.com, itu adalah kali pertamanya Bowers mendengar sang jenderal bintang lima itu memanggil seseorang dengan sebutan 'Sir'.
MacArthur kemudian membawa Hirohito ke sebuah ruangan khusus. Selain mereka berdua hanya ada penerjemah kekaisaran, Okumura Katsuzo. Pembicaraan yang berlangsung selama 40 menit dirahasiakan -- meski sejumlah rincian akhirnya bocor setelah bertahun-tahun.
Menurut pihak AS, Kaisar Hirohito menawarkan untuk bertanggung jawab atas perang. Ia tidak menyadari bahwa MacArthur telah menghapus namanya dari daftar penjahat perang.
"Saya datang pada Anda, Jenderal MacArthur, untuk menyerahkan diri saya sendiri, dalam penilaian oleh kekuasaan yang Anda wakili, untuk bertanggung jawab atas setiap keputusan politik dan militer yang dibuat dan diambil oleh orang-orang saya dalam perang," demikian yang diucapkan Hirohito, seperti diungkap dalam memoar MacArthur yang terbit pada 1964.
Sikap sang kaisar membuat jenderal AS itu terkesan.
"Dia adalah seorang kaisar yang mewarisi kekuasaan, namun dalam sekejap aku tahu bahwa aku sedang menghadapi gentleman dari Jepang pertama yang kutemui," kata MacArthur.
Pada bulan Agustus 1945, pada akhir Perang Dunia II, muncul tuntutan dari pihak Washington DC, serta dari Inggris, Rusia dan lain-lain, agar Hirohito diseret ke pengadilan sebagai penjahat perang karena keterlibatannya dalam militerisme Jepang, baik itu disengaja maupun tidak.
Namun, Jenderal Angkatan Darat Douglas MacArthur, memutuskan bahwa penting untuk menjaga sang kaisar tetap di singgasananya. Ia difungsikan sebagai kekuatan pemersatu di negara yang menghadapi potensi politik pada periode pascaperang.
Pasca-pertemuan, sesi foto dilakukan. Ada tiga gambar yang diambil. Pada foto pertama, mata sang jenderal perang tertutup sementara mulut Kaisar Hirohito menganga.
Pada foto kedua, mulut Hirohito juga terbuka. Akhirnya diputuskan, gambar ketiga yang dipublikasikan.
Dalam foto tersebut, Kaisar Hirohito berdiri tegak. Sementara MacArthur terlihat 'kasual'.
Foto tersebut memicu gelombang kejut ke seantero Jepang. Itu adalah kali pertamanya warga Negeri Sakura melihat sang kaisar sebagai 'manusia biasa' -- dibayangi MacArthur yang perawakannya jauh lebih tinggi daripada sosok yang selalu digambarkan sebagai dewa hidup.
Hingga 1945, kaisar menjadi sosok yang terasing dan misterius bagi rakyatnya. Ia jarang terlihat di depan umum dan selalu diam. Kala itu, foto-fotonya selalu diambil dari sudut tertentu untuk membuatnya tampak lebih tinggi dan lebih mengesankan.
Pemerintah Jepang segera melarang foto Kaisar Hirohito dengan MacArthur, dengan alasan hal itu akan merusak citra agung kekaisaran. Namun, jenderal AS itu membatalkan larangan itu dan memerintahkan semua surat kabar Jepang untuk memuatnya.
Pada 1 Januari 1946, Hirohito menyampaikan pidato yang menolak apa yang ia sebut sebagai "legenda dan mitos belaka" yang telah menciptakan konsepsi palsu bahwa kaisar adalah dewa atau sosok ilahiah.
Otoritas Amerika di Tokyo mengklaim, langkah itu dilakukan atas inisiatif Hirohito. Namun, pihak Jepang mengatakan, dia bertindak atas perintah perwira Amerika di bawah Jenderal MacArthur.
Saksikan video terkait Jepang berikut ini:
Keputusan Kaisar yang Menyelamatkan Jepang
Kaisar Hirohito memerintah dalam tiga periode krusial yang pernah dialami negaranya: Jepang yang militeristik hampir sejak ia mengambil alih Takhta Krisan dari sang ayah, Jepang yang hancur akibat Perang Dunia II dan seolah-olah ditakdirkan mengalami pendudukan dan ketergantungan selama bertahun-tahun, dan Jepang yang melewati kekalahan dan kehancuran serta menjelma jadi kekuatan ekonomi global di masa damai.
Selama itu, sang kaisar melihat dirinya sendiri sebagai penguasa konstitusional yang menjadi simbol Jepang dan menjadi 'ayah' bagi rakyatnya. Ia bukan lagi sosok yang tak tersentuh.
Dalam sebuah momentum kritis, Kaisar Hirohito melangkah keluar dari peran pasifnya. Pasca-bom atom AS ke Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945, ia memutuskan bahwa Jepang akan menerima syarat Sekutu untuk menyerah dalam Perang Dunia II.
Dengan melakukan itu, ia menetang sikap para jenderal yang bersikukuh bahwa Jepang harus terus melawan meski akhirnya hancur lebur.
"...bila kita terus berperang, tidak hanya akan berakhir dengan kemusnahan bangsa Jepang namun juga akan membawa kepunahan total peradaban manusia," kata Kaisar Hirohito dalam siaran radio pada 15 Agustus 1945.
"... ke mana pun tuntutan waktu dan nasib akan membawa kami, dengan menahan apa yang tak tertahankan, dan menderita penderitaan yang tak terperikan, kami menginginkan kedamaian abadi."
Seperti dikutip dari The New York Times, sejarah membuktikan, keputusan tersebut tak hanya menyelamatkan bangsanya, tapi juga Takhta Bunga Krisan.
Pemerintahan Hirohito berlangsung lebih dari 62 tahun, dimulai dengan kematian ayahnya, Kaisar Taisho, pada Hari Natal 1926.
Kaisar Hirohito wafat pada tanggal 7 Januari 1989 akibat penyakit kanker usus dua belas jari yang dideritanya. Pemakaman kenegaraannya dihadiri oleh para pemimpin dunia, di antaranya Presiden Amerika Serikat George Bush.
Advertisement