Liputan6.com, London - Diperkirakan sekitar 85.000 anak di bawah usia lima tahun meninggal karena gizi buruk akut, sebagai imbas dari perang di Yaman yang telah berlangsung sejak 2014, kata badan amal terkemuka berbasis di Inggris, Save the Children.
Laporan itu melengkapi imbauan PBB yang telah memperingatkan bulan lalu bahwa hingga 14 juta orang Yaman berada di ambang kelaparan, demikian seperti dikutip dari BBC, Rabu (21/11/2018).
Save the Children mengatakan, laporan itu berlandaskan pada angka kematian untuk kasus-kasus medis malnutrisi berat akut pada balita, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh PBB. Menurut perkiraan kasar, lembaga swadaya itu menghitung bahwa sekitar 84.700 balita mungkin telah meninggal antara April 2015 dan Oktober 2018.
Advertisement
Baca Juga
Data-data yang disajikan ditujukan untuk menggalakkan pembicaraan antara berbagai pihak yang berkonflik untuk mengakhiri perang tiga tahun yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Yaman telah hancur oleh konflik itu. Pertempuran meruncing pada tahun 2015 ketika koalisi pimpinan Arab Saudi melancarkan rangkaian serangan udara terhadap gerakan pemberontak Houthi yang memaksa Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi melarikan diri ke luar negeri.
Setidaknya 6.800 warga sipil telah tewas dan 10.700 terluka dalam perang, menurut PBB.
Pertempuran dan blokade parsial oleh koalisi juga telah menyebabkan 22 juta orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan, menciptakan keadaan darurat keamanan pangan terbesar di dunia, dan menyebabkan wabah kolera yang telah mempengaruhi 1,2 juta orang.
Kondisi semakin diperparah ketika hanya setengah dari fasilitas kesehatan negara yang masih berfungsi untuk menangani keluarga yang mengalami gizi buruk. Dan, banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan untuk mengakses layanan kesehatan yang masih beroperasi.
Meningkatnya harga pangan dan turunnya nilai mata uang negara akibat perang saudara membuat lebih banyak keluarga berisiko mengalami kekurangan pangan dan mengalami gizi buruk.
Save the Children menyalahkan blokade dan pertempuran intens yang dilakukan oleh koalisi Saudi di kota-kota strategis Yaman --terutama kota pelabuhan Hodeidah-- sehingga menempatkan lebih banyak orang pada risiko kelaparan.
Hodeidah yang diblokade Saudi --karena dikuasai oleh Houthi-- merupakan titik masuk hampir sekitar 90 persen barang-barang impor untuk Yaman, yang sebagian besar merupakan obat-obatan dan makanan.
Blokade atas Hodeidah telah membuat impor komersial Yaman turun lebih dari 55.000 metrik ton per bulan, yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi 4,4 juta orang, termasuk 2,2 juta anak-anak.
Â
Simak video pilihan berikut:
Pertempuran di Hodeidah Kembali Berkecamuk
Pertempuran kembali pecah di kota pelabuhan utama Yaman, Hodeidah, antara pasukan koalisi Arab Saudi dan militan Houthi pada 19 November 2018. Padahal, kedua pihak telah sepakat untuk menghentikan konflik.
Pesawat-pesawat tempur koalisi kembali melakukan pemboman menyusul bentrokan antara pemberontak dan pasukan pro-pemerintah pada akhir pekan lalu.
Pertempuran terbaru terjadi di tengah prospek PBB yang berusaha menghidupkan kembali pembicaraan untuk mengakhiri perang tiga tahun yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan besar-besaran di Yaman.
Sejauh ini, konflik tersebut telah membunuh ribuan orang dan mendorong jutaan penduduk Yaman masuk ke jurang kelaparan.
Pada hari Senin 19 November, pertempuran sengit disebut terdengar hingga ke pinggir kota Hodeidah, yang dikendalikan oleh pemberontak Houthi. Sementara di waktu bersamaan, pesawat tempur koalisi meluncurkan serangkaian serangan udara terhadap posisi-posisi strategis pemberontak, demikian dilaporkan kantor berita AFP.
Kepala Komite Revolusioner Tertinggi Houthi, Mohammed Ali al-Houthi, sebelumnya mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pemberontak menghentikan serangan pesawat tanpa awak dan rudal terhadap pasukan koalisi, menyusul permintaan mendesak dari PBB.
Pernyataan itu menambahkan bahwa Houthi siap bergerak menuju gencatan senjata yang lebih luas, jika "koalisi yang dipimpin Saudi menginginkan perdamaian".
Pekan lalu koalisi, yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, memerintahkan penghentian serangannya di Hudaydah, sebuah pelabuhan di Laut Merah. Mereka juga mengatakan bahwa mereka mendukung pembicaraan yang dipimpin PBB.
Utusan khusus PBB untuk Yaman, Martin Griffiths, mengatakan dia berharap pembicaraan damai diadakan sebelum akhir tahun ini.
Griffiths mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB pada Jumat 16 November, bahwa dia telah diberi "jaminan tegas" bahwa kedua belah pihak akan menghadiri pembicaraan damai itu, dan berjanji untuk menemani perwakilan Houthi dari ibukota Sana'a, jika perlu.
Sebelumnya, kelompok Houthi batal menghadiri pembicaraan damai pada bulan September.
Advertisement