Liputan6.com, Pyongyang- Korea Utara menyatakan dukungannya atas aneksasi Rusia terhadap empat wilayah Ukraina yang diduduki pasukannya pada Selasa 3 Oktober 2022.
Selain itu, Korea Utara juga menuduh AS dan sekutunya bertindak seperti gangster dengan memimpin upaya di PBB untuk menentang apa yang Moskow lakukan.Â
Baca Juga
Dia mengecam AS karena menerapkan "standar ganda seperti gangster" di PBB, bersikeras bahwa agresi Washington sebelumnya terhadap bekas Yugoslavia, Afghanistan, dan Irak belum ditangani di DK PBB.
Advertisement
Pekan lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan bahwa Moskow telah mencaplok empat wilayah Ukraina, dengan mengadakan referendum yang diorganisir Kremlin di atas wilayah yang dikuasai oleh militer Rusia.
Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya menyebut referendum tersebut sebagai penipuan yang dilakukan di bawah todongan senjata dan bersumpah tidak akan pernah mengakui aneksasi tersebut, seperti dikutip dari laman Global Village Space, Rabu (5/10/2022).
Namun, Menteri Luar Negeri Korea Utara Jo Chol Su menegaskan bahwa referendum untuk bergabung dengan Rusia adalah sah dan "diadakan sesuai dengan Piagam PBB yang mengatur prinsip-prinsip kesetaraan bangsa-bangsa," demikian menurut pernyataan KCNA news agency.
Seperti yang kita ketahui, Korea Utara adalah sekutu Rusia.Â
"Mayoritas pemilih mendukung upaya untuk berintegrasi dengan Rusia," kata Jo Chol Su dalam sebuah pernyataan, demikian yang dilaporkan KCNA.
Rusia pada Jumat 30Â September melakukan veto terhadap tawaran yang diprakarsai AS di Dewan Keamanan PBB untuk mengecam aneksasi Korea Utara. Namun, Rusia tidak memperoleh dukungan terhadap veto tersebut, sementara China dan India abstain.
Jo Chol Su mengatakan Amerika Serikat mencampuri urusan internal negara-negara merdeka dan "menyalahgunakan" Dewan Keamanan PBB.
"Masa-masa AS dapat menggunakan DK PBB sebagai perisai dan sarana agresi untuk mempertahankan supremasinya tidak akan pernah kembali ketika ," imbuh Jo Chol Su.
"Jika DK PBB melanggar hak-hak independen dan kepentingan fundamental negara berdaulat dengan standar ganda yang tidak logis dan layaknya gangster yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB, maka DK PBB akan bertanggung jawab penuh atas konsekuensi yang akan ditimbulkannya," tambah Jo Chol Su.
Pada Juli 2022 juga diketahui Korea Utara secara resmi mengakui kemerdekaan republik separatis pro-Rusia Donetsk dan Luhansk di Ukraina.
Pyongyang juga bru-baru ini menegaskan hubungan dektnya dengan Moskow di tengah hubungan antar-Korea yang ‘dingin’ dan berhentinya pembicaraan tentang nuklir dengan Washington.
Korea Utara Akui Pemisahan Proksi Rusia di Ukraina Timur
Berbicara tentang dukungan Korea Utara terhadap Rusia, Korea Utara pada Rabu (13 Juli) mengakui dua "republik rakyat" yang memisahkan diri yang didukung Rusia di Ukraina timur sebagai negara merdeka, kata seorang pemimpin separatis dan kantor berita resmi Korea Utara.
Dilansir laman Channel News Asia, Kamis (14/7/2022), langkah itu membuat Korea Utara menjadi negara ketiga setelah Rusia dan Suriah yang mengakui dua entitas yang memisahkan diri, Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR), di wilayah Donbas Ukraina.
Dalam sebuah posting di saluran Telegram-nya, pemimpin DPR Denis Pushilin mengatakan dia berharap untuk "kerja sama yang bermanfaat" dan meningkatkan perdagangan dengan Korea Utara, negara bersenjata nuklir yang terisolasi lebih dari 6.500 km jauhnya.
Kedutaan Besar DPR di Moskow memposting foto di saluran Telegramnya tentang upacara di mana duta besar Korea Utara untuk Moskow, Sin Hong-chol, menyerahkan sertifikat pengakuan kepada utusan DPR Olga Makeyeva.
Pejabat Korea Utara KCNA mengkonfirmasi pada hari Kamis bahwa menteri luar negeri negara itu Choe Son Hui mengirim surat kepada rekan-rekannya di kedua wilayah pada hari Rabu, mengakui kemerdekaan mereka.
"Dalam surat-surat itu, dia ... menyatakan keinginan untuk mengembangkan hubungan antarnegara dengan negara-negara itu dalam gagasan kemerdekaan, perdamaian dan persahabatan," kata KCNA.
Ukraina segera memutuskan hubungan dengan Pyongyang atas langkah tersebut.
Advertisement
Rusia Dekati Korea Utara, Kurang Pasokan Senjata untuk Invasi di Ukraina
Kedekatan Korea Utara-Rusia baru baru ini disorot dunia. Menurut laporan intelijen AS yang baru dideklasifikasi dari Amerika Serikat, Kementerian pertahanan Rusia sedang dalam proses pembelian jutaan roket dan peluru artileri dari Korea Utara untuk mendukung invasinya ke Ukraina.
Seorang pejabat AS yang identitasnya tidak mau disebutkan itu mengatakan bahwa dengan fakta Rusia beralih mendekati negara yang terisolasi, Korea Utara menunjukkan militer Rusia terus menderita kekurangan pasokan senjata, dan sebagian karena kontrol ekspor dan sanksi.
Para pejabat intelijen AS percaya bahwa Rusia mungkin dapat membeli peralatan militer Korea Utara tambahan di masa depan. Temuan intelijen itu pertama kali dilaporkan oleh The New York Times, seperti dikutip dari laman AP News, Selasa (6/9/2022).
The New York Times, yang pertama kali melaporkan pembelian tersebut, mengatakan bahwa laporan tersebut hanya memberikan sedikit detail tentang persenjataan yang terlibat atau waktu atau ukuran pengiriman. Pejabat AS itu tidak merinci berapa banyak persenjataan yang ingin dibeli Rusia dari Korea Utara.
Temuan ini muncul setelah pemerintahan Biden baru-baru ini mengonfirmasi bahwa militer Rusia pada bulan Agustus menerima pengiriman drone yang diproduksi Iran untuk digunakan di medan perang di Ukraina.
Gedung Putih mengatakan bahwa Rusia telah menghadapi masalah teknis dengan drone buatan Iran yang diperoleh dari Teheran pada bulan Agustus, untuk digunakan dalam perangnya dengan Ukraina.
Baru-baru ini, Rusia mengambil Mohajer-6 dan Shahed –kendaraan udara tak berawak dari Iran, sejalan dengan apa yang dikatakan pemerintahan Biden yang kemungkinan hal tersebut merupakan rencana Rusia untuk memperoleh ratusan UAV Iran untuk digunakan di Ukraina.
Putin dan Kim Bertukar Surat
Di tahun 2022, Korea Utara telah menguji coba lebih dari 30 rudal balistik, termasuk di antaranya adalah penerbangan pertama rudal balistik antarbenua yang sudah dilakukan sejak 2017, saat Kim Jong Un berusaha untuk memajukan persenjataan nuklirnya meskipun ada tekanan dan saksi dari AS.
AS sering kali menjatuhkan dan mengungkap temuan intelijen selama perang yang berkecamuk di Ukraina untuk menyoroti rencana operasi misinformasi Rusia atau untuk memusatkan perhatian pada kesulitan Moskow dalam melaksanakan perang tersebut. Militer Ukraina yang lebih lemah telah melakukan perlawanan keras terhadap pasukan Rusia yang secara militer lebih unggul.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Kim baru-baru ini saling bertukar surat di mana mereka berdua menyerukan kerja sama "komprehensif" dan "strategis dan taktis" antara kedua negara. Moskow, pada bagiannya, telah mengeluarkan pernyataan yang mengutuk kebangkitan kembali latihan militer berskala besar antara Amerika Serikat dan Korea Selatan tahun ini, yang dipandang Korea Utara sebagai latihan invasi.
Rusia, bersama dengan China, telah menyerukan keringanan sanksi PBB yang dikenakan pada Korea Utara atas uji coba nuklir dan rudalnya. Kedua negara tersebut adalah anggota Dewan Keamanan PBB, yang telah menyetujui total 11 putaran sanksi terhadap Korea Utara sejak tahun 2006. Pada bulan Mei, Rusia dan China memveto tawaran yang dipimpin AS untuk menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Korea Utara atas uji coba rudal tingkat ti nggi tahun ini.
Beberapa ahli mengatakan bahwa Kim kemungkinan dapat memperkuat niatnya untuk mempertahankan senjata nuklirnya karena dia mungkin berpikir serangan Rusia terjadi karena Korut telah menandatangani persenjataan nuklirnya.
Advertisement