Liputan6.com, California - Suhu laut disebut oleh para ilmuwan berada pada titik tertinggi sejak pengukuran akurat dimulai pada pertengahan Abad ke-20. Lantaran adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, maka segala sesuatunya diprediksi akan kian buruk di tahun-tahun mendatang.
Lantas, bila manusia terus menciptakan gas rumah kaca yang berdampak pada atmosfer Bumi, bisakah seluruh lautan yang ada di jagat raya ini menjadi begitu panas dan mulai mendidih?
Jawabannya adalah "tidak". Untungnya, kegiatan-kegiatan merugikan yang dibuat oleh manusia itu, diklaim tidak akan pernah cukup untuk memanaskan dunia.
Advertisement
"Bahkan jika kita membakar semua cadangan bahan bakar fosil yang diketahui, kita tidak akan mendapatkan kehangatan itu," Zeke Hausfather, ahli iklim di Berkeley Earth (organisasi nirlaba yang menganalisis data suhu), mengatakan kepada Live Science.
Baca Juga
"Meski begitu, perlu disebutkan bahwa ada banyak dampak buruk bagi iklim yang terjadi jauh, jauh sebelum permukaan Bumi benar-benar cukup panas untuk mendidihkan air," lanjutnya, yang dikutip pada Jumat (22/2/2019).
Gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana meningkatkan suhu Bumi dengan menjebak energi matahari di atmosfer dan permukaan planet --energi yang akan memancar ke angkasa luar. Sekitar 93 persen dari panas tambahan ini diserap oleh permukaan laut, kata Hausfather.
Panas dengan cepat bercampur melalui air setinggi 100 meter, sebuah wilayah yang dikenal sebagai "lapisan campuran," membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai lebih jauh ke bawah, tambahnya.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah mengamati peningkatan suhu di samudera terdalam. Karena air lebih tebal daripada udara, ia memiliki kemampuan untuk menyerap banyak panas.
"Bagian atas samudera setinggi 2,5 meter memegang jumlah panas yang sama dengan seluruh atmosfer di atasnya," kata Hausfather.
Jadi, secara teori dimungkinkan bahwa lautan Bumi bisa menjadi cukup panas untuk mulai mendidih. Molekul air hangat menguap dari permukaan laut sepanjang waktu. Uap air itu sendiri adalah gas rumah kaca, sehingga jumlah air yang lebih besar di atmosfer akan menciptakan siklus umpan balik yang ganas, dan dunia yang lebih panas secara keseluruhan.
Hal serupa diduga terjadi di Venus sejak lama, menyebabkan lautan di planet ini mendidih. Tetapi karena jarak Bumi ke matahari lebih jauh daripada Venus, maka akan dibutuhkan lebih banyak gas rumah kaca bagi Planet Biru ini untuk mencapai titik suram itu.
Sebuah makalah yang diterbitkan pada 2013 di jurnal Nature Geoscience mengungkapkan bahwa, untuk mendorong efek rumah kaca yang "berlarian" ini, Bumi akan membutuhkan sejumlah karbon dioksida sekitar 10 kali lebih besar dari apa yang bisa dilepaskan dari pembakaran semua cadangan batu bara, minyak dan gas yang tersimpan di tubuhnya.
Sementara analisis ini masih tidak pasti, Hausfather berkata, secara historis, lautan di seluruh Bumi cukup tangguh untuk menghadapi iklim ekstrem. Sebagai contoh, ratusan juta tahun yang lalu, dunia kita mengalami skenario "Bumi bola salju" di mana seluruh permukaan planet ditutupi es.
Sedangkan sekitar 55 juta tahun yang lalu, suhu global rata-rata adalah 9 hingga 14 derajat Fahrenheit (5 hingga 8 derajat Celsius), lebih panas selama Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM), tetapi suhu yang relatif stabil beberapa kali kembali, Hausfather menjabarkan.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Matahari yang Sekarat
Suatu hari, di masa depan, matahari akan mencapai akhir hidupnya dan mulai berkembang ke luar sebagai bintang merah raksasa, menurut situs Space.com.
Selama 7 miliar tahun mendatang, suhu Bumi akan perlahan naik, kata astronom Robert Smith, seorang pembaca emeritus di University of Sussex, Inggris, kepada Live Science dalam email.
Pada 2008, Smith, bersama rekannya, Klaus-Peter Schroeder dari University of Guanajuato di Meksiko, melakukan perhitungan untuk mencari tahu bagaimana Bumi akan hancur. Tetapi waktu terkait lautan akan mulai mendidih, sulit dijabarkan.
Sebaliknya, penguapan laut ini bisa terjadi sekitar 1 miliar tahun dari sekarang, meski ada banyak ketidakpastian dalam angka itu, Smith menambahkan.
"Sangat mungkin bahwa beberapa bentuk kehidupan dapat bertahan untuk sementara waktu tanpa air, tetapi pada saatnya nanti permukaan Bumi cenderung menjadi cair, yang hampir akan menghilangkan jejak kehidupan," kata Smith.
Advertisement