Liputan6.com, Yangon - Seorang biksu Buddha garis keras menyerahkan diri ke polisi setelah 18 bulan dalam pelarian. Ia menyerah saat pemilihan nasional Myanmar digelar kurang dari seminggu lagi, sebuah langkah yang digambarkan para analis sebagai upaya untuk "mempengaruhi" pemungutan suara.
Ashin Wirathu yang pernah dijuluki majalah Time sebagai "Bin Laden versi Budha" karena perannya dalam membangkitkan kebencian agama di negara mayoritas Buddha itu, telah melakukan pelarian sejak polisi mengeluarkan surat perintah penangkapan pada Mei 2019.
Pria berusia 52 tahun itu telah lama dikenal karena retorika nasionalis anti-Islamnya, terutama terhadap komunitas Muslim Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan. Tapi sentimennya terhadap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan pemerintahan saat itu telah memicu surat perintah penangkapan untuk penghasutan.
Advertisement
Setelah satu setengah tahun menjadi buronan, sebuah video yang diunggah secara online menunjukkan biksu itu berbicara kepada pendukung di Yangon, mengenakan masker wajah.
"Pemerintah memaksa saya ke dalam situasi ini", imbuhnya, menyerukan warga Myanmar untuk memilih keluar dari partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) yang "jahat" akan kekuasaan, seperti dikutip dari RTL Today, Selasa (3/11/2020).
"Saya akan pergi ke polisi dan melakukan apa pun yang mereka minta dari saya," tambahnya, sebelum naik taksi.
Sein Maw, direktur Kementerian Agama Pemerintah Daerah Yangon, mengonfirmasi penangkapan biksu itu kepada AFP.
Wirathu bisa menghadapi hukuman tiga tahun penjara jika terbukti bersalah mencoba membawa "kebencian atau penghinaan" atau "ketidakpuasan yang menarik" terhadap pemerintah. Pada 2017, otoritas tertinggi Buddha Myanmar melarang biksu itu berkhotbah selama satu tahun karena ceramahnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kemunculan Wirathu Sudah Terencana
Namun, setelah pelarangan itu berakhir, pengkhotbah pro-militer itu sekali lagi mengadakan ceramah rutin di rapat umum nasionalis, di mana ia menuduh pemerintah melakukan korupsi dan menentang upaya yang gagal untuk menulis ulang konstitusi yang ditulis ulang oleh junta.
Seorang analis yang berbasis di Yangon, David Mathieson mengatakan bahwa meskipun pihak berwenang dapat menemukannya, namun jika mereka benar-benar mencoba, mereka akan enggan melakukan penangkapan karena berisiko dapat memberi Wirathu lonjakan dukungan.
"Dia ingin menjadi martir, jadi mengapa memberinya oksigen untuk mencapai itu?," imbuhnya.
Facebook juga membatasi video Wirathu pada 2018, mereka mengatakan kepada AFP bahwa telah menghapus "sejumlah video yang dilaporkan terkait dengan peristiwa tersebut" dan bekerja cepat untuk mencegah orang lain membagikannya.
Kemunculan kembali Wirathu beberapa hari sebelum pemilihan bukanlah kebetulan, kata peneliti Kelompok Krisis Internasional yang berbasis di Yangon, Richard Horsey.
Partai NLD Suu Kyi secara luas diperkirakan akan kembali berkuasa dalam pemilihan 8 November meskipun ada ketidakpuasan yang meluas di daerah etnis minoritas.
"Dengan menjadi berita utama sebelum pemilu, dia (Wirathu) akan menggambarkan pemerintah NLD sebagai musuh nasionalisme Buddha," kata Horsey.
Â
Reporter: Ruben Irwandi
Advertisement