, Dubai - Konferensi COP28 di Dubai ditandai perdebatan alot soal naskah akhir, terutama mencari kompromi antara tuntutan negara-negara berisiko, yang khawatir akan kepunahan akibat naiknya permukaan laut, sampai tuntutan negara-negara penghasil minyak, terutama Arab Saudi, yang tetap ingin mengekspor minyak bumi.
Namun Presiden Konferensi Iklim PBB COP28 dari Uni Emirat Arab, Sultan Al Jaber, akhirnya mengetuk palu sebagai tanda bahwa dunia telah mencapai konsensus. Setelah 13 hari perundingan dan beberapa malam perundingan alot di Dubai.
Baca Juga
"Anda benar-benar mengambil tindakan, Anda menunjukkan fleksibilitas, Anda mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi," kata Sultan Al Jaber, yang peran gandanya sebagai pimpinan perusahaan minyak nasional Uni Emirat Arab menimbulkan banyak kritik di kalangan aktivis lingkungan, mengutip dari DW Indonesia, Kamis (14/12/2023).
Advertisement
Sultan Al Jaber menggambarkan kesepakatan yang dicapai tersebut sebagai upaya membawa "perubahan transformasional" terhadap iklim. "Kami telah membantu memulihkan kepercayaan terhadap multilateralisme, dan kami telah menunjukkan bahwa umat manusia dapat bersatu," katanya.
Kepala bidang iklim Uni Eropa Wopke Hoekstra menyebut kesepakatan tersebut sesuatu yang "sudah lama tertunda”, dan mengatakan bahwa konferensi iklim memerlukan waktu hampir 30 tahun untuk "sampai pada awal berakhirnya pengunaan bahan bakar fosil".
Naskah deklarasi akhir sekarang menyerukan "transisi dari bahan bakar fosil ke dalam sistem energi, dengan cara yang adil, teratur dan merata".
Dalam rancangan naskah sebelumnya, transisi bahan bakar fosil ke energi terbarukan ini tidak disebutkan.
Perluasan Aksi
Kesepakatan ini juga menyerukan perluasan tindakan "dalam dekade kritis ini" dan berkomitmen untuk tidak menghasilkan lagi emisi gas rumah kaca pada tahun 2050, dengan harapan dapat memenuhi tujuan yang semakin sulit dicapai, yaitu mengendalikan kenaikan pemanasan global pada kisaran 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.
Perunding dari Kepulauan Marshall telah memperingatkan, rancangan naskah kesepakatan sebelumnya menandai "surat perintah kematian” bagi negaranya, yang letaknya hanya 2,1 meter di atas permukaan laut. Namun negara pulau-pulau kecil tetap mengeritik naskah akhir. Seorang perwakilan dari Samoa mengkritik karena menilainya terlalu lemah.
"Kami telah membuat kemajuan bertahap dibandingkan bisnis seperti biasa, ketika apa yang benar-benar kami butuhkan adalah langkah perubahan eksponensial," kata kepala perunding Samoa Anne Rasmussen, mewakili negara-negara kepulauan tersebut, yang mendapat tepuk tangan meriah.
Advertisement
Diklaim Lebih Kuat dari Rancangan Naskah Awal, Kurangi Konsumsi dan Produksi Bahan Bakar Fosil
Brasil, yang akan memimpin perundingan iklim pada tahun 2025 di Amazon mengatakan, negara-negara kaya kini harus memenuhi janji iklim penting lainnya, yaitu memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang yang paling terkena dampak perubahan iklim.
Utusan iklim AS John Kerry memuji kesepakatan tersebut sebagai tanda bahwa dunia yang dilanda perang dapat bersatu demi kebaikan bersama.
"Saya pikir semua orang harus setuju bahwa ini jauh lebih kuat dan lebih jelas untuk seruan 1,5 derajat, dibandingkan yang pernah kita dengar sebelumnya, dan ini jelas mencerminkan apa yang dikatakan ilmu pengetahuan," kata Kerry.
Naskah tersebut tidak mendukung seruan selama KTT untuk "menghapuskan" minyak, gas dan batu bara, yang bersama-sama menyumbang sekitar tiga perempat emisi yang bertanggung jawab atas krisis iklim. Namun naskah hasil konsensus jauh melampaui rancangan yang diajukan Sultan Al Jaber sebelumnya, yang hanya menyarankan agar negara-negara penandatangan kesepakatan iklim "bisa" mengurangi konsumsi dan produksi bahan bakar fosil.
Perjanjian tersebut juga memperjelas tujuan jangka pendek untuk mencapai sasaran nol emisi pada tahun 2050.
Perjanjian itu menyerukan dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 43 persen pada tahun 2030 dibandingkan dengan tingkat emisi pada tahun 2019.