Liputan6.com, Washington DC - House of Representatives Amerika Serikat (DPR AS) telah menggelar penyelidikan proses pemakzulan Presiden Donald Trump sejak pekan lalu.
Baca ulasan lengkapnya pada tiga tautan di bawah ini:
Advertisement
Baca Juga
Tapi, Trump bukan satu-satunya presiden Amerika yang pernah menghadapi ancaman pemakzulan.Â
Setiap presiden sejak Ronald Reagan telah diancam akan dimakzulkan anggota DPR, termasuk Trump, yang menghadapi tiga pasal terpisah untuk pemakzulan pada 2017.
Namun, dari sejumlah presiden yang pernah menghadapi ancaman tersebut, hanya dua yang benar-benar berhasil terjerumus dalam proses pemakzulan di Kongres AS (DPR dan DPD/US Senate).
Akan tetapi, dua-duanya selalu lolos dari vonis pemakzulan.
Berikut 4 fakta seputar pemakzulan presiden di Amerika Serikat, seperti dikutip dari CNN, Senin (30/9/2019):
1. Bagaimana Proses Pemakzulan Terjadi?
Presiden AS yang menjabat dapat terjerumus dalam proses pemakzulan akibat tuduhan pengkhianatan, penyuapan atau "kejahatan berat dan pelanggaran ringan lainnya."
Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) akan melakukan voting RUU proses pemakzulan pada presiden yang disasar, dan jika mayoritas anggota memilih mendukung, RUU proses pemakzulan akan dibawa ke US Senate (Senat AS / DPD AS).
Upper chamber dewan legislatif AS itu akan bertugas melakukan persidangan.
Mayoritas dua pertiga di Senat diharuskan untuk menyetujui voting penghukuman dan menghasilkan vonis pemakzulan seorang presiden dari jabatannya --yang tidak pernah berhasil terjadi dalam sejarah AS.
Logikanya, seorang presiden yang menjabat memiliki basis dukungan yang kuat (majority) dari partai pengusungnya, entah di DPR atau DPD.
Dalam konteks saat ini, Partai Republik pengusung Donald Trump memegang mayoritas di US Senate, namun tidak di House of Representatives yang dikuasai partai oposisi Demokrat.
Andaikan House berhasil meloloskan voting pemakzulan (dan itu diperkirakan pasti), hal tersebut tidak otomatis berujung pada pemecatan Trump. Seperti yang dijelaskan di atas, voting vonis membutuhkan 2/3 suara anggota Senat, yang mana itu nyaris mustahil, karena saat ini Republik memegang mayoritas kursi di sana.
Sebagai informasi, ada 100 kursi di Senat AS saat ini: 53 Republik, 45 Demokrat, dan 2 Independen. Untuk mencapai 2/3 suara, sebuah voting membutuhkan persetujuan 67 kursi. Pun, ketika semua kursi Demokrat memilih voting vonis pemakzulan Trump, suara itu tidak memenuhi ambang batas dua per tiga.
Advertisement
2. Meski Tersandung Skandal Watergate, Presiden Richard Nixon Tidak Terjerumus dalam Proses Pemakzulan
Dari awal penyelidikan skandal Watergate, Nixon bersikeras tentang ketidakbersalahannya.
Dia berulang kali menyatakan bahwa dia tidak pernah mengatakan kepada anggota stafnya untuk melakukan sesuatu yang ilegal dan bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang pembobolan markas Komite Nasional Partai Demokrat (yang beroposisi dengannya) selama kampanye presiden 1972 yang memicu penyelidikan.
Dalam upaya membersihkan namanya, Nixon menekankan kesediaannya untuk bekerja sama dengan simpatisan. Tetapi ketika penyelidikan berlanjut, Nixon tidak berhasil mencoba menghalangi tuntutan jaksa untuk bukti.
Hal ini menghasilkan persidangan penting AS v. Nixon pada Juli 1974, di mana Mahkamah Agung dengan suara bulat memerintahkan Nixon untuk menyerahkan kaset-kaset Gedung Putih yang rusak kepada penyelidik.
Nixon akhirnya menghadapi kemungkinan pemakzulan karena menghalangi keadilan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penghinaan terhadap Kongres selama skandal Watergate.
Namun, sebelum DPR dapat melangsungkan voting awal, Nixon memilih mengundurkan diri lebih dulu pada 9 Agustus 1974.
3. Andrew Johnson-lah Presiden Pertama AS yang Terjerumus dalam Proses Pemakzulan
Kongres AS hanya pernah melakukan dua pengadilan pemakzulan presiden dan kedua presiden berhasil lolos dari vonis dan tetap menjabat.
Yang pertama adalah pada tahun 1868, yang melibatkan Presiden Andrew Johnson karena memecat seorang menteri kabinet tanpa persetujuan Kongres.
Ketika Johnson berusaha untuk memaksa Menteri Perang (War Secretary) Edwin M. Stanton pada 1867 karena berkonspirasi dengan musuh-musuh politiknya, kaum Republik radikal mulai bergerak untuk melakukan pemakzulan.
Upaya pertama mereka, pada bulan Desember 1867, gagal, tetapi pada tanggal 24 Februari 1868, mereka berhasil.
DPR mengeluarkan resolusi pemakzulan dan menindaklanjutinya dengan menerbitkan 11 pasal yang merinci tuduhan terhadap presiden.
Yang paling menonjol di antara mereka adalah tuduhan politik sebagian besar bahwa Johnson telah melanggar Undang-Undang Layanan (Tenure of Service Act) yang baru saja disahkan dalam skandal Edwin Stanton.
Persidangan Senat dibuka pada 5 Maret, dengan Ketua Mahkamah Agung Salmon P. Chase memimpin. Itu berlangsung tiga minggu.
Johnson tidak pernah muncul dalam persidangan di Senat.
Pada akhirnya, pengadilan Senat hampir saja memvonisnya atas tiga dakwaan, tetapi dalam setiap kasus, voting penghukuman selalu gagal mencapai suara mayoritas dua pertiga dengan selisih satu suara saja.
Reses selama sepuluh hari dipanggil sebelum Senat kembali mencoba menghukumnya dengan pasal tambahan.
Penundaan itu tidak mengubah hasilnya. Pada 26 Mei, Senat gagal menjatuhkan vonis pemakzulan kepada presiden, dan setelah itu, persidangan ditunda.
Advertisement
4. Bill Clinton Terjerumus dalam Proses Pemakzulan dan Bernasib Sama dengan Johnson
Presiden Bill Clinton terjerumus dalam proses pemakzulan pada 1998 atas tuduhan memberi sumpah palsu dan menghalang-halangi hukum (obstruction of justice).
Asal-usul kasus terhadap Clinton dimulai dalam kasus Whitewater, dan penyelesaian gugatan pelecehan seksual yang dibawa oleh Paula Jones.
Proses pengadilan memicu penyelidikan apakah Clinton menghalangi keadilan dan berbohong di bawah sumpah. Penyelidikan berpusat pada hubungan Clinton dengan pegawai magang Gedung Putih, Monica Lewinsky.
Setelah penyelidikan empat tahun, jaksa penuntut khusus (special prosecutor) Kenneth Starr menghasilkan laporan setebal 445 halaman yang merinci hubungan Clinton dengan Lewinsky.
Laporan tersebut mencantumkan tindakan-tindakan yang bisa menjadi dasar untuk pemakzulan. Pada 8 Oktober 1998, DPR menyetujui penyelidikan pemakzulan.
Empat pasal pemakzulan dituduhkan di DPR. Dua disetujui: Satu menuduh bahwa Clinton melakukan sumpah palsu ketika dia mengatakan kepada dewan juri bahwa dia tidak berselingkuh dengan Lewinsky dan satu sisanya menuduh bahwa Clinton memaksa Lewinsky untuk berbohong di bawah sumpah tentang hubungan mereka.
Pada Januari 1999, pengadilan pemakzulan dimulai di Senat, tetapi Clinton dibebaskan sebulan kemudian --situasinya berarkhir sama seperti Johnson, di mana voting vonis pemakzulan di Senat tidak pernah mencapai 2/3 suara yang dibutuhkan.