Liputan6.com, Jakarta - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo alias Jokowi adalah salah satu kepala negara/pemerintahan yang hadir dalam KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada Sabtu (11/11/2023) di Riyadh, Arab Saudi. KTT digelar untuk membahas tentang agresi Israel terhadap rakyat Palestina.
Dikutip dari pernyataan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), KTT Luar Biasa OKI menghasilkan resolusi yang berisi 31 keputusan dengan pesa-pesan yang sangat kuat dan keras. Salah satu keputusan penting dari resolusi ini termaktub di paragraf ke-11.
"Para pemimpin memberikan mandat kepada menteri luar negeri Arab Saudi, Yordania, Mesir, Qatar, Turki, Indonesia, dan Nigeria untuk memulai tindakan atas nama OKI dan Liga Arab guna menghentikan perang di Gaza dan memulai proses politik untuk mencapai perdamaian," demikian bunyi salah satu keputusan penting KTT Luar Biasa OKI.
Advertisement
Dalam unggahannya di media sosial, Presiden Jokowi kemudian mengumumkan bahwa selepas menghadiri KTT Luar Biasa OKI, dia langsung bertolak ke Amerika Serikat (AS) untuk melakukan lawatan kenegaraan. Presiden Jokowi mengatakan bahwa salah satu pembahasannya dengan Presiden Joe Biden adalah hasil KTT Luar Biasa OKI.
"Saya meminta dukungan dari para pemimpin OKI untuk menyampaikan hasil dari KTT Luar Biasa OKI kepada Presiden Joe Biden yang rencananya saya temui dalam lawatan kenegaraan ke Amerika Serikat ini," ungkap Presiden Jokowi.
ÂÂÂView this post on Instagram
Lantas, bagaimana penilaian pengamat hubungan luar negeri tentang peran aktif Indonesia dalam upaya menghentikan perang Hamas Vs Israel di Gaza?
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Irfan Ardhani meyakini bahwa realistis adalah kata kunci dalam membaca misi perdamaian yang dibawa Presiden Jokowi ke Negeri Paman Sam.
"Kita harus realistis dalam membaca peluang kunjungan Presiden Jokowi ke AS. Hal ini disebabkan oleh long standing position Presiden Biden yang merupakan pendukung aliansi AS-Israel. Bahkan, Biden mengatakan sejak tahun 1980-an 'kalau pun tidak ada Israel, kita harus menciptakannya'. Keberadaan Israel penting bagi kepentingan nasional AS dalam kacamata Biden. Buktinya, baru-baru ini AS mengucurkan pinjaman yang sangat besar bagi kampanye militer Israel," ungkap Irfan kepada Liputan6.com.
Pada Kamis 2 November, DPR AS mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang memberikan Israel bantuan sebesar USD 14,3 miliar untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya di tengah perang dengan Hamas.
Posisi AS, sebut Irfan, sangat krusial dalam konflik Israel-Palestina.
"Pertama, karena mereka telah menggunakan hak veto yang menggagalkan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk humanitarian pause (jeda kemanusiaan) yang memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan. Kedua, mereka dalam sejarah menjadi penengah dalam konflik Israel-Palestina yang berujung pada sejumlah kesepakatan. Oleh karena itu, menggeser posisi AS harus dilakukan," tutur Irfan.
Indonesia Harus Tetap Aktif
Lebih jauh, Irfan menambahkan bahwa apa yang dapat dilakukan Indonesia adalah harus tetap aktif dalam upaya multilateral untuk membentuk stigma bahwa apa yang dilakukan Israel merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
"Stigma ini penting karena akhirnya kekejaman yang terus dipertontonkan oleh Israeli Defense Force (Pasukan Pertahanan Israel/IDF) mampu secara perlahan mengubah posisi negara-negara Barat yang menjadi sekutu Israel. Ketika awalnya mereka mendukung hak Israel untuk membela diri, belakangan negara seperti Australia dan Prancis meminta Israel untuk melakukan gencatan senjata. Apalagi tekanan publik dalam negeri semakin meluas di negara-negara Barat," terang Irfan.
"Dalam pertemuan dengan Biden, Presiden Jokowi harus menyampaikan concern masyarakat internasional tersebut. Indonesia bisa mengingatkan bahwa standar ganda AS terhadap bagaimana mereka memperlakukan konflik bersenjata di Ukraina dan di Palestina bisa berdampak panjang. Ini bukan preseden yang baik dan bisa mengikis legitimasi rule-based international order yang ditopang oleh AS."
Yang terpenting, kata Irfan, adalah bagaimana AS dan negara-negara Barat mendukung gencatan senjata.
"Karena meredakan penderitaan dari manusia tidak berdosa harus dilakukan dengan segera. Ini yang perlu dilakukan Pak Jokowi. Mengetuk pintu hati Biden sampai dia membuka mata dan bertindak atas bencana kemanusiaan yang terjadi."
Dilansir The Guardian, Direktur Jenderal Rumah Sakit di Gaza Muhammed Zaqout menuturkan pada Minggu (12/11) bahwa otoritas kesehatan Gaza tidak dapat memperbarui jumlah korban tewas sejak Jumat 10 November karena petugas medis tidak mampu menjangkau daerah yang terkena pengeboman Israel.
UNOCHA mengonfirmasi hal ini pada Minggu, dengan menulis, "Pada 12 November, untuk hari kedua berturut-turut, setelah terputusnya layanan dan komunikasi di rumah sakit di wilayah utara, otoritas kesehatan di Gaza tidak memperbarui angka korban jiwa."
Update terakhir menyebutkan total 11.078 warga Palestina di Gaza tewas akibat serangan bertubi-tubi Israel, di mana 4.506 di antaranya adalah anak-anak dan 3.027 adalah perempuan.
"Sekitar 2.700 lainnya, termasuk sekitar 1.500 anak-anak, dilaporkan hilang ... Sebanyak 27.490 warga Palestina lainnya dilaporkan terluka," sebut PBB.
Advertisement
AS dan Israel Semakin Kehilangan Dukungan
Sementara itu, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy Shiskha Prabawaningtyas menuturkan bahwa Indonesia harus menerapkan pendekatan paket kesepakatan (package deal) atas legitimasi hegemoni AS sebagai pemimpin dunia yang menjunjung tinggi promosi dan perlindungan nilai demokrasi dan HAM serta potensi degradasi dukungan dunia atas kepemimpinan AS.
"Dalam dua kali voting di forum PBB tentang aksi balasan serangan militer Israel di Gaza atas serangan Hamas pada awal Oktober 2023, kubu AS-Israel semakin kehilangan dukungan dunia baik dalam resolusi penghentian segera aksi kekerasan di Gaza sebagai syarat bantuan kemanusiaan maupun penghentian pembangunan permukiman Israel di wilayah Palestina. Di lain pihak, China dan Rusia berada dalam kubu yang jelas mendukung atas resolusi ini, termasuk Indonesia," ujar Shiskha kepada Liputan6.com pada Senin.
Menurut Shiskha, Indonesia sebagai salah satu negara post-colonial atau merdeka dari rezim kolonial memiliki legasi sejarah kuat dalam memperjuangkan hak kedaulatan berdasarkan prinsip self-determination.
Shiskha meyakini bahwa optimistis mutlak diperlukan dalam setiap upaya mendorong proses perdamaian konflik Israel-Palestina.
"Setiap ruang kesempatan atau window opportunity harus tetap dibuka walaupun kecil," kata dia.
Ketika ditanya apakah hanya AS yang dapat menghentikan kebrutalan Israel di Gaza, Shiskha menjawab, "Dalam konteks pengaruh dan kapasitas kekuatan militer, jelas hanya AS yang saat ini mampu segera menghentikan agresi militer Israel tanpa harus berkembang dalam bentuk total war yang melibatkan banyak negara. Setidaknya beberapa bentuk proxy war dari sayap militer Hezbollah dari Suriah dan Houthi dari Yaman tercatat sudah bergerak dalam beberapa hari ini."
Jokowi Ungkap 4 Hal Mendesak terkait Krisis di Gaza
Dalam KTT Luar Biasa OKI, Presiden Jokowi menyerukan agar OKI bersatu dan berada di garda terdepan dalam penyelesaian krisis di Gaza. Ada empat hal, yang disampaikan Presiden Jokowi, mendesak dilaksanakan.
Pertama, gencatan senjata segera dilakukan.Â
"Tanpa gencatan senjata, situasi tak akan membaik. Israel telah menggunakan narasi self defense dan terus melakukan pembunuhan rakyat sipil," ungkap Presiden Jokowi.
Kedua, bantuan kemanusiaan dipercepat dan diperluas jangkauannya, lebih bisa diprediksi, dan berkelanjutan. Ketigas, OKI harus menggunakan semua lini untuk menuntut pertanggungjawaban Israel terhadap kekejaman kemanusiaan yang telah dilakukan.
"Keempat, OKI harus mendesak agar perundingan damai segera dimulai kembali demi terwujudnya solusi dua negara dan menolak pemikiran solusi satu negara," imbuh Presiden Jokowi.
Advertisement