Liputan6.com, Jakarta - Tanggal 25 November setiap tahun diperingati sebagai Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Tujuannya adalah untuk menggerakkan upaya mengurangi angka kekerasan terhadap kelompok wanita.
Lalu, bagaimana sejarahnya?
Baca Juga
Dikutip dari laman resmi PBB, Sabtu (25/11/2023), aktivis hak-hak perempuan telah memperingati 25 November sebagai hari menentang kekerasan berbasis gender sejak tahun 1981. Tanggal ini dipilih untuk menghormati saudara perempuan Mirabal, tiga aktivis politik dari Republik Dominika yang dibunuh secara brutal pada tahun 1960 atas perintah penguasa negara, Rafael Trujillo (1930-1961).
Advertisement
Pada 20 Desember 1993, Majelis Umum mengadopsi Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan melalui resolusi 48/104, yang membuka jalan menuju penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia.
Akhirnya, pada tanggal 7 Februari 2000, Majelis Umum mengadopsi resolusi 54/134, yang secara resmi menetapkan tanggal 25 November sebagai hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan.
Penetapan tanggal tersebut sekaligus mengundang pemerintah, organisasi internasional serta LSM untuk bergabung bersama dan mengadakan kegiatan yang untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah kekerasan ini setiap tahunnya.
Masih Jadi Masalah Besar
Namun, meskipun tanggal 25 November telah ditetapkan sebagai Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979, kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan masih menjadi masalah besar di seluruh dunia.
Akhirnya, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi 48/104 yang meletakkan dasar bagi jalan menuju dunia yang bebas dari kekerasan berbasis gender.
Selain itu, langkah berani lainnya diwujudkan melalui inisiatif yang diluncurkan pada tahun 2008 dan dikenal sebagai UNiTE to End Violence against Women. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu ini serta meningkatkan pembuatan kebijakan dan sumber daya yang didedikasikan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia.
Advertisement
Permasalahan di Banyak Negara
Kendati demikian, upaya tersebut masih kurang dan jalan yang harus ditempuh dalam skala global masih panjang. Sampai saat ini, hanya dua dari tiga negara yang melarang kekerasan dalam rumah tangga, sementara 37 negara di seluruh dunia masih mengecualikan pelaku pemerkosaan dari penuntutan jika mereka menikah atau akhirnya menikah dengan korban.
Bahkan, 49 negara di dunia tidak memiliki undang-undang yang melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga.
Perempuan Perlu Dibekali Pengetahuan Hukum
Dikutip laman Health Liputan6.com, karena rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi, para perempuan perlu memiliki pengetahuan hukum yang memadai.
Menurut Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Lenny Rosalin, kesadaran hukum dapat melindungi perempuan.
Ketika perempuan memiliki pengetahuan dan pemahaman hukum yang baik, maka ia akan lebih percaya diri dan tidak mudah terbuai tipu daya pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Penyadaran hukum bagi perempuan adalah bagian dari upaya untuk melindungi dan memenuhi hak perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi," kata Lenny dalam Seminar Nasional Literasi Hukum bagi Perempuan "Perkuat Pemberdayaan dan Perlindungan Hak Perempuan", Jakarta, Senin, (13/11/2023).
Jika kesadaran hukum para perempuan Indonesia meningkat, maka diharapkan tercipta kondisi di mana perempuan merasa aman di tengah masyarakat.
Advertisement