Alasan Dewan Atletik Dunia Larang Atlet Perempuan Transgender Bertanding

Dewan Atletik Dunia telah memutuskan untuk melarang perempuan transgender dari kompetisi olahraga perempuan elite. Berikut ini sejumlah alasannya.

oleh Alycia Catelyn diperbarui 25 Mar 2023, 08:53 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2023, 08:53 WIB
Ilustrasi LGBTQ+. (Unsplash/Vittorio Gravino)
Ilustrasi LGBTQ+. (Unsplash/Vittorio Gravino)

Liputan6.com, Jakarta - World Athletics Council atau Dewan Atletik Dunia memutuskan untuk melarang perempuan transgender dari kompetisi perempuan elit jika mereka telah mengalami pubertas pria, dalam sebuah keputusan yang menurut badan pengatur itu telah diambil untuk "melindungi masa depan kategori perempuan".

Berbicara setelah keputusan yang mulai berlaku pada 31 Maret 2023, Presiden Dewan Atletik Dunia Seb Coe menerima bahwa keputusan itu akan diperdebatkan, tetapi mengatakan olahraganya telah dipandu oleh "prinsip menyeluruh" dari keadilan, serta ilmu seputar performa fisik dan keunggulan pria.

"Keputusan selalu sulit ketika melibatkan konflik kebutuhan dan hak antara kelompok yang berbeda, tetapi kami terus berpandangan bahwa kami harus menjaga keadilan bagi atlet putri di atas semua pertimbangan lainnya," kata Coe, dilansir dari The Guardian, Sabtu (25/3/2023).

"Kami percaya integritas kategori perempuan dalam atletik adalah yang terpenting," imbuhnya.

Namun, Coe juga menekankan bahwa ia akan membentuk kelompok kerja yang akan berkonsultasi dengan atlet transgender dan meninjau setiap penelitian baru yang muncul.

Olahraga semakin bergelut dengan masalah pelik partisipasi transgender dalam beberapa tahun terakhir, terutama ketika atlet angkat besi Selandia Baru Laurel Hubbard memenuhi syarat untuk Olimpiade Tokyo setelah melakukan transisi di usia 30-an.

Sejak Tokyo, sebagian besar olahraga telah memilih untuk mengizinkan perempuan transgender berkompetisi jika mereka menurunkan testosteron menjadi lima nanomoles per liter selama 12 bulan.

Namun, ilmu pengetahuan yang muncul menunjukkan bahwa perempuan transgender mempertahankan keunggulan dalam kekuatan, daya tahan, kekuatan, kapasitas paru-paru, bahkan setelah menekan testosteron. Hal itu pun telah membuat Dewan Atletik Dunia untuk mengusulkan batas testosteron yang lebih rendah setidaknya selama 24 bulan di Januari.

Coe mengatakan ada "sedikit dukungan" untuk kebijakan semacam itu, dengan atlet dan federasi memperjelas bahwa mereka ingin memprioritaskan keadilan untuk olahraga perempuan daripada inklusi.

"Kami mengadakan konsultasi beberapa bulan lalu karena kami ingin memprovokasi perdebatan," ungkap Coe.

"Sangat penting bagi kami untuk mendengar dari semua pemangku kepentingan kami, termasuk para atlet, pelatih, dan anggota federasi."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Melarang Atlet Perempuan Transgender, Dewan Atletik Dunia Bukan yang Pertama

Ilustrasi LGBTQ+. (Unsplash)
Ilustrasi LGBTQ+. (Unsplash)

Dewan Atletik Dunia menjadi badan olahraga terbaru yang melarang waria dari olahraga perempuan, menyusul World Rugby pada 2020 dan World Swimming dan Rugby Football League tahun lalu.

Keputusan World Swimming datang tidak lama setelah Lia Thomas, yang pernah menjadi perenang perguruan tinggi menengah sebagai pesaing pria di Amerika Serikat (AS), memenangkan gelar perempuan perguruan tinggi nasional National Collegiate Athletic Association (NCAA) pada 2022.

Keputusan Dewan Atletik Dunia kemungkinan akan ditentang oleh kelompok LGBTQ+ seperti Stonewall. Berbicara bulan lalu, mereka mendesak olahraga untuk seinklusif mungkin.

"Populasi transgender mungkin kecil, tetapi mereka memiliki hak untuk berpartisipasi dalam olahraga dan menikmati banyak manfaat fisik, mental, dan komunitas dari olahraga," kata pihak Stonewall.

"Bukti ilmiah yang didasarkan pada orang transgender dalam olahraga sedang berkembang tetapi masih jauh dari konklusif."

Namun, pelarangan atlet perempuan transgender disambut baik oleh kelompok kampanye Fair Play For Women.

"Ini adalah hal yang tepat untuk perempuan dan anak perempuan, sesuai dengan semua bukti ilmiah dan akal sehat," kata pihak Fair Play For Women.

"Kami sekarang berharap untuk melihat federasi nasional mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Dewan Atletik Dunia, untuk memulihkan jalur bakat bagi anak perempuan dan remaja putri, dan untuk mengembalikan olahraga yang adil bagi perempuan dari segala usia."


Atlet dengan DSD Harus Menurunkan Level Testosteron

Ilustrasi persamaan hak. (Unsplash/Amy Elting)
Ilustrasi persamaan hak. (Unsplash/Amy Elting)

Dalam keputusan penting lainnya, Dewan Atletik Dunia juga mengumumkan bahwa semua atlet dengan perbedaan perkembangan jenis kelamin akan dilarang berkompetisi secara internasional di semua pertandingan kecuali mereka mengurangi testosteron mereka menjadi 2,5 2,5 nanomoles per liter selama minimal enam bulan.

Sampai saat ini atlet dengan differences of sexual development (DSD) atau perbedaan perkembangan jenis kelamin termasuk mantan juara Olimpiade putri Caster Semenya dan Christine Mboma, peraih medali perak 200 m di Olimpiade Tokyo, telah diizinkan untuk bertanding tanpa pengobatan kecuali dalam nomor lari 400 m hingga satu mil.

Namun pada 2019, pengadilan arbitrase untuk olahraga memutuskan bahwa 46 individu XY 5-ARD dengan DSD seperti Semenya, "menikmati keunggulan olahraga yang signifikan, lebih dari 46 pesaing XX tanpa DSD semacam itu" karena biologi.

Coe mengatakan bahwa atlet dengan DSD sekarang harus menurunkan testosteron mereka setidaknya selama enam bulan, yang berarti mereka akan melewatkan Kejuaraan Dunia musim panas ini di Budapest.

"Kami telah siap untuk menangani masalah ini secara langsung," ucap Coe.

"Dulu mereka dibiarkan tak terlihat atau dilupakan. Itu bukan sifat kepemimpinan saya dan tentu saja bukan naluri dewan saya."

Dalam pernyataan lain, Coe mengatakan bahwa atlet Rusia akan tetap dilarang dari trek dan lapangan "untuk masa mendatang" karena invasi negara tersebut ke Ukraina, meskipun Komite Olimpiade Internasional sedang menjajaki jalur untuk atlet Rusia dan Belarusia.


Jadi Atlet Transgender Pertama di Olimpiade, Laurel Hubbard Enggan Disebut Cetak Sejarah

Laurel Hubbard
Laurel Hubbard. (AFP)

Bicara soal atlet transgender, Laurel Hubbard merupakan atlet perempuan transgender pertama yang tampil di Olimpiade. 

Pada Olimpiade Tokyo 2020, Hubbard tampil di cabang angkat besi. Hubbard turun di kelas +87 kg putri yang juga diikuti oleh lifter asal Indonesia, Nurul Akmal. Sayangnya, Hubbard tidak berhasil merebut medali. 

Karena prestasinya yang berdampak ini, Hubbard menganggapi bahwa kiprahnya di Olimpiade Tokyo 2020 bukan hal yang luar biasa. Sebagai atlet trangender pertama yang tampil di ajang olahraga multieven empat tahunan itu, Hubbard menganggap langkah yang ditempuhnya tidak perlu dijadikan sebagai catatan sejarah. 

Sejak awal, nama Hubbard mencuri perhatian memang bukan karena potensinya merebut medali. Atlet berusia 43 tahun itu justru jadi perbincangan karena berstatus atlet trangender. Sepanjang sejarah Olimpiade, baru Hubbard yang menjadi atlet transgender yang berani melakukan hal itu secara terbuka. 

Seperti dilansir dari Sky News, Hubbard menyampaikan bahwa Olimpiade Tokyo 2020 bakanakal jadi kejuaraan terakhir yang diikutinya. Sepulang dari Jepang, Hubbard berniat untuk pensiun. 

Baca selebihnya di sini...

Infografis Atlet Wanita olimpiade
Infografis Atlet Wanita olimpiade (Liputan6.com/Trie yas)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya