Liputan6.com, London - Prof. Ghassan Abu-Sittah, ahli bedah plastik dan rekonstruksi, mengisahkan pengalaman mengerikan yang disajikan Israel di Rumah Sakit al-Ahli Arab dan Dar al-Shifa di Jalur Gaza. Dia mengaku menyaksikan dampak penggunaan amunisi fosfor putih oleh Israel.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah membantah penggunaan senjata semacam itu.
"Setelah melihat pembantaian terjadi, penciptaan Jalur Gaza yang tidak dapat dihuni adalah tujuannya dan penghancuran semua komponen kehidupan modern di mana sistem kesehatan berada adalah tujuan utama militer (Israel)," ujar Abu Sittah, yang memiliki praktik di London barat, Inggris, dan telah bekerja di Jalur Gaza sejak 2009, seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (29/11/2023).
Advertisement
Abu Sittah, sebelumnya juga pernah bertugas di Yaman, Irak, Suriah, dan Lebanon.
Ketika ditanya tentang klaim Israel berperang dengan Hamas dan penolakan Israel atas tuduhan menargetkan warga sipil di Jalur Gaza, dia mengatakan, "Secara statistik, tampaknya angka-angka tersebut menunjukkan cerita yang berbeda."
Klaim penggunaan fosfor putih di Jalur Gaza juga dilontarkan Human Rights Watch (HRW) pada Oktober, sementara Amnesty International mengklaim memiliki bukti penggunaannya di Lebanon selatan.
IDF menegaskan klaim HRW benar-benar salah dan sekali lagi mengaku belum menerapkan penggunaan amunisi semacam itu.
Familiar dengan Luka Bakar Akibat Fosfor Putih
Sejak serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober yang menurut Israel menewaskan 1.200 orang dan menyandera 240 orang, Israel melancarkan balasan tanpa ampun, menyebabkan lebih dari 13.000 warga Palestina di Gaza tewas.
Selama enam pekan, Abu Sittah bolak-balik antar rumah sakit di Gaza. Segera menjadi jelas, katanya, bahwa setengah dari korban luka adalah anak-anak. Seiring berjalannya waktu, para pekerja medis beralih dari merawat pasien yang menderita luka akibat ledakan menjadi mereka yang terkena pecahan peluru kendali, luka akibat penembak jitu, dan bom pembakar – yang Israel bantah penggunaannya.
"Kami mulai melihat hasil luka bakar fosfor," kata Abu-Sittah dalam konferensi pers di London. "Saya pernah mengobati luka bakar akibat fosfor putih di Jalur Gaza selama perang tahun 2009 – saya sangat familiar dengan karakteristik luka dan luka bakar yang ditimbulkannya."
Sementara itu, IDF bersikeras dengan bantahannya. Mereka mengaku, "IDF hanya menggunakan senjata dan amunisi legal. Cangkang tabir asap utama yang digunakan oleh IDF tidak mengandung fosfor putih."
"Seperti banyak militer Barat, IDF memiliki cangkang tabir asap yang mengandung fosfor putih yang legal menurut hukum internasional. Peluru-peluru ini digunakan oleh IDF untuk membuat tabir asap dan bukan untuk menargetkan atau menyebabkan kebakaran, serta menurut undang-undang tidak didefinisikan sebagai senjata pembakar."
Meskipun perpanjangan gencatan senjata selama dua hari diumumkan pada Senin (27/11), Abu-Sittah mengatakan pasokan obat-obatan, makanan, dan air yang dikirim selama jeda tidak cukup untuk mengatasi masalah kemanusiaan.
Advertisement
Merasa Bersalah
Pada hari Rumah Sakit Arab al-Ahli, rumah sakit tertua di Gaza, diserang pada 18 Oktober, Abu-Sittah mendengar suara siulan rudal yang diikuti dengan ledakan, yang menewaskan ratusan orang. Israel dan Hamas saling menyalahkan atas tragedi tersebut.
Abu-Sittah mengklaim, serangan itu adalah tes lakmus (uji coba yang menentukan) atas apa yang telah direncanakan IDF terhadap sistem kesehatan lainnya di Gaza.
Pasca menargetkan Rumah Sakit Arab al-Ahli, ungkap Abu Sittah, empat rumah sakit anak menjadi sasaran. Pekan lalu Israel menargetkan Rumah Sakit al-Awda dan Indonesia di Gaza Utara, menangkap direktur Rumah Sakit Al-Shifa, dan sejumlah petugas medis.
"Ada pola di mana tujuan perang ini adalah untuk mengubah Gaza menjadi zona perang mematikan yang tidak dapat dihuni," tutur Abu-Sittah, yang menuturkan dia mendengar langsung panggilan telepon dari IDF yang memperingatkan direktur medis Rumah Sakit al-Awda untuk mengungsi jika tidak maka rumah sakit akan menjadi sasaran.
Seiring berjalannya waktu, persediaan medis berkurang dan prosedur yang menyakitkan dilakukan tanpa anestesi sebelum operasi tidak dapat dilakukan lagi. Luka pasien dibersihkan dengan cairan pencuci dan cuka yang dibeli di toko, kata Abu-Sittah, sementara yang tidak tertolong terinfeksi larva.
Israel berkali-kali mengklaim bahwa rumah sakit-rumah sakit di Gaza digunakan oleh Hamas untuk tujuan militernya.
Sejak meninggalkan Gaza lebih dari 10 hari lalu, Abu-Sittah mengatakan dia merasakan rasa bersalah yang luar biasa terhadap mereka yang ditinggalkan.
"Ketakutan saya adalah bahkan mereka yang cukup gigih untuk tetap tinggal pada akhirnya akan pergi dengan sendirinya dan kita akan mendapatkan apa yang diinginkan Israel, yaitu tahun 1948," ujarnya.
"Perang ini merupakan kelanjutan dari Nakba tahun 1948."