Protes Kenaikan Harga BBM Picu Aksi Kekerasan Meluas di Zimbabwe

Unjuk rasa memprotes kenaikan harga bahan bakar di Zimbabwe memicu aksi kekerasan di banyak tempat di negara itu.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 15 Jan 2019, 11:02 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2019, 11:02 WIB
Aksi protes menentang kenaikan harga bahan bakar di Zimbabwe (AP/Tsvangirayi Mukhwazhi)
Aksi protes menentang kenaikan harga bahan bakar di Zimbabwe (AP/Tsvangirayi Mukhwazhi)

Liputan6.com, Harare - Aksi unjuk rasa menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Zimbabwe dilaporkan berakhir dengan kekerasan, di mana polisi menembakkan amunisi hidup dan gas air mata untuk membubarkan massa.

Bentrokan tersebut menjadi situasi terburuk di negara Afrika selatan itu pasca pemilu tahun lalu, ketika enam warga sipil ditembak mati oleh polisi.

Dikutip dari The Guardian pada Selasa (15/1/2019), bentrokan itu merupakan buntut dari demonstrasi yang telah berjalan tiga hari oleh serikat pekerja Zimbabwe, di tengah kondisi krisis ekonomi yang kian mengkhawatirkan.

Selain di ibu kota Harare, bentrokan juga dilaporkan terjadi di Bulawayo, sebuah kota di wilayah selatan negara itu, ketika polisi berusaha membubarkan kelompok-kelompok pemuda yang menyalakan api di jalan-jalan, menciptakan blokade, dan dalam beberapa kasus, turut menjarah toko-toko.

Di Chitungwiza, kota satelit di selatan Harare, sebuah kantor polisi dikepung oleh massa yang mengamuk, dan suara tembakan otomatis dilaporkan terdengar di sela-selanya.

Kondisi tidak jauh berbeda terjadi di kawasan pemukiman kumuh Mabvuku, tidak jauh dari pusat ibu kota, di mana empat warga sipil dilaporkan mengalami luka tembak oleh polisi.

Akar dari bentrok yang meluas itu adalah ketidakpuasan rakyat Zimbabwe terhadap keputusan pemerintah dalam menaikkan harga BBM sebesar 150 persen pada Sabtu 12 Januari.

Hal tersebut kian diperparah dengan fakta bahwa harga barang-barang kebutuhan harian --mayoritas diimpor-- telah melonjak lebih dulu, mengikuti tingkat inflasi yang kian tidak terkendali.

Kekalutan politik dalam negeri Zimbabwe juga diketahui tidak banyak berubah sejak Robert Mugabe digulingkan oleh militer --setelah berkuasan 37 tahun-- pada 2017 lalu. Sang diktator meninggalkan utang negara dalam jumlah besar, kekurangan pasokan uang tunai, dan infrastruktur yang hancur.

"Kami sudah cukup menderita," kata Philani Nyoni, seorang penulis yang turut serta dalam protes di Bulawayo. "Pemerintah sekarang sadar bahwa kami tidak senang dengan kebijakan bodoh mereka seperti kenaikan harga bahan bakar."

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Dituduh Sebagai Politik Subversif

Ilustrasi Bendera Zimbabwe (iStockphoto via Google Images)
Ilustrasi Bendera Zimbabwe (iStockphoto via Google Images)

Sementara itu, Presiden Emmerson Mnangagwa --pendukung partai Zanu-PF yang berkuasa-- yang mengambil alih kekuasaan dari Mugabe dengan memenangkan pemilu pada bulan Juli, tidak dapat menghasilkan perubahan ekonomi yang dijanjikannya kepada para pemilih dan investor.

Meski pemilu 2018 tidak dirusak oleh jenis kekerasan seperti yang dialami di bawah kekuasaan Mugabe, namun muncul dugaan terjadi penyimpangan selama penghitungan suara, sehingga menguntungkan pihak Mnangagwa dan Partai Zanu-PF.

Terkait aksi protes, pemerintah Zimbabwe justru menuduh demonstran berupaya mendorong agenda "perubahan rezim" politik, dan terlibat dalam "kegiatan politik subversif".

"Sudah jelas bahwa ada rencana yang disengaja untuk merusak dan menantang tatanan konstitusi yang berlaku," kata seorang juru bicara pemerintah, Nick Mangwana, dalam sebuah pernyataan pada Minggu malam.

Dia mengatakan pemerintah akan "menanggapi dengan tepat" terhadap "semua orang yang telah berkonspirasi untuk menumbangkan perdamaian, hukum dan ketertiban di negara ini".

Mnangagwa diketahui telah berupaya menghidupkan kembali ekonomi Zimbabwe yang sakit, dan saat ini sedang bepergian di Asia dan Eropa dalam upaya untuk menarik investasi asing sebanyak-banyaknya.

Kondisi Ekonomi Masih Memburuk

Sementara itu, upaya awal pemerintah dalam menstabilkan ekonomi Zimbabwe, menurut beberapa pengamat, tampaknya telah memperburuk situasi. Sebagian besar kebijakan yang diambil oleh Mnangagwa memicu devaluasi besar-besaran atas mata uang pengganti dan elektroniknya.

Zimbabwe meninggalkan mata uangnya sendiri pada 2009, setelah dihancurkan oleh hiperinflasi dan mengadopsi dolar dan mata uang lainnya seperti pound sterling dan rand Afrika Selatan.

Rakyat Zimbabwe dihantui oleh kenangan buruk akan dolar Zimbabwe, yang menjadi tidak bernilai ketika inflasi melonjak mencapai 500 miliar persen pada 2008, tingkat tertinggi di dunia untuk negara yang tidak berperang. Kondisi itu membuat tabungan dan dana pensiun masyarakat setempat terbuang percuma.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya