Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn menanggapi pernyataan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao yang enggan bergabung dengan ASEAN karena masalah Myanmar. Ia menyebut bahwa para pemimpin negara ASEAN saat ini tengah berusaha keras dalam menyelesaikan masalah itu.
Xanana sebelumnya mengatakan bahwa Timor Leste tidak akan menjadi bagian dari ASEAN, jika organisasi politik regional itu tidak mampu menyelesaikan masalah junta militer Myanmar.
Baca Juga
"Sepuluh anggota negara ASEAN telah berusaha sangat keras bersama. Para pemimpin negara kami membuat keputusan politik yang sangat penting untuk menyambut Timor Leste menjadi anggota ASEAN. Kami juga berusaha sangat keras untuk membantu Myanmar," katanya saat ditemui sejumlah media usai perayaan ulang tahun ke-56 ASEAN, di Kantor Sekretariat ASEAN, Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Advertisement
Hourn berharap bahwa pernyataan Xanana tidak mewakili posisi Timor Leste sebagai negara. Terlebih, ia mengatakan bahwa Timor Leste sendiri sudah mengajukan keinginannya bergabung dengan ASEAN sejak 12 tahun lalu.
"Kami tetap yakin pada masyarakat Timor Leste bahwa visi mereka sejalan dengan ASEAN. Kami harap mereka juga memiliki aspirasi yang sama dengan ASEAN," ucapnya.
Sikap Timor Leste juga disampaikan PM Xanana kepada Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, bahwa para pemimpin ASEAN tidak dapat meyakinkan junta militer Myanmar untuk menghormati demokrasi di negaranya.
"Jika ASEAN tidak dapat meyakinkan junta militer di Myanmar, saya dapat mengatakan Timor Leste belum dapat mempercayai asosiasi ini, ini adalah posisi pemerintah," kata PM Xanana, Kamis (3/8), di Istana Kepresidenan usai bertemu Presiden Ramos-Horta, dikutip dari News-VIPTV.
PM Xanana mengatakan, "Sebagai Perdana Menteri, Timor Leste tidak akan bergabung dengan ASEAN, jika asosiasi tidak dapat meyakinkan junta militer, saya juga telah menyampaikan posisi Timor Leste kepada Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres".
Junta Militer Myanmar Tunda Pemilu
Hingga saat ini, situasi politik di Myanmar masih belum menemukan titik penyelesaian. Bahkan, janji Junta Militer Myanmar untuk menggelar pemilu pada Agustus 2023 setelah melakukan kudeta militer pada 2021 tidak kunjung direalisasikan.
Junta kemudian menunda penyelenggaraan pemilu di negara tersebut dengan alasan keamanan dan memperpanjang keadaan darurat di negara tersebut.
Keputusan untuk menunda pemilu dibuat langsung oleh pemimpin junta militer Min Aung Hlaing, Senin (31/7/2023) seperti dilansir Reuters.
"Dalam melaksanakan pemilu, agar pemilu bebas dan adil, serta dapat memilih tanpa rasa takut, pengaturan keamanan tetap diperlukan sehingga keadaan darurat perlu diperpanjang," kata junta militer Myanmar dalam sebuah pernyataan di TV pemerintah.
Advertisement
Krisis Myanmar
Myanmar berada dalam krisis politik dan kemanusiaan setelah militer mengambil alih kekuasaan pada Februari 2021. Junta menuduh partai pemenang, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) melakukan kecurangan selama pemungutan suara November 2020.
Militer juga menangkap ketua partai NLD, Aung San Suu Kyi, hingga pejabat negara seperti presiden dan wakil presiden.
Warga yang tak menerima kudeta turun ke jalan untuk memprotes militer. Namun, junta menanggapi dengan kekerasan.
Sejumlah milisi di Myanmar juga berpartisipasi melawan junta. Banyak warga sipil mengangkat senjata setelah berlatih diam-diam di hutan.
Rezim Aung Hlaing juga tidak segan-segan menangkap dan membunuh siapapun yang dianggap menentang pemerintahnya.
Menurut sebuah badan pemantau hak asasi manusia, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), melaporkan jumlah korban tewas sejak kudeta telah mencapai 3.875 orang, sementara 24.100 lainnya telah ditangkap. Mereka yang masih ditahan sebanyak 19.733 orang.