Myanmar Diseret ke Mahkamah Internasional Atas Tuduhan Genosida Rohingya

Gambia, atas dukungan OKI, menyeret Myanmar ke Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida Rohingya.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 21 Nov 2019, 14:31 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2019, 14:31 WIB
Akhiri Masa Diam, Aung San Suu Kyi Angkat Bicara Soal Krisis Rohingya
Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menyampaikan pidato nasional terkait Rohingya di Naypyidaw (19/9). Dalam pidatonya, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Myanmar tidak lari dari tanggung jawab. (AFP Photo/Ye Aung Thu)

Liputan6.com, Den Haag - Gambia, sebuah negara berpenduduk mayoritas Islam di Afrika, menyeret Myanmar ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag atas tuduhan genosida terhadap etnis Rohingya yang mayoritas muslim.

Mahkamah pun memandatkan Myanmar untuk menghadap bulan depan, dengan Naypyidaw mengatakan bahwa pemimpin de facto-nya, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi akan memimpin langsung delegasi negaranya ke organ pengadilan tinggi PBB tersebut.

Suu Kyi diperkirakan akan menyampaikan sendiri argumentasi untuk menolak tuduhan bahwa Burma melakukan genosida terhadap Rohingya, hal itu disampaikan oleh pemerintah Myanmar dan partai pengusung pemenang Nobel itu pada Kamis 21 November 2019.

Gambia mengajukan gugatan ke ICJ setelah berhasil memenangkan dukungan dari Organisasi untuk Kerjasama Islam (OKI), blok 57 negara muslim --atau mayoritas berpenduduk muslim-- termasuk Indonesia.

Hanya sebuah negara yang dapat mengajukan kasus terhadap negara lain di Mahkamah Internasional (ICJ).

ICJ mengatakan akan mengadakan dengar pendapat publik pertama dalam kasus ini mulai 10-12 Desember 2019 mendatang, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (21/11/2019).

Kasus ini akan menjadi upaya hukum internasional pertama untuk membawa Myanmar ke pengadilan atas krisis Rohingya, dan merupakan contoh yang jarang terjadi dari sebuah negara yang menuntut negara lain atas masalah yang tidak langsung menjadi pihaknya.

"Myanmar telah mempertahankan pengacara internasional terkemuka untuk menentang kasus yang diajukan oleh Gambia," kata kementerian penasihat negara Aung San Suu Kyi dalam sebuah posting di Facebook.

"Penasihat Negara, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Urusan Luar Negeri, akan memimpin tim ke Den Haag, Belanda, untuk membela kepentingan nasional Myanmar di ICJ," katanya, tanpa memberikan perincian lebih lanjut.

Seorang juru bicara untuk partai Aung San Suu Kyi , Liga Nasional untuk Demokrasi, mengatakan dia telah memutuskan untuk menangani kasus ini sendiri.

"Mereka menuduh bahwa Daw Aung San Suu Kyi tidak berbicara tentang pelanggaran terhadap hak asasi manusia," kata juru bicara Myo Nyunt.

"Dan mereka menuduh dia tidak mencoba menghentikan pelanggaran HAM. Dia memutuskan untuk menghadapi gugatan itu sendiri."

Gambia dan Myanmar adalah penandatangan Konvensi Genosida 1948, yang tidak hanya melarang negara melakukan genosida tetapi juga memaksa semua negara penandatangan untuk mencegah dan menghukum kejahatan genosida.

ICJ didirikan pada tahun 1946 setelah Perang Dunia Kedua untuk mengadili dalam perselisihan antara negara-negara anggota PBB.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) --pengadilan lain yang berbasis di Den Haag yang dibentuk pada tahun 2002 untuk menyelidiki kejahatan perang-- pekan lalu memberi wewenang kepada kepala penuntut untuk melakukan penyelidikan penuh terhadap penganiayaan terhadap Rohingya sementara pengaduan pidana diajukan di Argentina dengan nama Aung San Suu Kyi.

Myanmar juga telah menolak penyelidikan ICC.

Simak video pilihan berikut:

Sekilas Krisis Rohingya

Sekitar 200.000 Rohingya berunjuk rasa di kamp pengungsian Bangladesh memperingati 'Hari Genosida'. (AFP)
Sekitar 200.000 Rohingya berunjuk rasa di kamp pengungsian Bangladesh memperingati 'Hari Genosida'. (AFP)

Lebih dari 730.000 Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh menyusul penumpasan militer Myanmar pada 2017, yang menurut para penyelidik PBB dilakukan dengan "niat genosida".

Negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha itu telah berulang kali membenarkan tindakan keras terhadap Rohingya, dengan dalih untuk membasmi militan lokal.

Myanmar juga menegaskan bahwa komite-komite mereka sendiri cukup untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran hukum selama operasi dua tahun lalu.

Namun, Akila Radhakrishnan, presiden Global Justice Center, mencatat bahwa pemerintah sipil Myanmar telah gagal bertindak pada 2017 dan tidak mengambil langkah-langkah untuk meminta pertanggungjawaban militer.

"Sekarang, mereka akan membela militer dan tindakan genosida pemerintah pada salah satu tahap terbesar dan paling berpengaruh di dunia," kata Radhakrishnan dalam sebuah pernyataan.

"Masyarakat internasional seharusnya tidak lagi memiliki ilusi di mana Suu Kyi dan pemerintah sipil berdiri dan harus bertindak untuk mendukung Gambia dan mengambil langkah-langkah lain untuk meminta pertanggungjawaban Myanmar."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya