Liputan6.com, Utah - Sebuah penelitian yang rilis baru-baru ini sedikit-banyak sukses menjelaskan seberapa baik Virus Corona Baru (SARS-CoV-2) penyebab COVID-19 bertahan terhadap panas, kelembaban, dan perubahan lingkungan lainnya.
Penelitian, yang baru saja diluncurkan oleh fisikawan di The University of Utah, dirancang untuk membantu pejabat kesehatan masyarakat memahami bagaimana Virus Corona Baru akan bereaksi ketika musim berubah.
Advertisement
Baca Juga
Satu pertanyaan besar tentang Virus Corona Baru, yang menyebabkan penyakit yang disebut COVID-19, adalah apakah musim panas akan memperlambat penyebaran?
"Virus Corona Baru menyebar mirip dengan virus influenza - ketika tetesan lendir kecil menggantung di udara ... Virus kehilangan infektivitas karena partikel kehilangan integritas struktural," kata fisikawan Universitas Utah, Saveez Saffarian dalam sebuah pernyataan, diulas dan dikutip dari Livescience, Minggu (22/3/2020).
"Fisika tentang bagaimana butiran-butiran berevolusi dalam kondisi temperatur dan kelembaban yang berbeda memengaruhi tingkat infeksi virus itu," lanjutnya.
Bersamaan dengan fisikawan Michael Vershinin, Saffarian baru saja menerima hibah hampir US$ 200.000 dari National Science Foundation (NSF) untuk mempelajari bagaimana cangkang luar pelindung Virus Corona Baru merespons perubahan panas dan kelembaban.
Virus tidak dapat "melakukan apa pun" sendiri, karena mereka hanyalah cangkang dengan instruksi genetik yang terselip di dalamnya; ketika virus menyerang sel inang, ia menggunakan mesin sel itu untuk mereplikasi dirinya sendiri, berulang-ulang.
Â
Simak video pilihan berikut:
Menurut Riset
Penelitian itu melibatkan riset dengan menggunakan versi tiruan dari kulit luar pelindung virus. Menggunakan genom berurutan dari SARS-CoV-2, para peneliti sedang membangun versi sintetis dari cangkang ini, tanpa genom virus di dalamnya. Ini membuat cangkang tidak menular dan aman untuk digunakan.
"Kami membuat replika yang setia dari kemasan virus yang menyatukan semuanya," kata fisikawan Michael Vershinin dalam pernyataan itu.
"Idenya adalah untuk mencari tahu apa yang membuat virus ini berantakan, apa yang membuatnya berdetak, apa yang membuatnya mati."
Untuk memanipulasi partikel tiruan berukuran nano, lab Vershinin menggunakan alat yang disebut pinset optik - pada dasarnya, sinar cahaya terfokus.
Energi cahaya dapat diarahkan untuk menggerakkan dan menyelidiki molekul individu.
Sementara itu, fisikawan Universitas Utah, Saveez Saffarian mempelajari virus RNA pada skala yang lebih luas dan ahli dalam teknik lab yang dapat melacak partikel virus secara individu.
Para peneliti mengatakan mereka berharap untuk mengetahui seberapa baik virus akan menularkan dalam kondisi yang berbeda, dari luar ruangan di musim panas ke dalam ruangan di kantor ber-AC. Ini dapat memengaruhi berapa lama kebijakan jarak dan penguncian sosial (Social distancing dan social lockdwon) perlu dilakukan.
"Ini bukan vaksin," kata Vershinin.
"Itu tidak akan menyelesaikan krisis, tetapi diharapkan akan menginformasikan keputusan kebijakan ke depan."
Advertisement