Korea Utara Larang Pelancong Asal China Masuk Negaranya, Khawatir Gelombang Baru COVID-19?

Di tengah kekhawatiran yang melanda sejumlah negara akan gelombang COVID-19 yang kembali melanda China, Korea Utara telah memberlakukan larangan total terhadap pengunjung dari negara tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Des 2022, 20:10 WIB
Diterbitkan 30 Des 2022, 20:10 WIB
Seorang guru mengukur suhu tubuh seorang siswi untuk membantu mengekang penyebaran virus corona sebelum memasuki Sekolah Dasar Kim Song Ju di Distrik Pusat di Pyongyang, Korea Utara, Rabu, 13 Oktober 2021. (Foto AP/Cha Song Ho, File)
Seorang guru mengukur suhu tubuh seorang siswi untuk membantu mengekang penyebaran virus corona sebelum memasuki Sekolah Dasar Kim Song Ju di Distrik Pusat di Pyongyang, Korea Utara, Rabu, 13 Oktober 2021. (Foto AP/Cha Song Ho, File)

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah kekhawatiran yang melanda sejumlah negara akan gelombang COVID-19 yang kembali melanda China, Korea Utara telah memberlakukan larangan total terhadap pengunjung dari negara sekutu dan tetangganya itu.

“Warga China untuk sementara dilarang masuk,” demikian pernyataan yang diunggah di situs Badan Imigrasi Nasional China.

“Semua penumpang yang baru tiba (dari China), termasuk warga Korea Utara, harus menjalani karantina dan observasi selama 30 hari.”

Belum jelas kapan atau berapa lama Korea Utara akan memberlakukan larangan itu, dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (31/12/2022).

Beberapa negara telah mengumumkan larangan baru terhadap pelaku perjalanan dari China, sejak Beijing pada minggu ini mengumumkan berakhirnya karantina wajib bagi para pelaku perjalanan yang masuk ke negara tersebut dan mengizinkan warga China untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Kebijakan tersebut memicu lonjakan jumlah penumpang asal China yang bepergian ke luar negeri.

Pada saat yang sama, pelonggaran lockdown dan kebijakan nol-COVID lainnya disusul oleh kenaikan kasus baru COVID yang pesat di China, sehingga meningkatkan kekhawatiran munculnya varian-varian baru virus corona penyebab COVID yang lebih berbahaya.

Larangan yang diberlakukan Korea Utara itu jauh lebih berani dibandingkan kebijakan serupa yang diambil oleh sejumlah negara lainnya, di mana kebanyakan dari mereka hanya mengharuskan penumpang asal China untuk menunjukkan bukti negatif hasil tes COVID-19.

"Baru-baru ini, sejumlah negara telah mengadopsi berbagai kebijakan untuk mengontrol area perbatasan mereka untuk mencegah perebakan pneumonia yang disebabkan oleh virus corona," demikian bunyi pengumuman yang dipajang di situs Imigrasi Nasional China.

Lonjakan Kasus COVID-19 di China Bikin Dunia Khawatir

China Mulai Berikan Vaksin COVID-19 Hirup
Wanita yang memakai masker wajah mengantre untuk mendapatkan tes usap tenggorokan COVID-19 rutin mereka di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (26/10/2022). Kota Shanghai di China mulai memberikan vaksin COVID-19 yang dapat dihirup pada hari Rabu di tempat yang tampaknya menjadi yang pertama di dunia. (AP/Andy Wong)

Langkah Amerika Serikat, Jepang, dan sejumlah negara lainnya mengamanatkan tes COVID-19 bagi pelancong yang datang dari China.

Hal ini mencerminkan kekhawatiran global bahwa varian baru dapat muncul dalam wabah eksplosif, dikutip dari NST.com.my, Kamis (29/12/2022).

Belum ada laporan varian baru hingga saat ini. Tetapi mengingat rekam jejak China, kekhawatirannya adalah Tiongkok tidak membagikan data tentang tanda-tanda berkembangnya strain yang dapat memicu wabah baru di tempat lain.

Amerika Serikat mengumumkan persyaratan tes negatif pada Rabu (28/12) untuk penumpang dari China, berdasarkan lonjakan infeksi dan kurangnya informasi, termasuk pengurutan genom dari galur virus corona di negara itu.

Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyatakan keprihatinan serupa tentang kurangnya informasi ketika dia mengumumkan persyaratan pengujian bagi penumpang dari China awal pekan ini.

Secara lebih luas, Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa baru-baru ini WHO membutuhkan lebih banyak informasi tentang tingkat keparahan wabah di China -- terutama mengenai penerimaan rumah sakit dan ICU, di negara tersebut.

India, Korea Selatan, Taiwan, dan Italia juga telah mengumumkan berbagai persyaratan pengujian untuk penumpang dari China.

Otoritas kesehatan Jerman kini sedang memantau situasi tetapi belum mengambil langkah pencegahan serupa.

"Kami tidak memiliki indikasi bahwa varian yang lebih berbahaya telah berkembang dalam wabah ini di China," kata juru bicara Kementerian Kesehatan Sebastian Guelde.

Sementara itu, Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan pekan lalu bahwa China selalu membagikan informasinya secara bertanggung jawab kepada WHO dan komunitas internasional.

"Kami siap bekerja sama dengan komunitas internasional dalam solidaritas untuk mengatasi tantangan COVID-19 secara lebih efektif, melindungi kehidupan dan kesehatan masyarakat, serta bersama-sama memulihkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan membangun komunitas kesehatan global untuk semua," katanya.

AS Ikut Jejak 4 Negara Wajibkan Tes COVID-19 Bagi Pelaku Perjalanan dari China

China Buka Kembali Bangunan Ikonis di Shanghai
Suasana sekitar Shanghai Oriental Pearl Tower di Shanghai, China, Kamis (12/3/2020). Shanghai Oriental Pearl Tower, Shanghai Jinmao Tower, dan Shanghai Tower kembali dibuka setelah sebelumnya ditutup karena virus corona COVID-19. (Xinhua/Ding Ting)

Lonjakan kasus COVID-19 di China membuat pejabat kesehatan federal Amerika Serikat mengambil langkah pencegahan penularan lebih lanjut, dengan mengumumkan bahwa hampir semua penumpang pesawat udara dari negara tersebut harus menunjukkan bukti hasil negatif tes COVID-19 jika hendak memasuki wilayah AS.

Aturan itu mulai berlaku 5 Januari 2023. Pengecualian hanya diberlakukan pada penumpang berusia di bawah dua tahun.

Langkah yang diambil AS itu menyusul kebijakan serupa yang telah diberlakukan oleh India, Italia, Jepang dan Taiwan.

"AS mengambil langkah proaktif guna melindungi kesehatan masyarakat Amerika dan waspada terhadap potensi munculnya varian COVID-19," kata pejabat kesehatan federal seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (29/12/2022).

Pada kesempatan tersebut, pejabat kesehatan federal juga menyebutkan bahwa pemerintah China tidak memiliki dan transparan dalam menyajikan data terkait Virus Corona COVID-19.

"Ada gambaran terbatas tentang data urutan genomic, tentang varian yang terdapat di China dalam basis data global. Selain itu pengujian dan pelaporan kasus baru juga berkurang. Berdasarkan absennya data ini, semakin sulit bagi kami untuk mengidentifikasi varian baru yang menyebar ke AS," demikian kilah pejabat itu ketika berbicara pada wartawan pada Rabu 28 Desember.

Pejabat tersebut berbicara dengan syarat anonim.

Pembatasan tersebut akan berlaku untuk individu yang melakukan perjalanan dari wilayah China daratan, Hong Kong, dan Makau, termasuk mereka yang akan transit sebelum menuju ke tempat lain.

Warga China Buru-Buru Rencanakan Bepergian

Guangzhou Alami Lonjakan Kasus COVID-19
Seorang wanita menjalani swab tenggorokan untuk tes COVID-19 di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (9/11/2022). Lonjakan kasus COVID-19 telah mendorong penguncian di pusat manufaktur China selatan Guangzhou, menambah keuangan tekanan yang telah mengganggu rantai pasokan global dan secara tajam memperlambat pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu. (Foto AP/Mark Schiefelbein)

Sebelumnya dilaporkan, masyarakat China yang terputus dari seluruh dunia selama tiga tahun oleh pembatasan COVID-19, berbondong-bondong ke tempat-tempat perjalanan pada Selasa (27 Desember) menjelang pembukaan kembali perbatasan, bahkan ketika infeksi yang meningkat membebani sistem kesehatan dan mengguncang perekonomian.

Dilansir Channel News Asia, Rabu (28/12), langkah-langkah zero COVID - dari perbatasan yang ditutup hingga lockdown berkepanjangan - telah menghancurkan ekonomi China sejak awal 2020, bulan lalu memicu ketidakpuasan publik terbesar di daratan sejak Presiden Xi Jinping mengambil alih kekuasaan pada 2012.

Perubahan kebijakannya pada bulan ini berarti virus sekarang menyebar sebagian besar tidak terkendali di seluruh negara berpenduduk 1,4 miliar orang.

Namun, statistik resmi menunjukkan hanya satu kematian akibat COVID-19 dalam tujuh hari terakhir hingga Senin, memicu keraguan di antara pakar kesehatan dan penduduk tentang data pemerintah. Angka-angka tersebut tidak konsisten dengan pengalaman negara-negara yang jauh lebih sedikit penduduknya setelah dibuka kembali.

Dokter mengatakan rumah sakit kewalahan dengan pasien lima sampai enam kali lebih banyak dari biasanya, kebanyakan dari mereka sudah lanjut usia. 

Pakar kesehatan internasional memperkirakan jutaan infeksi setiap hari dan memperkirakan setidaknya 1 juta kematian akibat COVID-19 di China tahun depan.

Infografis Kejahatan Meningkat saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Kejahatan Meningkat saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya