Liputan6.com, New York - Bahrain didaulat menjadi tuan rumah konferensi perdamaian Israel-Palestina yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Lokakarya itu berlangsung di Manama, pada 25-26 Juni 2019.
Konferensi Bahrain diinisiasi oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Dalam pertemuan itu, akan dibicarakan aspek ekonomi dari proposal perdamaian yang populer disebut Deal of the Century atau Kesepakatan Abad Ini.
Advertisement
Baca Juga
Human Rights Watch menyoroti dipilihnya Bahrain sebagai tuan rumah workshop itu. Khususnya, tentang hubungan paradoks antara bagaimana negara yang disebut membatasi kebebasan dan hak berekspresi warga negaranya itu justru menyelenggarakan konferensi "perdamaian".
"Dalam sebuah ironi yang pahit, Bahrain, yang secara teratur membungkam perbedaan pendapat dengan penahanan, penyensoran, dan penyiksaan sewenang-wenang, telah dipilih untuk menjadi tuan rumah lokakarya tentang perdamaian menuju kesejahteraan," kata Lama Fakih, direktur Timur Tengah di Human Rights Watch.
"Wartawan yang menghadiri lokakarya harus menekan pemerintah Bahrain tentang pelanggaran hak di rumahnya," lanjut Fakih seperti dikutip dari situs resmi Human Rights Watch pada Senin (25/6/2019).
Sayangnya, wartawan independen dan berkebangsaan asing jarang memiliki akses ke negara itu. Begitu pula Human Rights Watch dan kelompok HAM lain yang secara rutin ditolak mentah-mentah. Layanan kawat internasional sering kali melaporkan situasi negara itu dari Dubai atau tempat lain.
Catatan Kelam Bahrain dalam HAM Disorot
Human Rights Watch menyebut beberapa catatan kelam Bahrain dalam Hak Asasi Manusia. Sejumlah aktivis, jurnalis, dan pemimpin oposisi telah ditangkap dan disiksa. Setidaknya tiga kasus telah diungkap, di antaranya yang mendera Nabeel Rajab, Abdulhadi al-Khawaja, dan Najah Yusuf.
Nabeel Rajab, kepala Pusat Hak Asasi Manusia Bahrain, telah dipenjara selama tiga tahun. Keluarganya juga mengatakan, kesehatan Rajab memburuk dalam penahanan. Ia dihukum karena menulis di Twitter tentang penyiksaan di penjara Jaw dan mengkritik kampanye militer pimpinan Saudi dan UEA di Yaman, lapor Human Rights Watch. Rajab dituduh menyebarkan berita palsu dan menghina negara asing.
Abdulhadi al-Khawaja, pembangkang damai lainnya, menjalani hukuman seumur hidup. Hal itu karena ia mengorganisir protes damai yang menyerukan reformasi politik selama Musim Semi Arab 2011.
Al-Khawaja dihukum oleh pengadilan militer pada Juni 2011 atas tuduhan pembiayaan dan berpartisipasi dalam terorisme untuk menggulingkan pemerintah. Tak hanya itu, ia dianggap menjadi agen mata-mata untuk negara asing. Selama penahanannya, al-Khawaja disiksa, menghabiskan dua bulan di sel isolasi, dan tidak diberi akses ke pengacara, kata sumber yang sama.
Sementara itu, pada April 2017, pihak berwenang menangkap Najah Yusuf, seorang aktivis dan blogger. Langkah itu diambil pemerintah setelah ia merilis serangkaian posting yang kritis terhadap Grand Prix Bahrain 2017.
Yusuf, dalam pernyataan tertulis yang dikutip Human Rights Watch, mengatakan bahwa Badan Keamanan Nasional menginterogasinya, melakukan penganiayaan fisik, kekerasan seksual, dan penyiksaan psikologis, Dia mengatakan mereka memaksanya untuk menandatangani pengakuan yang sudah disiapkan. Pada Juni 2018, dia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena aktivitas media sosialnya.
Advertisement
Kebebasan Pers
Human Rights Watch telah mendokumentasikan penyiksaan yang meluas di fasilitas penahanan Bahrain, terutama selama interogasi. Namun, pengadilan setempat berulang kali gagal menghukum mereka yang bertanggung jawab.
Kebebasan pers juga menjadi permasalahan sendiri. Menurut Human Rights Watch, Bahrain telah melarang media independen beroperasi di negara itu, membubarkan semua kelompok oposisi, dan baru-baru ini juga menindak pos-pos penting online.
Pada Maret 2018, pihak berwenang mengatakan mereka melacak akun media sosial yang "menyimpang dari norma, kebiasaan, dan tradisi nasional." Pada 30 Mei 2019, Kementerian Dalam Negeri Bahrain menyatakan bahwa mereka akan menuntut orang-orang yang berbagi posting "menghasut" di Twitter."
Pencabutan Kewarganegaraan
Sejak 2012, lebih dari 900 orang telah dilucuti kewarganegaraan mereka karena dugaan pelanggaran terorisme.Sebagian besar dari mereka dihukum dengan pencabutan kewarganegaraan.
Pada 20 April 2019, dalam langkah positif, Raja Hamad bin Isa al Khalifa mengembalikan kewarganegaraan 551 orang yang kewarganegaraannya dilucuti melalui perintah pengadilan.
Namun, lebih dari 400 orang tetap tanpa kewarganegaraan. Lebih jauh, tidak jelas atas dasar apa raja memutuskan kewarganegaraan rakyat mana yang harus dipulihkan.