Liputan6.com, Manila - Amerika Serikat (AS) telah mengamankan akses tambahan ke empat pangkalan militer di Filipina, yang akan membuat mereka semakin mudah memantau pergerakan China di Laut China Selatan dan sekitar Taiwan. Dengan kesepakatan ini, AS telah menutup celah pada aliansinya yang membentang dari Korea Selatan, Jepang di utara, hingga Australia di selatan.
Sebelumnya, AS telah memiliki akses terbatas ke lima pangkalan militer Filipina di bawah Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan (EDCA).
Baca Juga
"Penambahan baru dan perluasan akses akan memungkinkan dukungan yang lebih cepat untuk bencana terkait kemanusiaan dan iklim di Filipina dan menanggapi tantangan bersama lainnya - dinilai merupakan referensi terselubung untuk melawan China di wilayah tersebut," demikian pernyataan AS seperti dikutip dari BBC, pada Kamis (2/2/2023).
Advertisement
Pernyataan itu muncul setelah Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin bertemu dengan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr di Manila pada hari yang sama.
AS belum mengumumkan di mana saja pangkalan baru yang dimaksud, tetapi tiga di antaranya kemungkinan besar berada di Luzon, sebuah pulau di tepi utara Filipina, satu-satunya daratan besar yang dekat dengan Taiwan.
"Tidak ada kemungkinan di Laut China Selatan yang tidak membutuhkan akses ke Filipina," kata Direktur program Asia Tenggara di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington, Gregory B Poling. "AS tidak mencari pangkalan permanen. Ini tentang tempat, bukan pangkalan."
Dengan kata lain, sebut Poling, fenomena ini tidak seperti kembali ke tahun 1980-an, ketika Filipina menjadi rumah bagi 15.000 tentara AS dan dua pangkalan militer AS terbesar di Asia, Lapangan Clark dan Teluk Subic.
Pada tahun 1991 pemerintah Filipina meminta waktu. Orang-orang Filipina saat itu menggulingkan kediktatoran Ferdinand Marcos yang dibenci dan pilihan mengirim pulang tuan kolonial lama akan semakin memperkuat demokrasi dan kemerdekaan.
Perang Vietnam telah lama berakhir, Perang Dingin mereda, dan China saat itu masih lemah secara militer. Jadi, pada tahun 1992, pasukan AS pun pulang - atau setidaknya sebagian besar dari mereka pulang.
Dan 30 tahun setelah berlalu sekarang, Marcos lainnya, kembali ke Istana Malacanang. Fakta yang lebih penting lagi, China tidak lagi lemah secara militer.
Manila telah menyaksikan bagaimana Beijing mulai menggambar ulang peta Laut China Selatan dan sejak 2014 mereka membangun 10 pangkalan di pulau-pulau buatan, termasuk satu di Mischief Reef, jauh di dalam zona ekonomi eksklusif atau ZEE Filipina.
"Kami memiliki kemampuan yang sangat terbatas melawan ancaman dari China," kata mantan Duta Besar Filipina untuk AS Jose Cuisia Jr.
Dia mengatakan China telah berulang kali mengingkari janji untuk tidak memiliterisasi pangkalan baru mereka di Laut China Selatan.
"China telah memiliterisasi fitur-fitur itu dan itu membuat lebih banyak wilayah kami terancam. Hanya AS yang memiliki kekuatan untuk menghentikannya. Filipina tidak dapat melakukannya sendiri," ungkap Jose.
Topik Sensitif
Sejarah kekerasan dan pelecehan oleh pasukan AS di Filipina masih menjadi topik sensitif. Diperkirakan ada 15.000 anak yang tinggal bersama ibu Filipina mereka ketika ayah mereka yang merupakan pasukan AS kembali ke negaranya.
"Kami memiliki sejarah panjang ketidaksetaraan dalam hubungan kami," kata Renato Reyes, sekretaris jenderal Aliansi Patriotik Baru, sebuah kelompok sayap kiri. "Filipina terpaksa menanggung biaya sosial. Ada sejarah pemerkosaan, pelecehan anak, dan limbah beracun."
Kembalinya AS ke Filipina telah ditentang keras oleh kelompok sayap kiri negara itu.
Advertisement
Ratusan Ribu Warga Filipina Tinggal di Taiwan
Dengan meningkatnya kekhawatiran tentang konflik atas Taiwan, Filipina dinilai dapat menawarkan "akses area belakang" untuk operasi militer AS atau bahkan jalur evakuasi pengungsi.
"Orang-orang lupa ada antara 150.000-200.000 orang Filipina yang tinggal di Taiwan," kata Poling.
Tapi, profesor politik dari University of the Philippines Herman Kraft menilai bahwa Manila tidak akan menjadi anggota penuh aliansi AS untuk menantang atau menolak kebangkitan China.
"Filipina tidak melakukan hal-hal seperti Australia dan Jepang, secara langsung menantang kepentingan China di Laut China Selatan atau Laut China Timur. Presiden Marcos menginginkan hubungan baik dengan AS. Tapi, dia juga menginginkan hubungan baik dengan China demi keuntungan ekonomi," ujar Kraft.
Dalam editorial yang diterbitkan bertepatan dengan kunjungan menhan AS ke Manila, Global Times milik pemerintah China menuduh AS memasang jebakan untuk Filipina dan mencoba mendorong Filipina ke garis depan konfrontasi dengan China.
"Kami sekali lagi terjebak di tengah-tengah," kata Reyes, yang percaya China adalah kekuatan imperialis kapitalis seperti halnya AS. "Filipina sendiri masih memiliki mentalitas kolonial - memandang AS sebagai kakak laki-lakinya."