Liputan6.com, Kiev - Seorang remaja dari desa Ukraina menjadi sorotan nasional karena menggunakan drone untuk memata-matai gerakan invasi Rusia. Bersama ayahnya, remaja bernama Andriy Pokrasa (15) memakai drone kecil dan mengambil foto-foto penting untuk militer Ukraina.
Dilaporkan AP News, Senin (13/6/2022), awalnya mereka memfoto barisan tank lapis baja milik Rusia yang mengarah ke ibu kota Kiev. Mereka juga mencatat koordinat para tank tersebut untuk diberikan ke militer Ukraina. Beberapa menit kemudian, Ukraina berhasil melancarkan serangan kepada tank-tank tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Selama sepekan penuh usai invasi dimulai, pasangan bapak-anak ini berkali-kali menerbangkan drone mereka, meski ada risiko ketahuan atau ditangkap Rusia.
"Hal itu adalah saat-saat paling menakutkan di hidup saya," jelas Andriy. "Kami menyediakan foto-foto dan lokasinya kepada angkatan bersenjata."
Militer Ukraina menggunakan informasi dari Andriy untuk mendapatkan koordinat yang lebih akurat. Ayah dari Andriy membiarkan putranya yang menjadi pilot drone tersebut.
"Saya bisa mengoperasikan drone tersebut, tetapi putra saya lebih jago. Kami dengan segera memutuskan bahwa ia akan melakukannya," kata Stanislav Pokrasa (41).
Mereka tidak yakin ada berapa target Rusia yang hancur berkat informasi yang mereka berikan, tetapi ketika mereka mengecek lagi lokasinya dengan drone, mereka melihat dampak kehancuran dari konvoi Rusia di jalan raya strategis menuju ibu kota Kiev.
"Ada lebih dari 20 kendaraan militer Rusia yang hancur, di antara mereka ada truk bahan bakar dan tank," kata Stanislav.
Militer Ukraina akhirnya meminta supaya Andriy beranjak dari desa untuk evakuasi ke Polandia. Stanislav tak bisa ikut karena pria dewasa harus menetap di Ukraina. Namun, Andriy sudah kembali ke rumahnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Imbas Perang Ukraina-Rusia Sejak 24 Februari 2022, 287 Anak Tewas
Korban terus berjatuhan akibat perang Rusia-Ukraina. Kantor Jaksa Agung Ukraina mengatakan pada Sabtu 11 Juni 2022 bahwa mereka mengetahui adanya kematian 24 anak lagi di Mariupol, pelabuhan tenggara yang dikepung selama berminggu-minggu sebelum pasukan Rusia berhasil merebutnya pada pertengahan Mei.
Secara total, kantor tersebut mengatakan, bahwa setidaknya 287 anak telah tewas sejak dimulainya invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022, sedangkan lebih dari 492 anak telah terluka.
"Selama pencatatan tindak pidana, diketahui bahwa 24 anak lagi tewas di Mariupol, wilayah Donetsk, akibat penembakan membabi buta oleh militer Rusia," kata kantor tersebut di aplikasi pesan Telegram seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (12/6).
Wali kota Mariupol – kota yang hancur akibat pengepungan Moskow- mengatakan wabah kolera terjadi di kota itu karena sistem sanitasi rusak dan banyak jasad yang membusuk di jalan-jalan.
Rusia telah membantah pihaknya menargetkan warga sipil dan telah menolak tuduhan kejahatan perang dalam apa yang disebutnya sebagai "operasi militer khusus" yang ditujukan untuk demiliterisasi dan "denazifikasi" Ukraina. Kiev dan sekutunya mengatakan Ukraina diserbu tanpa adanya provokasi.
Awal Juni, PBB mengatakan bahwa lebih dari 250 anak Ukraina telah tewas sejak perang dimulai dan lima juta lainnya masih berisiko mengalami kekerasan dan pelecehan.
Advertisement
Rusia Bantah Serang Rakyat Sipil
Sudah lebih dari 100 hari sejak Rusia menyerbu Ukraina. Jutaan warga Ukraina telah mengungsi dan korban jiwa masih berjatuhan.
Meski demikian, Kedutaan Besar Rusia menyebut bahwa Rusia tidak menyerang warga sipil. Bukti-bukti foto dan video juga dinilai bisa menyesatkan.
Duta Besar Rusia Lyudmila Vorobieva menyebut menyakiti rakyat sipil bukanlah tradisi dari angkatan bersenjata Rusia. Ia mencontohkan ketika pasukan Soviet masuk ke wilayah Jerman di Perang Dunia II, namun rakyat Jerman tidak disakiti.
"Bahkan di situasi itu, angkatan bersenjata kami masuk ke wilayah Jerman, lalu tidak ada kekejian, tidak ada kekerasan terhadap rakyat sipil, warga Jerman biasa. Sebaliknya, mereka menyediakan makanan," ujar Dubes Rusia Lyudmila Vorobieva di rumah dinasnya di Jakarta, Rabu (8/6/2022).
Meski demikian BBC, Al-Arabiya, hingga blog London School of Economics and Political Science (LSE) menyebut ada hingga dua juta wanita diperkosa ketika Tentara Soviet masuk ke Jerman di perang Dunia II.
Selain itu, pihak Rusia menegaskan bahwa ada misinformasi terkait serangan di pusat kota Donetsk. Pihak Rusia berkata serangan yang terjadi berasal dari lokasi yang dikontrol tentara Ukraina.
Pihak Rusia juga membantah adanya aktivitas militer di Svyatogorsk yang merupakan wilayah bersejarah.
"Kementerian Pertahanan Rusia menekankan bahwa Angkatan Bersenjata Rusia yang berlokasi di utara Svyatogorsk tidak melaksanakan operasi-operasi pertarungan di area ini dan membom wilayah Svyatogorsk Historical and Architectural Reserve," tulis keterangan dari Kedubes Rusia.
Respons Kedubes Inggris di 100 Hari Invasi
Kedutaan Besar Inggris di Jakarta juga merilis pernyataan mengenai 100 hari serangan Rusia di Ukraina. Inggris berkata serangan Rusia sebagai hal "biadab dan tidak beralasan."
Pada pernyataan resmi Kedubes Inggris, Rabu (8/6/2022), ada puluhan ribu orang tewas dan lebih dari 6,8 juta pengungsi telah meninggalkan Ukraina. Ada 8 juta warga Ukraina mengungsi, hampir 13 juta terdampar di zona konflik dan hampir 16 juta membutuhkan dukungan kemanusiaan.
“Invasi Putin telah membawa kematian dan kehancuran dalam skala yang tidak terlihat di Eropa sejak WW2. Perang ini memiliki konsekuensi besar bagi perdamaian, kemakmuran, dan ketahanan pangan global. Itu penting bagi kita semua," ujar Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia Owen Jenkins meminta agar komunitas internasional tetap mengingat bahwa Vladimir Putin bertanggung jawab.
"Penting untuk diingat siapa yang memikul tanggung jawab tunggal dan penuh atas krisis bahan bakar dan pangan yang menghantam ekonomi global – Putin. Invasi Putin yang agresif dan tidak beralasan melanggar prinsip dasar hukum internasional - bahwa negara memiliki kedaulatan teritorial dan hak untuk menentukan kebijakan luar negeri mereka sendiri," ujar Dubes Owen.
Advertisement