Liputan6.com, Beijing - Dalam beberapa waktu terakhir, aplikasi video streaming Kwai di China, tengah banyak menyiarkan berbagai tayangan pendek hasil rekaman penduduk desa dari berbagai penjuru Negeri Tirai Bambu.
Satu klip memperlihatkan empat wanita muda tertawa ketika mereka mengambil ikan dari sawah dengan tangan mereka. Di tempat lain, mereka mengenakan pakaian tradisional untuk membajak sawah dengan bantuan tenaga sapi.
Semua kegiatan yang terlihat normal untuk penduduk desa itu difilmkan secara mandiri dalam video berkualitas prima, demikian sebagaimana dikutip dari CNN pada Sabtu (20/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Video pendek mereka adalah bagian kecil dari upaya nasional besar-besaran untuk mengangkat seluruh 1,4 miliar populasi China keluar dari kemiskinan pada 2020. Ini adalah tujuan ambisius yang ditetapkan oleh Presiden Xi Jinping dalam pidatonya pada tahun 2015.
Saat ini, pemerintah China mendefinisikan rakyat miskin sebagai orang-orang yang berpenghasilan US$ 1,10 (setara Rp 15.442) per hari, lebih rendah dari yang dipatok oleh Bank Dunia, yakni sebesar US$ 1,90 atau sekitar Rp 26.000 per hari.
Selama hampir satu dekade terakhir, pemerintah pusat di Beijing telah mengirim sekitar 775.000 pejabat partai untuk mendorong kampanye anti-kemiskinan.
Banyak dari mereka yang berkunjung langsung ke rumah-rumah warga, untuk mencari tahu apa yang bisa dilakukan otoritas dalam membantu mengentaskan kemiskinan.
Menurut media yang corong permerintah, para pejabat ini terancam kehilangan karier jika gagal memenuhi misi yang diembannya tersebut.
Dibagi Menjadi Dua Strategi
Rencana administrasi Xi secara luas dibagi menjadi dua strategi, yakni kebijakan nasional besar dan intervensi skala kecil di tingkal lokal.
Di tingkat nasional, kebijakan berputar di sekitar pengeluaran infrastruktur. Pada 2019 saja, Beijing mengucurkan dana sebesar US$ 19 miliar (setara Rp 266 triliun), yang telah dihabiskan untuk berbagai proyek dan inisiatif di seluruh negeri.
Menurut angka pemerintah, lebih dari 200.000 kilometer jalan dibangun atau direnovasi pada 2018, dan 94 persen desa miskin terhubung ke internet.
Selain itu, lusinan perusahaan milik negara telah bergabung untuk menyalurkan lebih dari US$ 4 miliar (setara Rp 54 triliun) ke dalam program-program bantuan kemiskinan pada awal 2019.
Sementara untuk intervensi skala kecil, kampanye anti-kemiskinan diembankan kepada para pejabat lokal.
"Setiap pejabat lokal di tingkat kota (satu di atas desa) turun ke setiap rumah tangga miskin, dan mencoba mencari tahu keluhan orang miskin, dan berupaya menetapkan pemberdayaan sumber daya yang efektif," kata Donaldson.
Solusi yang diajukan sangat bervariasi, tetapi seringkali mendorong penduduk desa untuk keluar dari kemiskinan dengan mengembangkan industri lokal, terlibat dalam niaga daring (e-commerce), dan meningkatkan pariwisata pedesaan.
Tidak Lepas dari Masalah
Namun, beberapa proyek besar ini telah memicu kontroversi. Sejumlah pemerintah provinsi dituduh berusaha memindahkan jutaan orang miskin ke akomodasi perkotaan yang baru dibangun untuk mengangkat mereka keluar dari kemiskinan.
Beberapa warga desa yang lebih tua telah menolak untuk pergi, sementara yang lain telah pindah tetapi kemudian kembali ke rumah lama mereka.
Maggie Lau, seorang profesor di Lingnan University Hong Kong, mengatakan skema seperti itu tidak selalu pragmatis. "Jika mereka pindah ke daerah berbiaya lebih tinggi, bagaimana mereka bisa membayar biaya hidup baru itu?" kritiknya.
Sementara itu, Donaldson mengatakan upaya skala kecil juga turut memicu masalah, di mana pejabat pemerintah menghabiskan terlalu banyak waktu hanya mengetuk pintu berbicara tentang kemiskinan, daripada menangani masalah lokal.
"Bahayanya adalah itu akan menjadi kekacauan yang membingungkan," katanya.
Ada juga kurangnya kesabaran dengan penduduk desa miskin yang gagal mendapatkan program.
Dalam sebuah laporan di bulan Februari, Wu Weihua, seorang wakil ketua legislatif nasional, mengeluh bahwa beberapa orang tidak ingin "menjadi kaya."
"Beberapa orang miskin bahkan memiliki pola pikir, 'Kamu tidak membantu, saya tidak bergerak'," kata laporan itu.
Advertisement
Ambisi Sejak Lama
Sejatinya, mimpi untuk memberantas kemiskinan yang meluas di China tidak dimulai di era pemerintahan Xi Jinping, melainkan telah digagas sejak kebangkitan Partai Komunis pada 1949 silam.
"Alasan keberadaan Partai Komunis China pada awalnya adalah karena ketidakadilan dan kemiskinan di kalangan petani," kata John Donaldson, seorang ahli isu kemiskinan dan profesor di Singapore Management University.
Percobaan ekonomi oleh Mao Zedong, bagaimanapun, tidak juga mampu mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh, kata Steve Tsang, direktur Institut Tiongkok di University of London.
"Pada 1949, Shanghai masih menjadi kota yang lebih kaya daripada Hong Kong. Pada 1949, provinsi pesisir China mana pun lebih kaya dan lebih berkembang daripada Taiwan. Pada 1979, Hong Kong dan Taiwan jauh, jauh lebih maju di depan," lanjutnya.
Lompatan Besar Maju buah gagasan Mao, yang dimulai pada 1958, tampaknya merupakan upaya untuk mengubah mayoritas masyarakat agraris melalui industrialisasi dan kolektivisasi.
Alih-alih sesuai harapan, gagasan tersebut justru menciptakan kasus kelaparan baru yang menelan korban puluhan juta jiwa, dan tetap memperburuk kondisi kemiskinan di seluruh wilayah China.
Segalanya mulai berubah setelah kepergian Mao. Pada 1978, pemimpin utama Deng Xiaoping mulai meliberalisasi ekonomi China, dan salah satu reformasi pertamanya adalah membiarkan petani menjual kelebihan produk untuk mendapat untung.