Liputan6.com, Yangon - Bangladesh, pada Minggu 2 Desember 2018, telah berkomunikasi dengan Myanmar untuk menekankan kembali mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi terkait rencana proses pemulangan (repatriasi) pengungai Rohingya dari kamp penampungan di Bangladesh ke Rakhine, Myanmar. Pembicaraan itu dilakukan menyusul upaya serupa yang gagal terlaksana pada 15 November 2018.
Dhaka meminta Yangon untuk harus memfasilitasi kembalinya orang-orang yang teraniaya itu ke Rakhine secara aman, sukarela, dan bermartabat, kata para diplomat Bangladesh yang berbicara dalam syarat anonimitas kepada Dhaka Tribune, dilansir pada hari Senin, (3/12/2018).
Advertisement
Baca Juga
Diplomat itu melansir sebuah komunikasi diplomatik antara kedua pemerintah, yang baru-baru ini telah dikirim oleh Bangladesh ke Myanmar, berisi isu-isu yang akan dibahas dalam waktu mendatang.
Ini merupakan komunikasi resmi pertama antara kedua pemerintah setelah upaya gagal untuk memulai pemulangan pada 15 November 2018, kata para diplomat itu.
"Ya, setelah upaya yang gagal, kami telah mengirim catatan kepada pemerintah Myanmar untuk mengatasi masalah yang terkait repatriasi Rohingya," kata seorang diplomat senior Bangladesh di Yangon, Myanmar kepada koresponden Dhaka Tribune melalui telepon.
Ketika ditanya tentang konten komunikasi itu, diplomat Bangladesh itu mengatakan, "Semua aspek mengenai Rohingya, terutama keselamatan dan keamanan yang dapat diverifikasi sebagai syarat jangka pendek, dan kewarganegaraan sebagai syarat jangka panjang," ujarnya menyebut catatan itu.
"Mari kita lihat apa yang mereka hasilkan," kata diplomat itu.
Ketika dihubungi oleh Dhaka Tribune terkait laporan itu, Duta Besar Bangladesh untuk Myanmar Manjurul Karim Khan Chowdhury mengatakan: "Kami selalu ingin terlibat dengan Myanmar, komunitas internasional, dan Rohingya."
Sementara itu, seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Bangladesh mengatakan, "Kami baru saja memberitahu apa yang perlu dilakukan oleh pihak di sisi lain perbatasan (Myanmar) tentang apa yang perlu dilakukan untuk memulai repatriasi tanpa masalah."
"Kami tengah menunggu balasan (dari Myanmar)," ujar pejabat tersebut yang kemudian menambahkan, "Tapi, menepati janji tidak pernah jadi kelebihan Myanmar."
Sesuai dengan keputusan yang diambil oleh kelompok kerja bersama Bangladesh-Myanmar mengenai repatriasi pada 30 Oktober 2018 di Dhaka, pemulangan ratusan ribu etnis Rohingya dari kamp pengungsian di Cox's Bazaar, Bangladesh, ke Rakhine, Myanmar, seharusnya dimulai pada 15 November 2018.
Tapi, repatriasi itu tidak dapat dilanjutkan karena keengganan para Rohingya, yang percaya bahwa kondisi di Rakhine tidak menguntungkan untuk kepulangan mereka.
Simak video pilihan berikut:
Kekhawatiran Akan Hak yang Belum Terpenuhi
Para pengungsi itu telah hampir setahun berada di kamp-kamp penampungan di Bangladesh, guna menghindar dari apa yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis yang dilakukan oleh aparat Myanmar.
Namun, prospek repatriasi telah menimbulkan rasa panik di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, yang terkonsentrasi di distrik Cox's Bazaar. Rasa panik terutama dirasakan oleh gelombang pertama kelompok keluarga yang akan dipulangkan ke Myanmar akhir pekan ini. Para pengungsi mengkhawatirkan, sekembalinya ke Rakhine, mereka akan menghadapi situasi yang tak lebih baik sewaktu mereka melarikan diri.
Di sisi lain, Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan, proses repatriasi gelombang pertama pada 15 November adalah "rencana ambisius" dan mengkritik sejumlah kendala pelaksanaannya serta menggarisbawahi "situasi yang tidak kondusif."
Juru bicara senior UNHCR, Chris Melzer mengatakan "masalah logistik" perlu dipecahkan terlebih dahulu.
"Ini adalah masalah pemerintah Bangladesh dan Myanmar. Meskipun kami masih berpikir bahwa kondisinya tidak kondusif sekarang bagi para pengungsi untuk kembali di Myanmar," katanya kepada AFP.
Menanggapi hal yang sama, Ketua Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) --yang bernaung di bawah naungan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB-- mengatakan:
"Sangat prihatin sekali karena proses repatriasi itu tidak didukung penjaminan hak terhadap orang Rohingya dan pemberian status kewarganegaraan," kata Marzuki di Wisma Antara Jakarta, Rabu 14 November 2018.
Aparat Myanmar menolak Rohingya sebagai warga negara mereka dan tak memberikan status itu sejak puluhan tahun lamanya. Mereka menyebut Rohingya sebagai 'Benggala', dengan berdalih bahwa 'etnis Rohingya' adalah sebuah definisi palsu dan menyebutnya sebagai kelompok imigran gelap dari Bangladesh.
"Tidak ada satupun perubahan, sampai hari ini di Myanmar, yang mampu memberikan ketenangan bagi Rohingya untuk bisa kembali dan memulai kehidupannya lagi."
Myanmar berencana untuk menampung pengungsi Rohingya yang kembali dari Bangladesh untuk tinggal di sejumlah hunian penampungan yang dikhususkan untuk kelompok etnis minoritas itu. Namun, Marzuki menilai bahwa penanganan seperti itu sama halnya dengan kondisi Rohingya saat mereka mengungsi di Bangladesh.
"Mereka dipulangkan untuk kembali ke kamp-kamp penampungan lagi. Lantas, apa bedanya dengan di Bangladesh."
"Bukti tentang kepemilikan tanah milik orang Rohingya (sebelum mereka mengungsi) telah dihilangkan oleh aparat Myanmar, dibuldozer habis. Bagaimana orang Rohingya bisa memulai kehidupan lagi."
"Beban orang Rohingya tidak semata-mata hilang hanya karena pemerintah Myanmar menyatakan bersedia menerima mereka kembali. Tidak seperti itu. Justru yang ada, penderitaan itu akan berkelanjutan."
"Seolah-olah repatriasi ini hanya ingin dilakukan secepat mungkin. Namun, jaminan atas pemenuhan hak dan pemberian status kewarganegaraan Myanmar terhadap mereka tidak dilakukan."
"Myanmar, Bangladesh, ASEAN harus mendorong agar proses repatriasi itu dilakukan sesuai dengan syarat utama, yakni, mendorong Myanmar untuk memberikan status warga negara Rohingya dan menjamin hak-hak mereka," jelas pria yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung RI itu.
Advertisement