Liputan6.com, Wellington - Hampir 80 persen dokter muda di Selandia Baru meninggalkan pekerjaan mereka di rumah sakit umum pada hari Selasa, setelah kebuntuan dalam pembicaraan antara serikat pekerja dengan pemerintah mengenai kondisi kerja dan upah.
Unjuk rasa tersebut menyoroti kesulitan yang dihadapi oleh pemerintahan Perdana Menteri Jacinda Ardern memenuhi janjinya untuk menggelontorkan dana tambahan ke dalam layanan sosial, dan mengendalikan ketidaksetaraan ekonomi sejak mulai menjabat pada tahun 2017.
Dikutip dari The Guardian pada Selasa (15/1/2019), basis dukungan serikat tradisional pemerintah kiri-tengah menyebut kenaikan upah yang lamban, dan melambungnya biaya hidup telah membuat beban pekerja kian tinggi.
Advertisement
Baca Juga
Hal itu, pada tahun lalu, menyebabkan guru, perawat dan pejabat pengadilan Selandia Baru mengajukan protes nasional untuk menuntut kenaikan gaji.
"Mereka (pemerintah) ingin memiliki kendali atas pekerjaan kita, bagaimana dan di mana kita bekerja," kata Dr Deborah Powell, pemimpin nasional serikat pekerja.
"Kami mencoba menyelesaikan ini tanpa unjuk rasa, tetapi kami tidak punya pilihan," lanjutnya.
Sekitar 3.300 dokter muda, dari total 3.700 orang yang dipekerjakan oleh pemerintah Selandia, memilih sementara menjauhi rumah sakit dan klinik.
Beberapa dari mereka berkumpul di sudut-sudut jalan di kota-kota besar, memegang plakat berisi seruan jam kerja yang lebih baik. Tidak ada kekerasan ataupun pengrusakan dilaporkan dalam aksi protes tersebut.
Ribuan operasi, janji tidak penting, dan layanan medis telah dibatalkan, meskipun layanan darurat akan tetap buka oleh bantuan dokter senior, yang tidak terlibat dalam demonstrasi.
Di saat bersamaan, berbagai rumah sakit umum milik pemerintah Selandia Baru meminta warga untuk membatasi kunjungan kecuali dalam kondisi darurat.
Simak video pilihan berikut:
Tekanan pada Pemerintah
Dokter muda, atau petugas medis residen (RMO), menginginkan tetap berlakunya kontrak yang mereka pegang saat ini.
Mereka menolak kebijakan baru, yang dinilai memberi shift lebih panjang, dan memungkinkan dokter dipindahkan ke rumah sakit lain tanpa pemberitahuan.
Serikat pekerja mereka, Asosiasi Dokter Penduduk Selandia Baru (NZRDA), mengatakan pihaknya telah melakukan pembicaraan dengan Dewan Kesehatan Distrik (DHB) selama lebih dari setahun tentang kebijakan baru itu, di mana pembayaran untuk lembur, akhir pekan dan shift malam juga turut diperhitungkan.
Sementara itu, serikat pekerja kembali menyerukan aksi protes 48 jam kedua kalinya pada 29 dan 30 Januari mendatang, yang kemungkinan akan meningkatkan tekanan pada pemerintah.
Advertisement