Liputan6.com, Pyongyang - Sudah dua pekan lebih Kim Jong-un tak nampak. Berbagai rumor berseliweran. Pemimpin Korea Utara itu dikabarkan koma, hingga meninggal dunia.
Kabar tentang kesehatan Kim Jong-un yang tidak baik mulai bermunculan sejak ketidakhadirannya dalam perayaan ulang tahun kakeknya, Kim Il Sung, sang pendiri Korea Utara pada 15 April lalu. Momen itu merupakan hari terpenting dalam kalender politik Korea Utara.
Rumor menguat ketika ia juga tidak hadir dalam perayaan "Hari Tentara" Korea Utara pada Sabtu 25 April, yang merupakan hari libur besar kedua di negara tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Pada pekan lalu, situs Daily NK yang dikelola pembelot Korut menyebut, Kim Jong-un tengah dirawat di villa yang berlokasi di resort Gunung Kumgang, daerah Hyangsan, pesisir timur Korut. Laporan CNN International juga mengungkap kondisi Kim Jong-un sudah sangat parah, meski statusnya belum bisa dikonfirmasi.
Kim Jong-un terakhir terlihat pada 11 April saat memimpin pertemuan partai. Setelahnya, ia berangkat ke rumah sakit.
Pada 12 April, Kim Jong-un dilaporkan melakukan prosedur kardiovaskular untuk menangani masalah pada jantungnya di rumah sakit di Hyangsan.
Kondisi Kim Jong-un dikabarkan menurun akibat sering merokok, obesitas (kegemukan), dan terlalu lelah bekerja. Kunjungan Kim Jong-un ke gunung sakral Paektu juga disebut sebagai penyebab kondisinya memburuk. Meski ia sering ke gunung itu sambil berkuda.
"Pemahaman saya adalah ia kesulitan dengan penyakitnya sejak Agustus lalu, tetapi semakin parah karena berulang kali berkunjung ke Gunung Paektu," ungkap sumber dari Daily NK.
Meski dari pihak Korea Utara belum angkat bicara, konfirmasi mengenai kondisi Kim Jong-un justru datang dari Korea Selatan. Moon Chung-in, penasihat senior kebijakan luar negeri Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, membantah rumor yang menyebut berbagai kondisi sang pemimpin Korut itu.
Dia mengatakan, sepanjang yang diketahui Seoul, Kim Jong-un dalam keadaan masih hidup dan sehat. "Pendapat pemerintah kami tetap," kata Moon ketika berbicara dengan CNN, dikutip Senin (27/4/2020). "Kim Jong-un masih hidup dan sehat. Pria berusia 36 tahun itu berada di Wonsan sejak 13 April. Tidak ada pergerakan mencurigakan selama ini."
Komentar Moon ini disampaikan setelah sejumlah pejabat Korsel juga masih tetap tenang di tengah berbagai spekulasi media. Pekan lalu pejabat senior di kantor kepresidenan Korsel mengatakan kepada harian Chosun Ilbo bahwa Kim Jong-un "diyakini berada di luar Pyongyang dengan keluarga dekatnya dan menjalankan tugasnya seperti biasa." Korsel yang masih bersitegang dengan Korut diketahui memang biasa memantau keadaan pemimpin negara tetangganya itu.
Sebuah laporan baru mengklaim Kim Jong-un melewatkan peringatan ulang tahun sang kakek dan hilang dari mata publik karena khawatir akan terinfeksi Virus Corona COVID-19. Mengutip ibtimes.sg, sebuah sumber mengungkapkan kepada JoongAng Daily, sebuah surat kabar Korea Selatan bahwa pemimpin Korut itu menolak untuk menghadiri acara pada 15 April lalu setelah salah satu pengawal pribadinya diduga terinfeksi Virus Corona COVID-19.
Publikasi itu mengklaim Kim Jong-un absen karena ada masalah di dalam Komando Pengawal Tertinggi yang bertugas menjaga pemimpin tertinggi Korea Utara. Peristiwa itu akan membuat sang diktator, orang-orang di sekitarnya dan pengawalnya yang lain terkena virus yang berpotensi mematikan.
Klaim ini menggemakan sentimen surat kabar Korea Selatan lainnya, Dong-A Ilbo, yang mengutip seorang pejabat AS yang tidak disebutkan namanya bahwa Kim Jong-un telah meninggalkan Pyongyang ke sebuah kompleks peristirahatan di kota tepi laut Wonsan. Hal itu untuk menghindari Virus Corona COVID-19, setelah beberapa pembantu dekat dan pejabat tinggi Korut dinyatakan positif mengidap Corona COVID-19.
Sementara menurut yna.co.kr, laporan situs web pemantauan AS 38 North menyebut, citra satelit menunjukkan sesuatu seperti rangkaian gerbong kereta khusus Kim Jong-un diparkir di sebuah stasiun di kompleks Wonsan setidaknya sejak 21 April.
Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu menilai, saat ini ada sesuatu yang terjadi pada kesehatan Kim Jong-un. Namun, penyakit apa persisnya tidak ada yang tahu karena Korea Utara itu serba rahasia untuk keamanan negaranya.
"Tetapi indikasi bahwa dia tidak hadir dalam ulang tahun kakeknya, Kim Il-sung, itu suatu pertanda ada sesuatu yang tidak normal," kata Aleksius kepada Liputan6.com.
Menurutnya, Kim Jong-un bisa saja dalam kondisis sakit dan diungsikan ke tempat yang tidak diketahui apakah di istananya, atau di tempat peristirahatan di bagian lain Korea Utara. "Yang jelas ada sesuatu pasti yang terjadi dengan orang ini."
Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM Nur Rachmat Yuliantoro menambahkan, Korea Utara merupakan negeri yang tertutup. Tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi di sana.
"Bahkan negeri yang dekat dengan Korea Utara sekalipun yaitu China juga tidak bisa memberikan kabar yang lumayan konfirmatif tentang keadaan Kim Jong-un ini," ujar Rachmat saat dihubungi Liputan6.com.
Terkait situasi yang tampak seperti biasa di Korea Utara, "Artinya ada usaha dari rezim Kim Jong-un untuk menutup-nutupi keadaan kalau betul dia sakit. Tapi yang jelas kita tidak bisa tahu dengan persis."
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tanda Peralihan Kekuasaan?
Hilangnya Kim Jong-un dari hadapan publik Korea Utara, bahkan dunia, memunculkan pertanda akan ada peralihan kekuasaan. Spekulasi pun bermunculan di dunia internasional terkait siapa sosok pengganti Kim Jong-un bila ia tak bisa memerintah negaranya.
Sosok adik perempuannya, Kim Yo-jong, dijagokan sebagai kandidat utama karena sudah aktif di pemerintahan.
Baca Juga
Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro, mengungkap konstitusi Korea Utara bersabda pemimpin Korut harus dari keluarga Kim. Dan Kim Yo-jong adalah yang paling potensial.
"Dari keluarga Kim yang saat ini ada, yaitu adiknya, Kim Yo-jong, itu punya potensi besar sebagai pemimpin karena dia sudah diikutsertakan dalam berbagai pengambilan keputusan, dia ikut bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara lain, dengan Trump, Xi Jinping, dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, dan dia ikut ambil keputusan baik untuk urusan domestik atau internasional," ujar Nur Rachmat.
Terkait intervensi China, Nur Rachmat tak melihat akan ada dampak kuat, karena sudah ada relasi antara Kim Yo-jong dan Presiden Xi Jinping. Kim Yo-jong lantas punya kemungkinan besar mendapat lampu hijau dari Beijing.
Meski demikian, Beijing dipredksi tetap melihat dulu bagaimana performa Kim Yo-jong bila menjadi Chairwoman menggantikan Kim Jong-un.
"Kim Yo-jong pernah bertemu Presiden Xi Jinping, jadi mungkin kalau dia menjadi pemimpin baru Korea Utara, China akan menerima sambil melihat situasi selanjutnya seperti apa. Apakah Kim Yo-jong akan seperti kakaknya? Atau apakah dia akan lebih, dalam tanda kutip, kejam atau brutal dari kakaknya? Maka China akan menunggu dulu," jelas Nur Rachmat.
Namun, Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu menilai, China tidak akan duduk manis menonton suksesi yang terjadi. China yang merupakan sekutu terdekat Korut diprediksi terlibat dalam mencari penerus Kim Jong-un.
"Jangan lupa juga pentingnya faktor China. Faktor Beijing. Siapa pun yang akan naik, itu sedikit banyak China juga akan ikut campur untuk make sure bahwa suksesi itu tidak menimbulkan gejolak yang luar biasa," jelas Aleksius.
Salah faktor yang penting bagi China adalah potensi adanya pengungsi Korut yang pergi ke China jika ada gejolak. Posisi Korut juga penting bagi China dalam kebijakan strategis geopolitik kawasan Asia Timur.
Aleksius memandang, China akan mengutamakan status quo di Korea Utara agar tidak merugikan kepentingan China.
"Korea Utara itu bisa dikatakan pionnya Beijing di wilayah itu untuk menghadapi Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan. Saya kira China tidak akan berdiam diri dan tidak akan membiarkan suksesi berjalan tanpa restu dia," jelas Aleksius.
"Saya pikir dari kepentingan Beijing rupanya seperti itu. Harus status quo. Tidak ada gejolak," tegasnya.
Sementara itu, pensiunan kepala operasi khusus Korea Selatan, Letjen Chun In-bum percaya bahwa kepemimpinan kolektif, yang dapat mengakhiri aturan dinasti keluarga Kim, juga dapat dimungkinkan terjadi.
"Kurangnya ahli waris yang ditunjuk berarti akan ada kekacauan, penderitaan manusia, ketidakstabilan," katanya. "Ini berita buruk bagi semua orang."
David Maxwell, pensiunan kolonel Pasukan Khusus dan rekan senior di lembaga think tank Foundation for Defence of Democracies, mengatakan, "Kita dapat berspekulasi bahwa mungkin saudara perempuannya Kim Yo-jong telah ditunjuk sebagai penggantinya berdasarkan promosi terakhirnya dan fakta bahwa dia telah mulai membuat pernyataan resmi atas namanya mulai bulan lalu."
Tetapi tidak diketahui, "apakah seorang wanita, meskipun menjadi bagian dari garis keturunan Paektu, bisa menjadi pemimpin rezim keluarga Kim?"
Kurangnya penerus yang jelas dapat menyebabkan keruntuhan rezim yang harus dihadapi AS dan Korea Selatan untuk ditangani, kata Maxwell. Ia menambahkan, perencana militer, termasuk dirinya sendiri, telah lama memberi pengarahan kepada para pemimpin senior tentang apa yang bisa terjadi.
Ada "bencana kemanusiaan yang akan terungkap di Korea Utara," menambah pergolakan yang ditimbulkan oleh pandemi Virus Corona COVID-19.
Advertisement
Suksesor Kim Jong-un
Dari semua anggota keluarga yang akhirnya bisa mengambil kendali dari pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, saudara perempuannya sepertinya pilihan yang jelas.
Kim Yo-jong, yang saat ini berusia awal 30-an, telah berada di sisi kakaknya dan telah bertemu dengan tokoh dunia seperti Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping, bahkan duduk di belakang Wakil Presiden Mike Pence saat mewakili Korea Utara di Olimpiade Musim Dingin 2018 dan menjadi anggota langsung pertama dari keluarga yang berkuasa untuk mengunjungi Seoul, di mana ia menyampaikan pesan pribadi dari saudaranya yang mengundang Presiden Korea Selatan Moon Jae-in ke pertemuan puncak.
Mengutip The Star, Senin (27/4/2020), masalahnya saat ini adalah bahwa ia merupakan seorang wanita dalam masyarakat yang dikontrol ketat oleh pria. Sementara banyak pengamat Korea Utara mengatakan garis keturunan lebih penting daripada gender, di saat yang lain skeptis.
"Peran Yo-jong kemungkinan akan terbatas menjadi seorang regent, paling mungkin" karena patriarki Korea Utara, kata Yoo Ho-yeol, yang mengajar studi Korea Utara di Universitas Korea dan sebelumnya menyarankan kementerian unifikasi Korea Selatan dan kementerian pertahanan.
"Tidak hanya kepemimpinan yang didominasi pria, tetapi juga orang-orang biasa di sana akan menentang pemimpin wanita."
Pertanyaan apakah Kim Yo-jong akan menjadi pemimpin wanita pertama di Korea Utara tiba-tiba menjadi pusat perhatian, ketika pertanyaan tentang kesehatan kakaknya meningkat.
Kim Jong-un belum muncul di media pemerintah dalam dua minggu, mendorong sejumlah laporan yang menyatakan bahwa dia meninggal dunia.
Dinasti keluarga Kim telah memerintah Korea Utara selama tiga generasi sejak pendiriannya setelah Perang Dunia II, ketika Uni Soviet dan AS membagi kontrol Semenanjung Korea.
Selama waktu itu, Korea telah membangun salah satu dunia kultus-kultus kepribadian yang paling giat serta membuat klaim utama atas legitimasi dalam kediktatoran sebuah garis keturunan yang dikatakan berasal dari Gunung Paektu yang dianggap suci, yang letaknya di dekat perbatasan China.
Ketika Kim Jong-un mengambil alih kekuasaan setelah kematian ayahnya pada 2011, pertanyaan besarnya adalah apakah pemimpin yang saat itu berusia 20-an tahun bisa memerintah negara yang dihormati senioritas. Dia segera memberikan wewenang atas jenderal-jenderal senior dan menyingkirkan saingan potensialnya.
Dia mengeksekusi pamannya dan wakilnya satu kali, Jang Song Thaek, dan diduga telah memerintahkan pembunuhan atas saudara tirinya, Kim Jong-nam, di Malaysia.
Terlibat dalam Kegiatan Kenegaraan
Dalam banyak hal, Kim Yo-jong telah menghabiskan hampir satu dekade untuk terlibat dalam aparatur negara. Hal itu telah membuatnya lebih siap untuk mengambil alih peran kepemimpinan puncak.
Dia juga bisa mengejutkan siapa pun yang meragukan kemampuannya untuk mengelola negara, menurut Soo Kim, analis kebijakan Rand Corp. yang berspesialisasi dalam masalah Semenanjung Korea.
"Saya pikir dia tidak perlu khawatir mendapatkan penerimaan sebagai pemimpin oleh rakyat Korea Utara berdasarkan garis keturunan keluarga Kim," kata Soo Kim. "Nasib Korea Utara dimulai dan diakhiri dengan keluarga Kim."
Calon ahli waris laki-laki potensial lainnya lebih muda atau kurang berpengalaman dalam ranah kekuasaan di Pyongyang. Saudaranya, Kim Jong-chol tidak memiliki gelar resmi dan tampaknya lebih tertarik bermain gitar daripada politik, sementara keponakannya, Kim Han-sol, telah mengecam rezim tersebut dan diyakini tinggal di luar negeri.
Media Korea Selatan melaporkan bahwa Kim Jong-un memiliki seorang putra berusia 10 tahun, tetapi tidak satu pun dari anak-anaknya yang disebutkan secara resmi di media pemerintah.
Thae Yong-ho, mantan Duta Besar Korea Utara di London yang membelot ke Korea Selatan, mengatakan dalam sebuah wawancara radio bahwa salah satu penerus potensial adalah Kim Pyong-il, satu-satunya putra pendiri Korea Utara Kim Il-sung yang kembali ke negaranya pada tahun lalu setelah empat dekade di luar negeri melayani sebagai diplomat.
"Mereka yang melayani Kim Jong-un adalah generasi pertama berusia 60-an sampai 80-an, jadi ada setidaknya kesenjangan usia 30 tahun dengan Yo Jong," kata Thae. "Di mata mereka, Yo Jong hanyalah seorang pemula."
Pewaris Paling Menonjol
Meski begitu, Kim Yo-jong tetap menjadi pewaris yang paling menonjol. Dilahirkan pada tahun 1988 atau 1989, ia pernah menjadi gadis yang suka menari dan dijuluki "Putri Yo Jong" oleh ayahnya, mendiang diktator Kim Jong Il, menurut biografi Kim Jong Un berjudul "The Great Successor" oleh Anna Fifield.
Dia bergabung dengan saudaranya di sebuah sekolah di Bern, Swiss hingga sekitar tahun 2000 dan kemudian kembali belajar di Korea Utara.
Penampilannya di sisi saudara lelakinya pada saat kematian ayah mereka membuat publik Korea Utara tahu bahwa dia adalah bagian dari garis keturunan Paektu. Dia segera mendapat posisi di Departemen Buruh Propaganda dan Departemen Agitasi, menurut Korea Selatan, di mana dia bertanggung jawab untuk mengelola citra pemimpin di media pemerintah, pos yang mirip dengan yang dipegang oleh ayahnya ketika dia sedang dipersiapkan untuk suksesi.
Dia terus naik pangkat dan menjadi lebih dekat dengan kakaknya, menemaninya dalam tur inspeksi pabrik, peternakan dan unit militer. Kemudian penampilannya yang terkenal di panggung internasional, yang mencakup tugas-tugas biasa seperti membantu sang pemimpin memadamkan rokok selama pemberhentian kereta api di Tiongkok, membantu memperkuat statusnya.
"Ketika Kim Yo-jong telah naik setinggi yang bisa dibayangkan, dia tidak lagi dianggap sebagai wanita tetapi seorang pemimpin yang mewarisi legitimasi yang lebih besar untuk memerintah daripada yang lain," kata Chun Yung-woo, mantan utusan Korea Selatan untuk pembicaraan nuklir internasional dengan Korea Utara.
"Korea Utara tentu saja adalah salah satu masyarakat chauvinistik yang paling patriarkis di dunia, tetapi garis keturunan ditambah dengan status di Partai Buruh Korea menggantikan gender."
Pengaruh Kim Yo-jong dipamerkan bulan lalu ketika dia secara pribadi menanggapi surat dari Trump yang menawarkan bantuan untuk melawan COVID-19.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kantor Berita Pusat Korea yang dikelola pemerintah, ia mengatakan "hubungan dekat" Trump dengan saudara lelakinya tidak cukup untuk menyelesaikan perbedaan antara musuh lama, memberikan sekilas bagaimana ia akan menangani hubungan AS-Korea Utara jika dia memang mengambil alih kekuasaan.
"Kami mencoba berharap pada hari di mana hubungan antara kedua negara akan sama baiknya dengan yang terjadi di antara kedua pemimpin puncak, tetapi itu harus dibiarkan begitu saja dan dipantau apakah itu benar-benar dapat terjadi, " katanya.
"Namun, kita tidak akan pernah kehilangan atau membuang waktu untuk apa-apa, tetapi akan terus mengubah diri kita menjadi lebih kuat untuk saat itu seperti halnya bagaimana kita melakukannya dua tahun terakhir."
Di atas kertas, tidak ada yang menghentikan seorang wanita untuk mengambil alih kekuasaan di Korea Utara, meskipun parlemen dengan stempel karet menunjukkan mayoritas anggotanya adalah pria yang lebih tua. Lembaga itu adalah salah satu yang memiliki keragaman gender paling rendah di dunia.
Konstitusi Korut menyebut, "perempuan diberi status sosial dan hak yang sama dengan laki-laki."
Pandangan Analis
Namun, beberapa analis tidak berpendapat Kim Yo-jong dapat memegang kendali atas para jenderal senior yang memimpin program senjata nuklir, yang bagi banyak orang di Pyongyang merupakan penjamin utama perlindungan terhadap serbuan AS yang ingin mendorong perubahan rezim.
Ra Jong-yil, mantan wakil direktur Badan Intelijen Nasional Korea Selatan, mengatakan bahwa kemungkinan besar negara itu dijalankan oleh junta militer daripada Kim Yo-jong.
"Hampir tidak terpikirkan seorang wanita memimpin Korea Utara, di tengah sistem patriarki yang unik berdasarkan Konfusianisme," kata Lee Byong-chul, mantan penasihat presiden Korea Selatan tentang masalah keamanan nasional yang sekarang menjadi profesor di Institut Far Eastern Studies di Seoul.
Dia mempertanyakan apakah Kim Yo-jong bisa mengendalikan "para jenderal yang terdiri dari para pria sepuh" tanpa pengaruh saudara lelakinya, dan melihatnya lebih mungkin bahwa pamannya Kim Pyong-il atau Choe Ryong-hae mengambil alih.
Namun, sistem yang menjunjung tinggi kultus individu sang pemimpin di Korea Utara, menjadikan garis keturunan menjadi hal yang sangat penting. "Dan Kim Jo Yong "telah menunjukkan bahwa dia tahu cara menggunakan otoritas," demikian menurut Sung-Yoon Lee, yang mengajar Studi Korea di Fletcher School of Law and Diplomacy di Tufts University di Massachusetts.
"Para jenderal, yang memegang kendali senjata, memiliki kepentingan untuk melindungi kekuatan mereka sendiri dan mereka memahami bahwa kekuasaan mengalir melalui keluarga Kim," katanya. "Dia (Kim Yo-jong) akan bisa memainkan kekuasaan lewat strategi campuran teror dan promosi. Dia tahu bagaimana cara memainkan permainan."
Cara Kim Jong-un Rahasiakan Riwayat Penyakit
Sudah beberapa kali dalam jadwal kunjungan luar negeri yang dilakukan, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un selalu membawa toilet pribadi.
Hal ini tentu membuat banyak orang penasaran. Apa tujuan dan maksudnya membawa toilet pribadi ke manapun ia pergi.
Baca Juga
Mengingat, kabar Kim Jong-un yang tengah sakit bahkan diisukan meninggal tengah menjadi sorotan warga dunia.
Dalam beberapa kesempatan, media menyoroti hal tersebut. Seperti contoh, pada April 2018 saat KTT Korea Utara - Korea Selatan, pengawal Kim membawa toilet pribadi.
"Pemimpin Korea Utara memiliki toilet pribadi yang dibawanya ke mana pun ia pergi," kata Lee Yun-keol, Kepala North Korean Studies di Korea Institute for Defense Analyses kepada Washington Post, seperti dikutip dari News.com.au.
Tak hanya saat KTT Korea Utara - Korea Selatan, pada saat Kim Jong-un untuk pertama kalinya bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Singapura, ia turut membawa toilet portable.
Meski menginap di hotel super mewah, tetap saja Kim Jong-un tidak buang air besar di toilet sembarangan.
Lantas apa sebenarnya tujuan dan motif membawa toilet dalam setiap kunjungan luar negeri? Apakah ini semua ada kaitannya dengan isu sakit yang ditujukan pada Kim saat ini?
Ternyata, alasan mengapa Kim Jong-un selalu membawa toilet portable lantaran Korea Utara tak mau ada pihak yang mengetahui riwayat penyakitnya.
"Hasil ekskresi seorang pemimpin bisa jadi mengandung informasi tentang status kesehatannya. Jejak itu tak boleh ditinggalkan," kata Lee Yun-keol.
"Hasil ekskresi seorang pemimpin bisa jadi mengandung informasi tentang status kesehatannya. Jejak itu tak boleh ditinggalkan."
Menurut kantor berita Korea Selatan, DailyNK, Kim Jong-un konon memiliki toilet yang dibangun khusus untuknya yang dipasang dalam iring-iringan kendaraan dinasnya.
"Toilet khusus itu tidak hanya dipasang di kendaraan dinasnya, tapi juga dipasang di mobil berukuran sedang, hingga angkutan khusus untuk medan pegunungan," jelas seorang sumber di Provinsi Pyongan Selatan yang akrab dengan Komando Pengawal Kim, kepada DailyNK pada 2015.
"Ada banyak kendaraan di dalam konvoi, sehingga orang tidak tahu yang mana dia berada, dan ada mobil terpisah yang berfungsi sebagai kamar mandinya."
Advertisement