Liputan6.com, Paris - Presiden Prancis Emmanuel Macron dikabarkan menggelar pertemuan keamanan darurat, menyusul kerusuhan oleh ribuan demonstran anti-pemerintah, akhir pekan lalu.
Para menteri mengatakan bahwa sementara tidak ada opsi yang dikesampingkan, namun pemerintah belum menetapkan kondisi darurat negara selama pembicaraan terkait.
Protes atas pajak bahan bakar telah tumbuh menjadi kemarahan umum, akibat tudingan berdampak pada risiko meningkatnya biaya hidup.
Advertisement
Dikutip dari BBC pada Senin (3/12/2018), sebanyak tiga orang tewas dalam unjuk rasa yang berlanjut sejak demonstrasi dimulai lebih dari dua pekan lalu, kata polisi.
Menteri Kehakiman Prancis Nicole Belloubet telah berjanji untuk membawa kekuatan hukum penuh untuk menuntut orang-orang yang kedapatan melakukan kekerasan.
Baca Juga
Sebelum pertemuan keamanan pada hari Minggu, Macron dikabarkan sempat meninjau beberapa kerusakan yang disebabkan oleh kerusuhan terkait di pusat Kota Paris.
Lebih dari 100 orang terluka di kota itu, termasuk 23 anggota pasukan keamanan, dan hampir 400 orang ditangkap, kata polisi Prancis.Â
Macron mengunjungi Champs-Elysées dan Arc de Triomphe, yang menjadi dua lokasi utama bentrokan antara demonstran dan pihak keamanan pada hari Sabtu.
Dia kemudian memimpin pertemuan penting di istana kepresidenan, yang melibatkan menteri dalam negeri dan pejabat dinas keamanan
Kementerian dalam negeri Prancis mengatakan sekitar 136.000 orang mengambil bagian dalam protes nasional, menunjukkan dukungan luas untuk gerakan yang dikenal sebagai "gilets jaunes" (rompi kuning).
Juru bicara pemerintah, Benjamin Griveaux, sebelumnya mengatakan kepada radio Eropa 1 bahwa deklarasi keadaan darurat adalah opsi yang memungkinkan.
"Kami harus memikirkan langkah-langkah yang bisa diambil agar insiden ini tidak terjadi lagi," katanya.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Tidak Ada Pemimpin Aksi yang Bisa Diidentifikasi
Para pengunjuk rasa "gilets jaunes", di mana mendapat julukan dari rompi keselamatan berwarna kuning yang mereka kenakan, turun ke jalanan kota-kota Prancis untuk memprotes peningkatan tajam harga bahan bakar diesel.
Pemerintahan Macron berkilah bahwa kenaikan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Namun, para pengunjuk rasa menentang hal tersebut, dan mengatakan bahwa penduduk kota masih terus bergantung pada kendaraan pribadi mereka.
Gerakan protes itu tidak memiliki kepemimpinan yang dapat diidentifikasi, melainkan meraih momentum via media sosial, yang menarik dukungan dari kaum anarkis yang paling kiri hingga kelompok sayap kanan nasionalis, serta banyak pihak moderat di antaranya.
Hampir 300.000 orang ambil bagian dalam demonstrasi gelombang pertama di seluruh Prancis, pada 17 November.
Demonstrasi "rompi kuning" kembali digelar untuk ketiga kalinya pada akhir pekan lalu, di mana jumlah pengunjuk rasa yang turun ke jalan meningkat di seluruh negeri.
Seorang pengemudi tewas dalam kecelakaan akibat blokade pengunjuk rasa di Kota Arles, setelah sebuah mobil bertabrakan dengan kendaraan barang berat.
Di Champs-Elysées di pusat kota Paris, polisi menembakkan gas air mata, granat kejut dan meriam air, sementara para pengunjuk rasa yang bertopeng melemparkan proyektil dan membakar gedung-gedung.
Hampir 190 kebakaran dipadamkan dan enam gedung hangus terbakar, lapor kementerian dalam negeri dalam sebuah pernyataan.
Pusat perbelanjaan dan stasiun metro --jaringan kereta bawah tanah-- ditutup sebagai akibat dari kerusuhan yang memburuk akhir pekan lalu.
Harga solar, bahan bakar yang paling umum digunakan di mobil Prancis, telah meningkat sekitar 23 persen selama 12 bulan terakhir menjadi rata-rata 1,51 euro (setara Rp 25.000) per liter, titik tertinggi sejak awal 2000-an.
Harga minyak dunia memang naik sebelum jatuh kembali, tetapi pemerintah Macron menaikkan pajak hidrokarbonnya tahun ini sebesar 7,6 sen per liter pada solar dan 3,9 sen pada bensin, sebagai bagian dari kampanye untuk mobil dan bahan bakar yang lebih bersih.
Advertisement