Liputan6.com, Jakarta - Keadaan muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, China sering menjadi sorotan banyak pihak. Salah satunya pada akhir tahun lalu, ketika sebuah laporan jurnalisme investigatif yang dilakukan oleh Associated Press mengatakan, adanya kamp penahanan yang didirikan pemerintah untuk komunitas kelompok minoritas di wilayah tersebut.
Laporan itu didukung oleh pernyataan dari panel HAM PBB yang pada Agustus 2018 menuding bahwa setidaknya satu juta orang etnis minoritas ditahan di kamp tersebut.
Namun, tuduhan itu dibantah keras oleh otoritas Tiongkok. Beijing menyebut bahwa kamp tersebut merupakan pusat pelatihan vokasional dan fasilitas de-radikalisasi demi menanggapi ancaman ekstremisme di Xinjiang.
Advertisement
Menindaklanjuti argumentasi mereka mengenai situasi di Xinjiang, baru-baru ini, pemerintah Tiongkok mengadakan sebuah workshop di Indonesia dengan tajuk Xinjiang dari Berbagai Aspek.
Kegiatan itu menghadirkan seorang pemuka agama lokal Abudurekefu Tumuniyazi. Ia adalah wakil ketua Aosiasi Islam di China, sekaligus pimpinan Lembaga Pendidikan Islam di Provinsi Xinjiang.
Baca Juga
Sang pemimpin Islam di wilayah otonom Uighur itu membantah bahwa muslim di Xinjiang mendapatkan perlakuan buruk. Menurutnya, terdapat kebijakan di China yang melindungi kebebasan beragama yang ia katakan sebagai "hak dasar" yang dijamin konstitusi.
"Kebebasan beragama adalah urusan pribadi, tidak ada yang bisa mendiskriminasi... baik itu lembaga negara, organisasi sosial, maupun individu," tutur Tumuniyazi dalam workshop yang diselenggarakan di Jakarta, Senin (19/6/2019).
"Hukum China melindungi kegiatan beragama... baik itu dilakukan di muka umum maupun di rumah mereka masing-masing."
Pemimpin lembaga pendidikan Islam itu menambahkan, "pemerintah China sepenuhnya memenuhi dan menghormati" kebutuhan kaum muslim, khususnya Uighur. Ia menyebut makanan halal mudah didapat, serta ibadah haji juga dapat dilakukan.
Pemberantasan Terorisme
Penuturan Turmuniyazi dibenarkan oleh Lutfi A. Tamimi, sekretaris umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam di Indonesia (LPOI) yang berbasis di Jakarta. Ia adalah salah satu peserta workshop yang juga pernah mengunjungi Provinsi Xinjiang atas undangan pemerintah China.
Lutfi menambahkan, berdasarkan pengalamannya, salat Jumat diperbolehkan di wilayah otonom Uighur yang diikuti oleh beberapa ribu jemaah.
Dalam workshop itu, seorang pejabat konsuler bidang politik Kedutaan Besar China di Indonesia juga menjelaskan proses kontra-terorisme di Provinsi Xinjiang. Qiu Xinli, sang konsul, mengatakan bahwa pemerintah pusat telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme.
Menurutnya, terorisme berangkat dari kemiskinan. Oleh karenanya, pemberantasan dapat dilakukan dengan insentif ekonomi dan mengadakan pendidikan vokasional. Dengan demikian, pemuda muslim Uighur pada khususnya mampu mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak.
Tanggapan Ahli
Salah seorang peserta workshop, Defbry Margiansyah yang merupakan staf LIPI mengatakan, penjelasan merupakan bentuk klarifikasi pemerintah China atas pemberitaan yang negatif tentang kondisi muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.
"Kalau kita lihat tadi, banyak kebijakan-kebijakan seperti kontra-terorisme dan itu hanya berbicara pada dasar saja belum dalam. Dan solusinya hanya seperti pelatihan vokasional dan melihat masalah itu berakar pada ekonomi," kata Defbry kepada Liputan6.com.
Menurutnya permasalahan ekonomi sebenarnya hanya merupakan faktor pemacu, namun basisnya adalah keyakinan.
"Itu yang tidak dilihat oleh pemerintah China," katanya. "Bagaimana mereka merekonstruksi pemahaman tentang Islam, yang menurut saya belum terlihat dari pemerintah China."
Sementara itu, Yeremia Lalisang yang merupakan dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia, mengapresiasi kegiatan workshop. Menurutnya, untuk benar-benar mengetahui keadaan muslim Uighur, dapat dilakukan dengan mempelajari secara langsung dari sumber primer.
Advertisement