Liputan6.com, Washington DC - Aktivis pembela hak-hak muslim Uighur di Amerika Serikat meningkatkan upaya untuk membujuk Kongres agar menyetujui rancangan undang-undang khusus demi merespons dugaan meningkatnya persekusi terhadap kelompok minoritas muslim di Provinsi Xinjiang oleh pemerintah China.
'Uyghur American Meshrep Group', organisasi yang terdiri dari 30 aktivis Uighur, datang ke Washington pekan lalu untuk mendesak pejabat Amerika agar membantu sebanyak dua juta penduduk Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR). Mereka diyakini menjalani pendidikan wajib di kamp-kamp penjara China, demikian sebagaimana dilansir dari VOA Indonesia pada Rabu (5/6/2019).
Advertisement
Baca Juga
Aktivis itu mendesak Kongres agar meratifikasi Undang-Undang Kebijakan Hak Asasi Uighur 2019, yang bersubstansi meminta pertanggungjawaban pejabat China atas dugaan penyiksaan terhadap kelompok minoritas muslimnya.
Xinjiang, di barat laut China, adalah tempat tinggal bagi hampir 22 juta orang dan memiliki konsentrasi muslim terbesar. Diperkirakan terdapat 13 juta etnis Uighur dan minoritas muslim Turki lainnya di wilayah tersebut.
China Undang Dubes Eropa untuk Saksikan Langsung Kondisi Uighur
Sementara itu pada Maret lalu, pemerintah China mengundang misi diplomatik negara-negara Eropa untuk mengunjungi Wilayah Otonom Xinjiang-Uighur.
Kunjungan itu menjadi yang pertama oleh sekelompok besar diplomat Barat ke wilayah itu, ketika China menghadapi kritik dari Barat dan kelompok-kelompok hak asasi manusia karena diduga mendirikan berbagai 'fasilitas' yang digambarkan oleh para ahli PBB sebagai pusat detensi yang menampung lebih dari satu juta etnis Uighur dan minoritas lainnya.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Rabu 20 Maret 2019, Kementerian Luar Negeri China mengonfirmasi undangan tersebut, mengatakan para diplomat dipersilakan untuk datang dan melihat situasi di wilayah barat jauh untuk diri mereka sendiri.
"Dalam rangka meningkatkan pemahaman pihak Eropa tentang pencapaian Xinjiang dalam pembangunan ekonomi dan sosial, dan mempromosikan pertukaran dan kerja sama bilateral, China berencana dalam waktu dekat untuk mengundang utusan Eropa yang berbasis di China untuk mengunjungi Xinjiang," kata Kementerian Luar Negeri China dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari The South China Morning Post, Kamis 21 Maret 2019.
"Melihat adalah percaya. Kami percaya para diplomat Eropa akan menyaksikan fakta bahwa orang-orang dari semua kelompok etnis di Xinjiang hidup dan bekerja dalam kedamaian dan harmoni," lanjut pernyataan itu.
Advertisement
China Menyangkal Tuduhan Pihak Asing
Pejabat top badan diseminasi informasi China juga sempat angkat bicara pada Februari lalu, seputar kritik yang dilontarkan negara dan pihak asing kepada Tiongkok mengenai kebijakannya terhadap kelompok minoritas Uighur dan lainnya di Wilayah Otonomi Xinjiang. Menurutnya, kritik tersebut merupakan "tuduhan yang tidak mendasar dan keliru".
Pernyataan itu datang di tengah besarnya sorotan dunia terhadap China, setelah panel Komite HAM PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, pada Agustus 2018, mengatakan telah menerima laporan bahwa kira-kira 1 juta orang Uighur dan kelompok etnis minoritas lainnya ditahan sejak 2017 di "kamp atau pusat re-edukasi" di Xinjiang.
Panel juga menambahkan, fasilitas itu mirip dengan "kamp interniran besar-besaran yang diselimuti kerahasiaan"--sesuatu yang telah dibantah keras oleh pihak Beijing.
Laporan itu kemudian ramai diberitakan oleh berbagai media, mendapat perhatian dari beberapa pemerintah negara Barat dan beberapa negara Asia seperti Turki, yang menyatakan keprihatinannya atas laporan panel PBB dan mendesak Beijing menghentikan praktik itu.
Merespons, Wakil Menteri Departemen Publisitas untuk Partai Komunis China (CPCPD), Jiang Jianguo mengatakan, "Tuduhan negara-negara atas kebijakan dalam negeri China (terhadap isu Uighur di Xinjiang) adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan dan merupakan sebuah tindakan yang salah," ujarnya melalui penerjemah di Beijing, Rabu 20 Februari 2019.
Pernyataannya tampak berupaya untuk menanggapi pemerintah Turki, yang pada Februari lalu "mengutuk" perlakuan China terhadap etnis muslim Uighur sebagai "hal yang memalukan bagi kemanusiaan".
"Kebijakan asimilasi sistematis otoritas China terhadap warga etnis Uighur adalah hal yang memalukan bagi kemanusiaan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari The Guardian pada Minggu 10 Februari 2019.
Namun, Jiang Jianguo merespons dengan mengatakan, "Mereka seakan-akan tahu apa yang terjadi dan memiliki koneksi dekat dengan orang-orang Uighur di Xinjiang. Padahal mereka tidak."
"Mereka juga menghadapi ekstremisme dan terorisme di dalam negeri, jadi tidak patut bagi mereka untuk membuat tuduhan seperti itu kepada kami."
Jianguo menggarisbawahi bahwa 'kamp-kamp' yang dimaksud oleh berbagi laporan media internasional sejatinya merupakan "sekolah vokasi dan pelatihan", bagian dari program deradikalisasi terhadap "teroris dan ekstremis, residivis teroris, figur yang diduga atau berpotensi teroris dan ekstremis, serta orang yang dipaksa terlibat dalam terorisme dan ekstremisme."
Di sekolah itu, kata Jianguo, orang-orang diberikan berbagai pelatihan agar mampu "menyelaraskan bahasa dan gaya hidup bangsa China, serta mematuhi hukum negara."
Beberapa laporan mengatakan bahwa Xinjiang, terutama daerah perbatasan yang bertetangga dengan Pakistan, Kazakhstan dan negara-negara lain di Asia Tengah, menghadapi pertumbuhan ekstremisme dan terorisme sejak beberapa dekade --terutama terkait dengan gerakan Turkistan Timur (ETIM), sebuah kelompok separatis yang dicap Beijing sebagai organisasi teroris.
China juga menjelaskan, bahwa orang-orang yang berhaluan ekstremisme turut berpartisipasi dengan kelompok separatis dan sejumlah orang dari kelompok etnis di Xinjiang diduga telah bergabung dengan kelompok teroris terafiliasi ISIS.