Liputan6.com, Islamabad - Kementerian Dalam Negeri Pakistan mengumumkan pada Kamis, 7 Maret 2019 bahwa sebanyak 121 anggota militan dari 'kelompok terlarang' telah dimasukkan dalam "penahanan preventif". Hal itu dilakukan menyusul tekanan berbagai entitas internasional yang menginginkan Islamabad bertindak lebih serius dalam menghadapi kasus terorisme.
Total 121 orang militan telah dibawah ke dalam "tahanan preventif", sesuai dengan rencana pemberantasan terorisme nasional, National Action Plan (NAP), yang dirumuskan pascaserangan teror 2014 lalu. Kala itu, serangan menargetkan sebuah akademi militer di Peshawar, dengan 150 orang dinyatakan tewas, mengutip situs economictimes.indiatimes.com pada Jumat (8/3/2019).
Advertisement
Baca Juga
Operasi pemberantasan terorisme di Pakistan tengah berlangsung dengan keras, menyusul peningkatan ketegangan dengan India. Dalam langkah yang dinyatakan sebagai "operasi berkelanjutan pemberantasan ekstremisme agama" tersebut, Kementerian Dalam Negeri Pakistan bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan lembaga penegak hukum.
Mengutip laman Voice of America, Pakistan telah mengambil kendali 216 institusi pendidikan yang dijalankan oleh kelompok Islam terlarang. Sementara itu, pemerintah provinsi telah berhasil menguasai 176 fasilitas seperti ambulans dan beberapa institusi kesehatan yang dijalankan oleh kelompok militan. Keduanya telah dilakukan pada Kamis, 7 Maret 2019.
India sendiri telah memberikan berkas pada Senin, yang berisi daftar nama militan yang diduga terlibat dalam serangan Kashmir 14 Februari.
Dokumen yang dimaksud diterima oleh Pakistan, kemudian Islamabad dengan segera melancarkan penangkapan disusul dengan "penahanan preventif".
Penahanan preventif dimaksudkan untuk mengamankan terlebih dahulu para militan, sambil mencari bukti yang cukup. Mengingat, Pakistan mengatakan bahwa dokumen India tidak disertai dengan bukti yang lengkap.
"Ada beberapa yang disebutkan dalam dokumen India, namun mereka tidak memberikan bukti," kata Khan. "Sampai mereka memberikan bukti, kami telah menangkap beberapa orang ke dalam tahanan dan kami akan menyelidikinya."
Mereka yang ditangkap akan ditahan selama 14 hari, dan memungkinkan untuk dituntut di depan pengadilan apabila bukti lebih lanjut telah ditemukan. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Dalam Negeri, Azam Suleman Khan.
Sebelumnya, otoritas Pakistan telah menahan 44 militan pada Selasa, 5 Maret 2019, termasuk putra dan saudara laki-laki dari pemimpin Jaish-e-Mohammad (JeM), Masood Azhar.
JeM adalah kelompok teroris yang mengaku bertanggung jawab atas serangan Kashmir, 14 Februari 2019, yang menewaskan lebih dari 40 personel kepolisian India.
Â
Â
Simak pula video pilihan berikut:
Aset Mereka Juga Akan Disita
Penahanan sejumlah anggota kelompok militan telah berlangsung sejak Selasa, 5 Maret, pascapengesahan regulasi birokrasi anti-terorisme. Kebijakan itu bersubstansi akan menyita aset anggota kelompk militan yang telah diberikan sanksi oleh PBB, termasuk JeM.
"Tujuan dari kebijakan pembekuan dan penyitaan aset yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB pada 2019 adalah untuk merampingkan prosedur implementasi sanksi PBB terhadap kelompok atau individu tertentu," disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri pada Senin.
Langkah baru tersebut, memperbarui legislasi yang telah ada, akan berlaku bagi seluruh kelompok yang berafiliasi dengan ISIS dan al-Qaeda sebagaimana diatur oleh PBB, dan juga entitas yang dianggap sebagai 'teroris' di bawah undang-undang domestik anti-terorisme Pakistan.
JeM sendiri telah resmi disebut sebagai organisasi teroris sejak 2002.
JeM yang dimaksud memiliki massa pendukung yang terletak di Kashmir yang dikuasai Pakistan, serta Kashmir dan Doda yang berada di wilayah kedaulatan India.
"Pendukung (JeM), sebagian besar berasal dari Pakistan dan Kashmir, namun juga termasuk Afghanistan dan mantan pejuang Arab di Perang Afghanistan... JeM berbasis di (Kota) Peshawar dan Muzaffarabad, Pakistan, namun anggota melakukan aktivitas terorisme paling banyak di Kashmir," menurut ringkasan PBB tentang alasan sanksi diberikan kepada kelompok tersebut.
Menurut laporan PBB, JeM sebagaimana al-Qaeda, berkoordinasi dengan kelompok Taliban di Afghanistan yang ingin menargetkan anggota koalisi pertahanan NATO di negara tetangga Afghanistan.
Perlu diketahui bahwa saat ini, pemimpin JeM, Azhar, tidak mendapatkan sanksi khusus dari PBB, namun termasuk dalam daftar hitam "individu terlarang" pemerintah Pakistan.
Adapun kelompok militan lain yang menjadi target regulasi baru adalah Lashkar-e-Taiba, serta pasukan amalnya Jamaat-ud-Dawa dan Filah-e-Insaniyat Foundation.
Salah satu faktor pendorong implementasi kebijakan anti-teror ini, menurut Al Jazeera, berkaitan dengan peningkatan tekanan dari Financial Action Task Force (FATF), badan antarpemerintah dengan 38 negara anggota yang memonitor pendanaan kelompok militan dan pencucian uang.
Tahun lalu, FATF telah memasukkan Pakistan dalam "daftar abu-abu" mengatakan bahwa negara itu terlibat dalam pendanaan kelompok militan. Implikasi yang harus ditanggung jika status berganti menjadi daftar hitam berupa kesulitan sistem finansial dan infrastruktur perbankan internasional.
Pernyataan Pakistan pada Senin mengakui bahwa regulasi baru -terkait pembekuan dan penyitaan aset teroris- segaris dengan standar Dewan Keamanan PBB dan FATF.
Regulasi penyitaan dan pembekuan sendiri harus sesuai dengan metodologi regulasi PBB, yang mengecualikan sejumlah aset untuk menunjang "kebutuhan pokok.
Selain pembekuan dan penyitaan aset, regulasi PBB juga termasuk larangan bepergian secara internasional dan embargo senjata.
Advertisement