HEADLINE: Kematian Akibat COVID-19 Tembus 1 Juta Jiwa, Siapkah Dunia Meredam?

Angka Kematian Covid-19 Tembus 1 Juta Orang di Dunia

oleh Tanti YulianingsihTeddy Tri Setio BertyBenedikta Miranti T.VTommy K. Rony diperbarui 05 Okt 2020, 10:33 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2020, 00:02 WIB
Banner Infografis Wabah Virus Corona Darurat Kesehatan Global. (Sumber Foto: John Hopkins University CSSE)
Banner Infografis Wabah Virus Corona Darurat Kesehatan Global. (Sumber Foto: John Hopkins University CSSE)

Liputan6.com, Jakarta Kurang dari setahun, hanya dalam kurun waktu 9 bulan, lebih dari 1 juta nyawa melayang. Semua terenggut oleh Virus Corona baru penyebab COVID-19 yang melanda dunia.

Wabah yang dimulai dari China pada akhir Desember 2019 ini, juga telah merusak ekonomi global, mengobarkan ketegangan geopolitik, dan mempersulit kehidupan warga dari daerah kumuh India, hutan Brasil, hingga kota terbesar di New York, Amerika Serikat.

Pesta olahraga dunia, hiburan dan perjalanan internasional terhenti karena penggemar, penonton, serta turis dipaksa untuk tinggal di rumah.

Pengendalian drastis yang menempatkan separuh umat manusia -- lebih dari 4 miliar orang -- di bawah penguncian pada April 2020 telah memperlambat langkah penyebarannya.

Pada Minggu, 27 September pukul 22.30 GMT (Senin 05.30 pagi, WIB) COVID-19 telah merenggut 1.000.009 korban dari 33.018.877 infeksi yang tercatat, menurut penghitungan AFP menggunakan sumber resmi.

Amerika Serikat memiliki jumlah kematian tertinggi dengan lebih dari 200.000 kematian akibat Corona COVID-19 diikuti Brasil, India, Meksiko, dan Inggris.

Senada dengan pencatatan resmi dari AFP, situs worldometers.info/coronavirus juga merilis data terbaru. Di mana kematian akibat Virus Corona COVID-19 telah menembus angka 1 juta jiwa, tepatnya 1,002,563 orang pada Senin, 28 September 2020 pukul 15.00 WIB.

Tak berhenti di angka 1 juta, jumlah kematian global akibat Corona COVID-19 diprediksi bisa mencapai 2 juta jiwa sebelum vaksin tersedia. Bahkan bisa lebih tinggi lagi tanpa upaya keras untuk mencegah penyebaran virus baru, kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Kecuali jika kita mengambil tindakan bersama. 2 juta kematian memang tidak bisa dibayangkan tetapi sangat mungkin terjadi," kata Mike Ryan, kepala program darurat badan PBB tersebut, dalam sebuah penjelasan, demikian dikutip dari laman Deutsche Welle.

"Apakah kita siap secara kolektif untuk melakukan apa yang diperlukan untuk menghindari angka itu?"

Angka ini akan membuat jumlah kematian dunia menjadi dua kali lipat dari 1 juta kematian yang dikonfirmasi saat ini, dari Corona COVID-19 sejak virus pertama kali muncul di China pada akhir Desember 2019, tambahnya.

WHO menyarankan agar pemerintah bekerja semakin intens dengan menerapkan semua protokol. Ia menegaskan, jika semuanya tidak dilakukan, maka kematian bukan hanya 1 juta, tetapi kemungkinan bisa mencapai 2 juta.

"Bukan hanya tes dan lacak, bukan juga perawatan klinis, bukan hanya social distancing, bukan hanya kebersihan, bukan hanya masker, bukan hanya vaksin. Laksanakan semuanya," ujar Mike Ryan.

WHO juga khawatir karena berbagai negara sudah masuk musim gugur, tetapi kasus sudah melonjak padahal musimnya baru dimulai. Masyarakat juga diminta agar tidak hanya mengandalkan vaksin COVID-19 saja, sebab banyak orang yang bisa meninggal saat menanti vaksin. 

"Orang-orang akan meninggal sia-sia dan (itu) tak bisa kita terima di saat kita menunggu vaksin," ujar Bruce Alyward, penasihat senior WHO.

Selain belum tersedianya vaksin, terinfeksi flu dan COVID-19 secara bersamaan juga akan menggandakan risiko kematian akibat Virus Corona. Hal itu terungkap dalam studi Public Health England (PHE).

Menurut studi tersebut, risiko kematian pada pasien flu bersamaan dengan COVID-19 adalah 2,27 kali lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang baru saja terkena Virus Corona. Studi tersebut juga menemukan, orang yang berusia di atas 65 tahun memiliki risiko kematian yang jauh lebih besar.

Alasannya karena sebagian besar kasus koinfeksi tercatat dalam kelompok usia tersebut, sementara lebih dari setengahnya meninggal karena COVID-19. 

 

Infografis Tembus 1 Juta, Angka Kematian Covid-19 Dunia. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Tembus 1 Juta, Angka Kematian Covid-19 Dunia. (Liputan6.com/Abdillah)

Di Indonesia saat ini ada 275.000 orang yang terpapar COVID-19. Yang telah dipastikan sembuh sebanyak 203.000 orang, sedangkan jumlah kematian tercatat 10.473 jiwa.

Ketua Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 di Indonesia, Doni Monardo menegaskan, 1 juta kematian akibat COVID-19 di dunia telah membuktikan bahwa Virus Corona itu merupakan ancaman nyata.

"COVID-19 bukan rekayasa, COVID-19 bukan konspirasi. Korban jiwa secara global 1 juta orang, yang terpapar 30 juta orang," ujar Doni, Senin (28/9/2020).

"Artinya, COVID ini sangat berbahaya, kita tidak boleh anggap enteng, tidak boleh anggap remeh. Beberapa provinsi telah mengalami kemajuan, tetapi tidak boleh kendor. Kalau kendor, kasusnya meningkat lagi," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) ini.

Doni mengatakan, untuk menahan penyebaran COVID-19, semua pihak harus terlibat agar protokol kesehatan dapat terus dilakukan. "Bahwa harus menggunakan masker, menjaga jarak, rajin cuci tangan, itu tidak apa-apa. Walau pun kata ini kurang menyenangkan, tapi demi kebaikan dan menyelamatkan semua pihak maka harus ada yang tampil seperti ini."

"Semakin banyak orang yang berani menyampaikan pesan ini, maka akan semakin banyak yang terselamatkan. Dan orang ini adalah pahlawan kemanusiaan sama halnya dengan Dokter yang melayani pasien di rumah sakit," Doni menambahkan.

COVID-19 muncul pertama kali di kota Wuhan di China tengah, titik nol wabah tersebut. Bagaimana virus itu sampai di sana masih belum jelas, tetapi para ilmuwan mengira itu berasal dari kelelawar dan bisa ditularkan ke manusia melalui mamalia lain.

Wuhan ditutup pada Januari 2020 ketika negara-negara lain memandang tidak percaya pada kontrol kejam China, bahkan ketika mereka menjalankan bisnis seperti biasa.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) secara resmi menyatakan bahwa virus Corona COVID-19 merupakan darurat kesehatan global pada 30 Januari 2020 waktu Jenewa. Hal ini dinyatakan dalam pertemuan kedua Emergency Committee bersama dengan Direktur Jenderal WHO.

Mengutip laman resminya pada, saat itu Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus mendeklarasikan bahwa wabah Virus Corona 2019-nCoV merupakan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).

Pada Jumat 25 September, Tedros menegaskan Virus Corona mewabah tanpa rekayasa. "Virus terjadi secara alami." 

"WHO yakin pada sains dan bukti dan itulah alasannya kami mengatakan sains, solusi dan solidaritas," katanya.

Menurutnya, banyak riset mengenai asal mula virus corona telah memperlihatkan secara keseluruhan bahwa virus tersebut, atau yang disebut SARS-CoV-2, muncul secara alami ketimbang dari lembaga mana pun.

Jangan Menunggu Vaksin 

Eksekutif Direktur WHO Mike Ryan pernah menjelaskan agar dunia tidak bergantung pada vaksin saja, sebab pasien COVID-19 tetap saja bisa meninggal saat vaksin masih dibuat. Pakar kesehatan dari Universitas Indonesia sepakat dengan WHO dan menyebut kuncinya ada di perilaku pemerintah dan masyarakat. 

"Ingat tak semua penyakit menular ada vaksinnya, apalagi virus corona. Virus corona ini kan masih satu keluarga dengan influenza, sama-sama corona. Cuman bedanya ada yang dahsyat seperti SARS, tapi kayak influenza atau flu kan tidak divaksin, ada juga manusianya yang kuat kemudian sembuh," jelas pakar kesehatan masyarakat Universitas Indonesia Ede Surya Darmawan kepada Liputan6.com, Selasa (29/6/2020).

"Jadi vaksin itu bukan solusi utama. Yang utama adalah menemukan orangnya, jadi tracing itu pemerintah tugasnya. Tracing, testing, lalu treat. Yang sakit diobati," ia melanjutkan. 

Isu lainnya adalah terkait berapa lama vaksin bisa memberikan antibodi. Ede mencontohkan apabila antibodi hanya bertahan singkat, maka orang malah perlu berkali-kali divaksin. Menteri BUMN Erick Thohir pernah berkata biaya vaksin bisa mencapai ratusan ribu rupiah.

Ede lantas mengingatkan bahwa  mengingatkan bahwa ada solusi yang lebih murah, yakni perubahan perilaku. Misalnya, tidak nekat ke kantor ketika ada gejala seperti demam atau batuk.

"Masyarakatnya harus melakuan perubahan perilaku, ingat perubahan perilaku lebih cepat dan lebih murah tapi kita enggak fokus ke situ," jelasnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Kematian Akibat Virus Corona COVID-19 Vs Flu Biasa

Banner Infografis Cara China hingga Vietnam Tangani Virus Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Banner Infografis Cara China hingga Vietnam Tangani Virus Corona. (Liputan6.com/Abdillah)

Sejak muncul di Wuhan, China, Desember 2019, ada rumor yang menyebut Virus Corona COVID-19 merupakan flu biasa, tapi hal itu sudah dipastikan salah oleh para tim medis. Namun, hingga saat ini, masih ada yang percaya kalau virus corona hanya flu biasa.

Hingga saat ini, Senin, 28 September 2020, sudah ada 33 juta orang di dunia yang terinfeksi virus corona COVID-19. Bahkan, 996 ribu orang meninggal dunia akibat wabah ini.

Amerika Serikat menjadi negara yang paling banyak terkena virus corona COVID-19. Tercatat, sudah 7,1 juta orang terinfeksi COVID-19, 204 ribu di antaranya meninggal dunia.

Mengutip artikel dari NBC, departemen kesehatan di San Diego County, Amerika Serikat, mengungkap perbandingan data kematian yang disebabkan virus corona COVID-19 dengan flu biasa.

Departemen kesehanan San Diego County melaporkan 108 kematian akibat flu biasa pada 2019 hingga 2020. Angka itu tujuh kali lipat dari orang yang meninggal akibat virus corona COVID-19 di San Diego, 767 orang, hanya dalam seminggu, yakni pekan ketiga September 2020.

Sementara data dari Pusat Pengendalian Penyakit di Amerika Serikat (CDC) memperkirakan, sejak 2010, flu biasa sudah membunuh 12 ribu hingga 61 ribu orang di AS. Sedangkan virus corona COVID-19 sudah menewaskan 204 ribu orang sejak enam bulan lalu.

"Saya pernah melihat beberapa pandemi, tetapi tidak yang seperti ini (virus corona COVID-19)," kata Dr. Francesca Torriani, direktur program pencegahan infeksi dan epidemiologi klinis di UC San Diego Health.

"Data (soal perbandingan angka kematikan akibat virus corona dan flu) dari CDC bisa ditanggapi secara bijaksana. Saya kira, sebenarnya itu perkiraan yang paling aman," ujarnya menambahkan. 

Sementara itu, pada 17 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menyebut virus corona COVID-19 bukanlah flu biasa. Namun, WHO menyebut virus corona dan flu memiliki gejala yang serupa, yakni menyebabkan gangguan pernapasan.

Flu umumnya dapat sembuh sendiri dalam waktu 4–9 hari. Semakin kuat daya tahan tubuh, semakin cepat flu sembuh. Oleh karena itu, dokter akan menyarankan penderita flu untuk banyak beristirahat, makan makanan bernutrisi, dan minum air putih yang cukup.

Sementara infeksi virus corona bisa menimbulkan gejala yang ringan hingga yang sangat berat dan mengancam nyawa. Gejala COVID-19 yang ringan memang bisa mirip dengan gejala flu biasa. Oleh karena itu, Anda perlu lebih jeli mengenali perbedaannya.

WHO juga menyebut vaksin flu tidak efektif melawan COVID-19. Hingga saat ini, WHO belum merekomendasikan satu jenis vaksin untuk melawan virus corona COVID-19.

10 Negara dengan Kematian Tertinggi Akibat COVID-19

Banner Infografis Mutasi Virus Corona D614G 10 Kali Lebih Menular. (Liputan6.com/Trieyasni)
Banner Infografis Mutasi Virus Corona D614G 10 Kali Lebih Menular. (Liputan6.com/Trieyasni)

Hingga saat ini, Amerika Serikat masih tercatat sebagai negara dengan angka kasus dan kematian terbanyak di dunia akibat Virus Corona COVID-19.  

Berikut ini adalah negara-negara di dunia yang mencatat angka kematian tertinggi:

1. Amerika Serikat

Amerika Serikat tercatat sebagai negara dengan angka kasus dan kematian terbanyak di dunia. Hingga artikel ini ditulis, AS telah mencatat 7.321.343 kasus dengan 209.453 kematian.

2. Brasil

Brasil berada di peringkat ketiga terkait banyaknya kasus COVID-19, namun berada di peringkat kedua untuk jumlah kematian. Brasil telah mencatat 4.732.309 kasus dengan 141.776 kematian.

3. India

India berada di posisi kedua untuk angka kasus terbanyak namun berada di posisi ketiga untuk angka kematian, sebaliknya dari Brasil. India telah melaporkan 6.074.702 kasus dengan 95.574 kematian. 

4. Meksiko

Berada di posisi ke-8 dalam urutan kasus, Meksiko telah melaporkan 730.317 kasus dengan 76.430 kematian.

5. Inggris

Berada di posisi ke-14 dalam urutan kasus, Inggris mencatat 434.969 kasus dengan 41.988 kematian.

6. Italia

Italia sempat menjadi negara yang paling parah terdampak pandemi COVID-19. Namun dengan penanganan yang baik, Italia berhasil menahan angka kasusnya. Kini, Italia telah melaporkan 309.870 dengan 35.835 kematian.

7. Peru

Peru berada di posisi ke-6 dalam urutan kasus dan telah melaporkan 805.302 kasus dengan 32.262 kematian.

8. Prancis

Prancis telah melaporkan 538.569 dengan 31.727 kematian.

9. Spanyol

Spanyol telah melaporkan 735.198 kasus dengan 31.232 kematian.

10. Iran

Iran tercatat sebagai negara dengan kasus terbanyak di Asia setelah India, dengan 446.448 kasus dan 25.589 kematian.

Perkembangan Kasus COVID-19 dari 4 Kawasan Dunia

Banner Infografis Cara China hingga Vietnam Tangani Virus Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Banner Infografis Cara China hingga Vietnam Tangani Virus Corona. (Liputan6.com/Abdillah)

Berikut ini sejumlah perkembangan kasus COVID-19 dari empat kawasan yang diprediksi menyumbang tingginya angka penularan di dunia:

1. Eropa

Di Inggris Raya, lockdown lokal diberlakukan di beberapa kota di mana infeksi COVID-19 meningkat tajam.

Ribuan orang memprotes pembatasan virus corona di Trafalgar Square London, dengan kelompok pengunjuk rasa bentrok dengan polisi yang berusaha membubarkan unjuk rasa.

Polisi mengatakan, mereka turun tangan karena para peserta menolak mematuhi aturan anti-pandemi termasuk jarak sosial. Sedikitnya 10 orang telah ditangkap.

Di kota Leeds di Inggris utara, pihak berwenang mengatakan orang akan dilarang bertemu anggota rumah tangga lain di dalam ruangan atau di halaman belakang, dalam ukuran yang mempengaruhi lebih dari 750.000 orang.

Di Cardiff, Swansea dan Llanelli di Wales, orang-orang dari keluarga yang berbeda juga dilarang bertemu di dalam ruangan.

Graham Medley, seorang profesor pemodelan penyakit menular, mengatakan pada Sabtu bahwa dia khawatir negara itu bertindak terlalu lambat untuk mencegah kebangkitan virus yang tajam.

Inggris melaporkan jumlah infeksi Corona COVID-19 tertinggi dalam satu hari pada hari Kamis, 24 September dengan lebih dari 6.600 infeksi.

Mengingat meningkatnya jumlah infeksi di Berlin, ibu kota Jerman sekali lagi mempertimbangkan untuk memberlakukan pembatasan baru.

Dilek Kalayci, menteri kesehatan negara bagian Berlin, mengatakan kepada outlet media lokal RBB kemungkinan di masa depan maksimal lima orang atau hanya dari dua rumah tangga dapat bertemu.

Ketua Asosiasi Guru Jerman Heinz-Peter Meidinger Bildtelah memperingatkan bahwa jumlah infeksi Corona COVID-19 di antara siswa kemungkinan akan berlipat ganda selama tiga bulan ke depan.

Akibatnya, itu akan "menjadi semakin sulit untuk dikendalikan dan menahan wabah infeksi," kata Heinz-Peter Meidinger Bild.

Maskapai penerbangan Jerman Lufthansa mengharapkan pemerintah Jerman untuk menyetujui pengujian cepat COVID-19 di bandara untuk penerbangan Lufthansa ke AS, kata CEO maskapai tersebut Carsten Spohr dalam konferensi industri penerbangan.

"Penumpang akan diuji sebelum naik dan akan menerima hasilnya dalam hitungan menit. Spohr mengatakan tes diperlukan untuk membuka rute penting trans-Atlantik."

2. Timur Tengah

Iran siap untuk memberlakukan serangkaian penguncian satu minggu di daerah yang paling parah terkena penyakit untuk menghentikan penyebaran penyakit lebih lanjut, kata Presiden Hassan Rouhani pada Sabtu, 26 Septeber.

Denda yang lebih tinggi juga sedang direncanakan bagi mereka yang memilih untuk tidak memakai masker wajah, tulis Rouhani di situsnya setelah pertemuan dengan komite krisis kesehatan.

Kementerian Kesehatan Iran mengatakan negara itu telah melaporkan sekitar 200 kematian dan 3.500 infeksi baru setiap hari.

Iran, negara berpenduduk 82 juta, telah mengalami 25.000 kematian dan sekitar 440.000 kasus sejak wabah pertama kali dimuncul.

Langkah-langkah lockdown nasional yang ketat telah berlaku di Israel, meskipun anggota parlemen terpecah belah karena menyetujui langkah-langkah hukum yang menegakkan penutupan dan tidak.

 3. Asia

Akibat Virus Corona COVID-19, politik luar negeri juga ikut tersulut. Beberapa waktu lalu, China membalas serangan Amerika Serikat atas kritiknya yang terus-menerus terhadap penanganan Beijing terhadap wabah virus corona.

Presiden AS Donald Trump menggunakan pidato tahunannya di Majelis Umum PBB minggu ini untuk menyerang China, sementara duta besar AS untuk PBB juga mengambil serangan balik.

"Saya harus mengatakan, cukup sudah cukup. Kamu sudah menciptakan cukup banyak masalah bagi dunia. "

"AS memiliki hampir 7 juta kasus yang dikonfirmasi dan lebih dari 200.000 kematian. Dengan teknologi dan sistem medis paling canggih di dunia, mengapa AS ternyata memiliki kasus dan kematian yang paling terkonfirmasi?" dia bertanya dalam bahasa Inggris.

"Jika seseorang harus dimintai pertanggungjawaban, itu pasti beberapa politisi AS sendiri."

 4. Amerika Serikat

California mengalami peningkatan dalam kasus virus corona. Sekretaris kesehatan negara, Mark Ghaly, mengatakan telah terjadi peningkatan infeksi, kunjungan ke gawat darurat di rumah sakit dan rawat inap baru untuk kasus COVID-19 yang dikonfirmasi atau masih dicurigai.

Ghaly mengatakan, lonjakan itu muncul sebagian besar karena liburan Hari Buruh awal bulan ini, dan dapat menyebabkan lonjakan 89 persen di rawat inap selama satu bulan ke depan.

Pemerintah di Kosta Rika telah mendaftar untuk program vaksin COVAX WHO agar dapat memesan lebih dari 1 juta dosis inokulasinya begitu tersedia. Angka tersebut mewakili seperlima dari populasi Kosta Rika.

 

PSBB Nasional atau PSBB Mini?

Jokowi
Presiden Jokowi meminta jajarannya bekerja lebih keras dalam penanganan pandemi, utamanya menyeimbangkan gas dan rem antara penanganan saat memimpin ratas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (24/8/2020). (Kementerian Sekretariat Negara)

Terkait kematian 1 juta pasien di dunia, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Amin Subandrio mengingatkan bahwa respons yang cepat merupakan kunci agar kematian tak melonjak. Ia berkata kematian sering terjadi akibat keterlambatan. 

"Untuk mencegah meningkatnya angka kematian, kita harus memiliki kemampuan dalam memprediksi, mencegah, mendeteksi, dan merespon dengan benar, akurat, dan cepat. Sebagian besar kematian terjadi karena keterlambatan atau kelemahan dalam salah satu atau beberapa kemampuan tersebut," ujarnya kepada Liputan6.com.

Pakar kesehatan masyarakat UI Ede Surya Darmawan menyorot kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dinilai belum maksimal, padahal PSBB bisa mencegah penyebaran virus.

Ede juga menyebut PSBB harusnya dilaksanakan secara nasional.

"Kalau kita lihat barangkali kebijakan utama kita kan PSBB. PSBB ini seharusnya diperluas dan diperkuat. Karena dasar utama penyakit itu penyakitnya ada pada orang, jadi bukan penyakitnya jalan-jalan sendiri, tapi ada pada orang," jelas Ede.

"Dengan demikian, kita berdasarkan UU Karantina Kesehatan menerjemahkannya PSBB bukan karantina, tapi itu harus jelas. Misalnya, PSBB-nya maunya kayak apa. Artinya berharap PSBB itu total seluruh negara." 

Ede menyarankan PSBB nasional itu dilaksanakan selama 14 hari, kemudian ditambah lagi 14 hari. Meski demikian, Ede berkata PSBB Mini yang disarankan Presiden Joko Widodo bisa menjadi solusi juga asalkan serius. 

"Bisa saja. Yang penting serius. Itu kan intinya sebenarnya ujung-ujungnya pembatasan yang sifatnya kecil," jelas Ede. Ia mencontohkan Jakarta yang punya peta zona merah RW. Peta itu disebut bisa digunakan untuk PSBB mini.

"Sekarang kita punya peta kayak Jakarta waktu PSBB pertama punya peta 62 RW yang merah, mustinya itu konsentrasikan 62 itu penduduknya enggak boleh keluar sama sekali. Yang di luar enggak boleh masuk. Betul-betul dibatasi," tegasnya.

Sayangnya, pemerintah malah memilih new normal dan hidup berdampingan dengan virus, sehingga masyarakat ikut santai. Padahal, yang diperlukan bukan new normal, melainkan norma kesehatan baru.

"Intinya ambyar semua antara satu kebijakan dengan perilaku para pembuat kebijakannya enggak sesuai. Masyarakat menanggapinya sudah bebas saja," pungkas Ede.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya