Liputan6.com, Jakarta - Pada tahun 2023, emisi karbon global dari bahan bakar fosil mencapai level tertinggi dalam sejarah, demikian hasil penelitian terbaru oleh tim peneliti dari Global Carbon Project.
Menurut laporan tahunan ke-18 yang diterbitkan dalam jurnal Earth System Science Data, emisi karbon dioksida (CO2) fosil diperkirakan mencapai 36,8 miliar metrik ton pada 2023, naik sebesar 1,1 persen dari tahun sebelumnya.
Meskipun terdapat penurunan emisi CO2 dari bahan bakar fosil di beberapa wilayah seperti Eropa dan Amerika Serikat, namun secara keseluruhan terjadi peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa upaya global dalam mengurangi penggunaan bahan bakar fosil belum berjalan dengan cepat dan memadai, untuk mengatasi ancaman perubahan iklim yang serius.
Advertisement
Melansir dari The Conversation, Selasa (5/12/2023), emisi yang berasal dari perubahan cara lahan digunakan, seperti deforestasi, diperkirakan akan sedikit berkurang. Namun, jumlahnya masih terlalu tinggi dan tidak dapat sejalan dengan upaya menanam kembali hutan atau membuat hutan baru yang sedang dilakukan saat ini.
Menurut laporan tersebut, total emisi CO2 global dari sumber-sumber termasuk fosil dan perubahan cara lahan digunakan diproyeksikan mencapai 40,9 miliar ton metrik pada tahun 2023. Angka ini hampir sama dengan jumlah emisi pada tahun sebelumnya, dan termasuk dalam rentang angka yang sama tingginya selama 10 tahun terakhir.
Perlunya Langkah Cepat untuk Mengatasi Kekhawatiran Meningkatnya Emisi Karbon
Namun, hal tersebut masih jauh dari pengurangan emisi yang sangat penting untuk mencapai tujuan iklim global yang ditetapkan.
Tim peneliti berasal dari University of Exeter, University of East Anglia (UEA), CICERO Center for International Climate Research, Ludwig-Maximilian-University Munich, dan 90 institusi lainnya di berbagai negara di dunia.
Profesor Pierre Friedlingstein dari Exeter’s Global Systems Institute yang memimpin penelitian tersebut mengungkapkan, "Kita bisa melihat dampak perubahan iklim di sekitar kita, namun upaya untuk mengurangi emisi karbon dari bahan bakar fosil masih berjalan sangat lambat."
"Sepertinya kita akan melebihi target kenaikan suhu maksimum 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Oleh karena itu, para pemimpin yang berkumpul di COP28 harus segera menyetujui langkah-langkah cepat dalam mengurangi emisi bahan bakar fosil, bahkan untuk mempertahankan target kenaikan suhu maksimum 2 derajat Celcius," papar Profesor Pierre Friedlingstein.
Advertisement
COP28: Negara-negara Bersatu Mendukung Energi Terbarukan
Hampir 120 negara berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan di seluruh dunia dalam tujuh tahun ke depan, seperti yang diumumkan dalam perundingan iklim PBB. Amerika Serikat, sambil berusaha memperluas kapasitas nuklirnya, juga berpartisipasi dalam upaya mengurangi emisi metana.
Dalam suasana langit yang berkabut di Dubai, pemimpin konferensi COP28 menyoroti tantangan global dan memberikan dukungan pada inisiatif sukarela untuk menciptakan alternatif pengganti bahan bakar fosil.
Penerapan yang luas dari energi surya, angin, tenaga air, dan sumber energi terbarukan lainnya menjadi kunci dalam menggantikan penggunaan batu bara, minyak, dan gas yang berkontribusi pada pemanasan global. Hal ini merupakan langkah penting dalam mencapai tujuan nol emisi karbon pada tahun 2050.
Melansir dari Phys.org, delegasi yang terlibat dalam perundingan COP28 dihadapkan pada diskusi yang lebih intens mengenai masa depan bahan bakar fosil selama dua minggu ke depan.
"Semua orang berpegang pada posisi tradisional mereka," ujar seseorang yang tidak mau disebutkan namanya.
Namun, dalam sektor energi bersih, lebih dari setengah negara telah berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan secara global dan meningkatkan efisiensi energi pada tahun 2030, demikian disampaikan oleh Presiden Uni Emirat Arab (UEA) di COP28.
Tetapi, beberapa produsen minyak terbesar seperti Arab Saudi, Rusia, dan Iran tidak bergabung, dan konsumen utama seperti Tiongkok juga tidak termasuk dalam daftar tersebut.
"Saya memang membutuhkan lebih banyak hal, dan saya dengan hormat meminta semua pihak untuk ikut serta sesegera mungkin," ujar Presiden COP28 Sultan Al Jaber kepada para delegasi.
Ini Dampak Deforestasi Hutan Amazon terhadap Pemanasan Iklim
Menurut penelitian terbaru yang dilakukan oleh tim ilmuwan dari Inggris dan Brasil yang dipimpin oleh Dr. Edward Butt dari University of Leeds, deforestasi di Amazon menyebabkan peningkatan pada suhu permukaan tanah hingga jarak 100 km.
Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa hutan tropis memainkan peran penting dalam menurunkan suhu permukaan tanah, dan efeknya dapat dirasakan dalam jarak yang cukup jauh.
 Melansir dari Phys.org, saat hutan tropis ditebang, suhu di sekitarnya cenderung naik. Dalam penelitian terbaru ini, para ilmuwan ingin mencari tahu apakah penebangan hutan di Amazon menyebabkan suhu permukaan tanah meningkat dalam jarak yang lebih jauh. Mereka menginvestigasi untuk melihat dampak kehilangan hutan hingga jarak 100 kilometer.
Dr. Butt, peneliti di School of Earth and Environment di Leeds, mengatakan, "Memahami dampak hilangnya hutan di Amazon sangatlah penting."
"Dunia semakin panas akibat perubahan iklim. Penting bagi kita untuk memahami bagaimana deforestasi di ekosistem Amazon berkontribusi terhadap pemanasan iklim. Jika deforestasi menyebabkan pemanasan wilayah sekitar, hal ini akan berdampak besar bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, " jelas Dr. Butt.
Advertisement