Liputan6.com, Ashgabat - Lembaga analis global Foreign Policy Centre --yang berbasis di London-- merilis sebuah laporan baru yang mengimbau pemerintah dan investor asing untuk tidak mendekati Turkmenistan yang kaya akan minyak dan gas (migas).
Alasannya adalah karena Turkmenistan "berada di ujung tanduk" akibat kebijakan isolasi yang membuat investasi asing berangsur-angsur meninggalkan negara itu.
Laporan yang dirilis pada Senin 15 Juli itu menyebut Turkmenistan mempraktikkan "ekonomi Potemkin", yakni julukan bagi kebijakan artifisial untuk membuat sebuah lembaga terlihat bersinar, namun dengan transparansi yang dipertanyakan.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari Al Jazeera pada Selasa (16/7/2019), laporan itu juga menyinggung pernyataan Kementerian Perdagangan Internasional Inggris, bahwa "tidak ada data ekonomi terpercaya yang diterbitkan oleh pemerintah Turkmenistan".
"Risiko investasi termasuk pada kebijakan pemerintah (Turkmenistan) yang mengarah pada perilaku sewenang-wenang oleh birokrasi sklerotik", kata laporan itu.
"Meskipun ada undang-undang untuk melindungi bisnis, faktanya itu tidak diterapkan," kata Eimear O'Casey, seorang peneliti Asia Tengah di sebuah lembaga konsultan politik di AS.
Korupsi adalah endemik kehidupan ekonomi Turkmenistan, di mana Transparency International --lembaga pemeringkat transparansi intrnasional-- menempatkannya di posisi terbawah kedua dari 180 negara yang disurvei pada 2018.
Ditambahkan oleh laporan itu, bahwa kerabat dan keluarga dari para tokoh berkuasa di Turkmenistan telah diuntungkan oleh pengeluaran negara
Didorong oleh Harga Jual Gas yang Rendah
Turkmenistan menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam tiga dekade, yang telah menyebabkan hiperinflasi dan meluasnya kekurangan pangan, meskipun negara itu memiliki sekitar 10 persen dari total cadangan gas alam dunia.
Gejolak ekonomi di negara yang bergantung pada hidrokarbon itu sebagian besar didorong oleh harga jual gas yang rendah, penangguhan ekspor migas ke Rusia antara 2016 dan 2019, serta hasil panen yang buruk.
Profesor Steven Hanke dari Cato Institute, mencatat tingkat inflasi Turkmenistan setinggi 294 persen pada Juni 2018.
Sumber daya pemerintah yang konservatif menyebabkan tersendatnya pasokan listrik, air, dan gas bagi warga sejak Januari 2019.
"Pada saat ribuan orang mengantre untuk membeli bahan kebutuhan pokok, pemerintah Turkmenistan justru membelanjakan US$ 2,3 miliar untuk pembangunan jalan raya 'Turkmen Autobahn', sungguh ironis," kata Luca Anceschi, dosen senior pada Studi Asia Tengah di Glasgow University.
Turkmen Autobahn adalah jalan raya delapan jalur yang menghubungkan antara ibu kota Ashgabat dan kota Abad Pertengahan Turkmenabat, di mana pembangunannya diawasi oleh penasehat teknis Austria, Vienna Consulting Engineers (VCE).
Advertisement
Pemimpin Turkmenistan Dinilai Kultus
Laporan terkait menyebut pemimpin Turkmensitasn semakin tampil kultus, ketika rezim yang berkuasa mempertahankan cengkeramannya pada masyarakat setempat.
Juga disorot dalam laporan itu adalah praktik kerja paksa yang masih lazim ditemui di kalangan warga miskin Turkmenistan, penmbungkaman kebebasan media, dan maraknya "menghilang" di penjara.
Ruslan Myatiev, pendiri dan editor situs Alternative Turkmenistan News, mengatakan: "Tidak ada lanskap media di negeri ini. Semua surat kabar, stasiun radio dan televisi terpasung oleh rezim berkuasa."
"Ini sangat buruk, karena di beberapa negara sejenis, seperti Korea Utara dan Suriah yang dilanda perang, pers lebih bebas," tambahnya.
Tidak ada cara untuk menantang pelanggaran hak asasi manusia seperti masalah kerja paksa dalam panen kapas, tambah Myatiev.
"Orang tidak punya pilihan selain menyerah karena tidak ada peluang untuk menemukan pekerjaan lain," katanya.
Setelah runtuhnya Uni Soviet, Turkmenistan tetap terisolasi dari seluruh dunia di bawah pemerintahan brutal mantan presiden Saparmurat Niyazov.
Tidak banyak yang berubah sejak Presiden Gurbanguly Berdimuhamedow saat ini berkuasa pada 2006. etelah kematian Niyazov.