Berkesan dan Was-Was, Kisah Guru Selandia Baru Ajar Bahasa Inggris di Korea Utara

Seorang guru Barat yang pernah mengajar di Korea Utara bercerita tentang pengalamannya bertugas di negara paling tertutup di Asia itu.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 25 Nov 2018, 17:02 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2018, 17:02 WIB
Bendera Korea Utara (AFP PHOTO)
Bendera Korea Utara (AFP PHOTO)

Liputan6.com, Christchurch - Pyongyang di Korea Utara dan Christchurch di Selandia Baru adalah dua kota yang berbeda karakter, namun ada satu orang yang mampu menjembataninya dengan baik.

Tim Kearns adalah bagian dari gelombang guru Barat pertama yang mengajar di sekolah menengah di Korea Utara, pada medio 2006 hingga 2008. Dia mengajar bahasa Inggris di tiga sekolah yang berbeda, termasuk Kumsong Middle School No 1, yang menghadap ke Lapangan Kim Il Sung yang terkenal.

Dikutip dari Newshub.co.nz pada Minggu (25/11/2018), Kearns menjadi guru yang mengajar siswa di rentang usia 11 hingga 16 tahun di negara paling tertutup di Asia itu.

Berdasarkan pengalamannya, Kearns menilai orang-orang di Korea Utara punya ketertarikan yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat modern lainnya, dalam hal akademik.

"Para guru (Barat) adalah sosok yang hebat dalam bergaul dengan siswa, tanpa menjadikannya seperti interaksi terhadap orang asing," katanya.

"Kami melihat mereka sebagai robot otomatisasi (atas propaganda), tetapi mereka memiliki kepribadian, mereka bisa tertawa, mereka menyukai sedikit humor, dan sangat tertarik dengan kehidupan saya dan bagaimana kondisi di Selandia Baru," tambah Kearns dengan antusias.

Menurutnya, meskipun rezim Korea Utara hadir di hampir setiap sudut Pyongyang, Kearns tidak pernah merasa seperti mereka mencoba untuk mengindoktrinasi orang asing, termasuk para guru

Kearns pertama kali tertarik pada Korea Utara saat tinggal di Jepang dan melakukan perjalanan pertamanya di sana pada 2004 melalui Koryo Tours, sebuah organisasi wisata yang mirip dengan yang digunakan oleh mahasiswa AS, Otto Warmbier, sebelum dia ditangkap oleh otoritas setempat atas tuduhan perusakan.

"Ketika Anda masuk (ke kelas), semua siswa berdiri dengan cara militeristis dan serempak mengatakan selamat pagi ke guru," sambung Kearns.

"Mereka (Korea Utara) mengizinkan saya untuk mengajar dengan gaya saya sendiri, meski saya sempat terkejut ketika mereka begitu penasaran dengan mata biru saya," ujarnya sedikit geli.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Kehidupan Cukup Santai, Tapi...

Warga Korea Utara
Sejumlah pria Korea Utara berbincang di luar supermarket di pusat kota Pyongyang, Korea Utara, (21/10). (AP Photo / Dita Alangkara)

Diakui Kearns, bahwa kehidupan di luar kelas cukup santai. Dia kerap mengobrol di taman dengan penduduk lokal, ikut beberapa kegiatan olahraga, dan berfoto dengan para siswanta.

"Saya menunjukkan mereka foto tentang seperti apa rumah saya dan mobil apa yang saya kendarai, serta tentang tata cara permainan rugby, mereka benar-benar tertarik," katanya.

Selama perjalanannya ke Korea Utara, Kearns mengaku belum pernah melihat langsung pemimpin utama negeri itu, mulai dari yang dulunya dipimpim oleh Kim Jong-il, dan kini diwariskan ke putranya, Kim Jong-un.

Begitupun para siswanya, sebagian besar tidak pernah melihat langsung pemimpin, kecuali mendengar dan membaca kabar tentang kebijakannya di media pemerintah.

"Para siswa saya dulu yakin bahwa negaranya sedang terancam oleh serangan AS, dan mereka mengamini tentang pentingnya persatuan di bawah kuasa negara, berbeda pandangan dengan kabar internasional kala itu," ujar Kearns.

Ditambahkan olehnya, bahwa rudah Korea Utara diyakini para siswa untuk menghadang serangan ke dalam negeri, bukan ancaman ke dunia internasional, seperti yang banyak diwartakan kala itu.

Tapi, dia mengaku tetap was-was jika Korea Utara melakukan tindakan seperti yang diberitakan oleh media internasional. Dia takut hal itu bisa memicu Perang Dunia III.

"Kami hanya bisa membaca berita dari media yang dikontrol ketat pemerintah, dan saya tahu bahwa kemungkinan besar ada informasi yang berbeda di pandangan media asing, jelasnya. 

Kearns kini menetap di Christchurch sebagai guru tata bahasa di sebuah sekolah asrama setempat. Dia mengaku ingin bisa kembali mengunjungii Pyongyang, namun kondisi telah berkeluarga dan perizinan yang sulit diakui sebagai beberapa kendala yang sulit diajak kompromi. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya