Pengalaman Unik Orang Indonesia Berpuasa Ramadan di Amerika Serikat

Beberapa anak-anak rantau yang tinggal di Amerika ini rupanya memiliki pengalaman Ramadan yang cukup berbeda dan unik, penasaran?

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Mei 2020, 14:30 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2020, 14:28 WIB
Ilustrasi Ramadan
Ilustrasi Ramadan (sumber: iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Jauh dari keluarga membuat beberapa anak-anak Indonesia yang berada di Amerika ini memiliki pengalaman Ramadan yang berbeda. Bersama Emily Abraham, Assistant Cultural Affairs Office United States Embassy Jakarta, tiga warga negara Indonesia berbagi seperti apa merayakan Ramadan sebagai umat Muslim minoritas di luar negeri. 

Emily membuka acara live Celebrating Ramadan in America di YouTube At America dengan mengucapkan Ramadan Kareem kepada orang-orang yang merayakan. Saat ini Emily berada di Illinois, Amerika Serikat. 

Dirinya kemudian memberikan kesempatan kepada ketiga narasumber orang Indonesia untuk berbagi pengalaman mereka berpuasa di negeri Paman Sam itu. Presentasi dibuka Heidy Utami yang berada di New York, kemudian Deni Burhasan yang berada di Los Angeles dan Mauliya Malik yang berada di San Diego. 

Tak hanya itu, di Amerika orang-orang yang memiliki jadwal puasa memiliki waktu yang lebih panjang dibanding puasa di Indonesia.

Memperkenalkan Kultur Indonesia di Komunitas Muslim New York

Aksi Jet Tempur AS Beri Penghormatan untuk Petugas Medis
Pekerja menyaksikan skuadron jet tempur Blue Angels dari Angkatan Laut dan Thunderbirds dari Angkatan Udara AS bermanuver di langit Kota New York, Selasa (28/4/2020). Aksi itu sebagai bentuk penghormatan untuk petugas medis yang tengah berjuang melawan COVID-19. (Photo by Charles Sykes/Invision/AP)

Heidy Utami merupakan Training Unit AFS Intercultural Program di New York. Tak hanya itu, Heidy juga merupakan seorang minoritas di tempat kerjanya. Meski begitu dirinya tidak memiliki kesulitan sama sekali untuk merayakan Ramadan di kota The Big Apple tersebut. 

New York merupakan salah satu kota dengan total imigran Muslim yang besar, dirinya pun dapat menemukan komunitas Muslim dengan mudah, mulai dari komunitas Muslim Pakistan, hingga komunitas Muslim Indonesia. Tak hanya itu, Utami juga mengaku senang mengunjungi komunitas Muslim Indonesia yang kerap menyediakan takjil selama Ramadan. 

Di New York University, mereka juga memiliki komunitas Muslim yang cukup besar dan ada acara selama Ramadan untuk yang merayakan dengan membagikan ifthar. 

Di Queens, tempat tinggal Utami, dirinya juga berkesempatan merasakan Ramadan dengan kultur yang berbeda, salah satunya adalah berdoa di Masjid yang dahulunya merupakan gereja tidak terpakai. Warga setempat pun memutuskan untuk membeli gedung itu. 

Dengan memiliki komunitas Muslim yang beragam, ibu Utami juga berkesempatan untuk berbagi kultur dalam bentuk makanan Indonesia yang dihidangkannya. Apalagi makanan Indonesia cukup dibilang memiliki banyak rempah yang unik. 

Bicara soal makanan, Utami mengaku tidak memiliki kesulitan untuk menemukan bahan makakan yang halal selama di New York. Karena New York memiliki komunitas etnis yang beragam. 

Namun meski begitu, dirinya tetap saja merindukan New York sebelum pandemi COVID-19, karena dengan pandemi ini Utami harus menjalani puasanya dari rumah saja dengan toast dan topping yang dapat ditemukan dari kulkas. 

"I'm in New York, but I miss New York," ujarnya mengenai kehidupan yang juga berubah akibat lockdown akibat COVID-19. 

Selalu Aktif Meski Terjebak Lockdown

FOTO: Dukung Petugas Medis, Balai Kota Los Angeles Menyala Biru
Balai Kota Los Angeles menyala biru, Los Angeles, Amerika Serikat, Jumat (10/4/2020). Balai Kota dan beberapa landmark Los Angeles menyala biru untuk menunjukkan dukungan kepada petugas medis mengahadapi virus corona COVID-19. (AP Photo/Mark J. Terrill)

Berikutnya ada Deni Burhasan yang saat ini melanjutkan sekolahnya di University of Southern California saat ini harus menjalani kehidupan yang hampir berubah total. Tahun lalu selama Ramadan 2019, Deni dapat memiliki aktivitas Halaqa, pergi ke komunitas Muslim dan Saudi Cultural Event.  Namun seperti kebanyakan orang yang saat ini dirumahkan, ia harus tetap membuat dirinya memiliki aktivitas.

Di antaranya, harus melalukan sekolah secara virtual, dirinya kini juga harus melakukan ibadah dari rumah saja. Sedangkan untuk hiburan, Deni menggunakan streaming platform Netflix. Dirinya juga menyarankan dua YouTube channel agar orang-orang dapat memperlajari Islam, yaitu Bayyinah Institute dan Yasaman Institute. 

Dan kabar baik datang dari Deni yang akan menyelesaikan bidang studinya minggu depan dan karena adanya pandemi COVID-19, dirinya harus mengikuti upacara kelulusan secara online. 

Bicara soal kehidupan di Los Angeles, ia cukup sulit menemukan makanan yang halal, karena hanya ada dua sampai tiga restoran di sekolah yang menyediakan makanan halal. Tak hanya itu, untuk pergi ke tempat yang menyediakan makanan halal dirinya harus mengendarai taksi setidaknya 30 menit dan restoran Indonesia yang ada di Los Angeles memiliki jarak waktu tempuh 45 menit. 

Tetapi memiliki pengalaman Ramadan di luar negeri membuat Deni lebih mandiri dalam mengurus dirinya sendiri, berbeda dengan pengalamannya ketika di Indonesia karena sang ibu menyediakan makanan untuk buka puasa. 

Memiliki Ramadan dengan Keluarga Baru

Jembatan Golden Gate menghubungkan San Fransisco dengan Marin County, California
Jembatan Golden Gate menghubungkan San Fransisco dengan Marin County, California (AP Photo/Marcio Jose Sanchez)

Pengalaman puasa yang unik dan baru juga dialami Mauliya Malik yang memiliki foster family dengan latar belakang Katolik dan housemate dengan lataer belakang atheist. Namun justru membuat Mauliya dan keluarganya tinggal di San Diego menunjukan aksi saling toleransi. 

Tak hanya itu, "orangtua" Mauliya selama di San Diego yang berusia 78 tahun menunjukan dukungan terhadap dirinya ketika berpuasa. Terkadang orangtua angkat Mauliya selama di San Diego turut pergi ke Masjid untuk melakukan kegiatan amal. Sebaliknya hal yang mirip juga dilakukan Mauliya pada hari Minggu, dirinya terkadang mengikuti kegiatan interfaith di gereja Katolik. 

Hal ini bukan hal yang tanpa sebab, di Yogyakarta, Mauliya telah terlibat dalam gerajakan serupa di mana dirinya kerap bertemu dengan orang-orang antarumat. Meski begitu, pengalaman Mauliya menjadi minoritas umat Muslim di San Diego tidak selalu mulus. 

Dirinya pernah ditanyai mengenai hijab yang dipakainya dalam konteks Islamphobia. Islamphobia ini kerap kali menimbulkan orang-orang takut terhadap umat Muslim yang dikaitkan dengan teroris. Tapi Mauliya menanggapi pertanyaan itu dengan kepala dingin dan mengedukasi dengan memberikan contoh teman nya yang saat itu bukan dari latar belakang Muslim. 

Soal adaptasi, Mauliya tidak memiliki kesulitan dalam mencari makanan halal, karena orangtua angkatnya merupakan vegetarian, sehingga dirinya juga belajar memakan makananan vegetarian. Namun untuk mencari makanan berbahan daging, dirinya meminta tolong teman-teman dari komunitas Muslim untuk mencari pilihan daging halal yang baik. 

Itulah pengalaman orang-orang Indonesia yang saat ini menghabiskan waktu Ramadan nya di Amerika Serikat.

 

 

Reporter: Yohana Belinda

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya