Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menegaskan kembali tekadnya untuk melancarkan serangan di Rafah, menentang kritik internasional. Kota itu dipenuhi oleh sekitar 1,5 juta warga Palestina dari wilayah lain di Jalur Gaza yang mencari perlindungan.
Pernyataannya muncul ketika Kanselir Jerman Olaf Scholz dalam perjalanannya ke Timur Tengah dan terang benderang menegaskan kembali penolakannya terhadap rencana Netanyahu.
Baca Juga
Sementara itu, Netanyahu menyatakan tidak ada tekanan internasional yang akan menghentikan Israel dalam mencapai semua tujuan perangnya.
Advertisement
"Jika kita menghentikan perang sekarang sebelum mencapai semua tujuannya, artinya Israel telah kalah perang dan kami tidak akan membiarkan hal ini terjadi," kata Netanyahu dalam rapat kabinet, seperti dilansir BBC, Senin (18/3/2024).
Dia mengatakan Israel harus bisa melanjutkan perangnya dengan tujuan melenyapkan Hamas, membebaskan semua sandera, dan memastikan Jalur Gaza tidak lagi menjadi ancaman.
"Untuk mencapai itu, kita juga akan beroperasi di Rafah," ujarnya.
Netanyahu menuturkan serangan ke Rafah akan terjadi dan memakan waktu beberapa minggu.
Lebih lanjut, Netanyahu mengecam para pengkritiknya dengan mengatakan kepada mereka, "Apakah ingatan Anda begitu pendek? Begitu cepatnya Anda melupakan (serangan Hamas 7 Oktober 2023), pembantaian terburuk yang dilakukan terhadap orang Yahudi sejak Holocaust."
Serangan yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 250 orang telah memicu perang Hamas Vs Israel terbaru yang bergulir hingga hari ini. Otoritas kesehatan Jalur Gaza mengatakan lebih dari 31.400 orang tewas sejak serangan balasan Israel pada hari yang sama.
Adapun Netanyahu bertemu dengan Kanselir Scholz pada Minggu (17/3).
Berbicara kepada wartawan dalam konferensi pers bersama, Scholz mengatakan dia menyampaikan kepada Netanyahu tentang perlunya memberikan pasokan bantuan kemanusiaan yang komprehensif kepada warga Jalur Gaza. Dia menekankan kondisi distribusi bantuan harus diperbaiki secara mendesak dan besar-besaran.
Kesepakatan pembebasan sandera Israel, kata Scholz, harus dilakukan bersamaan dengan gencatan senjata jangka panjang di Jalur Gaza dan logika kemanusiaan harus dipertimbangkan sebelum serangan darat di Rafah.
Pada kesempatannya, Netanyahu mengatakan, "Tujuan (Israel) dalam melenyapkan batalion teroris yang tersisa di Rafah sejalan dengan memungkinkan penduduk sipil meninggalkan Rafah. Ini bukanlah sesuatu yang akan kami lakukan sambil membiarkan populasi tetap di tempatnya."
WHO Bujuk Israel Atas Nama Kemanusiaan
Rencana Israel menyerang Rafah telah banyak dikritik oleh masyarakat internasional, di mana PBB dan Amerika Serikat (AS) juga memperingatkan bahwa tindakan itu bisa menjadi bencana.
Sekretaris Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Jumat (15/3) meminta Israel "atas nama kemanusiaan" untuk tidak melancarkan serangan ke Rafah.
Di lain sisi, AS mengaku mereka belum melihat rencana rinci Israel atas Rafah dan Presiden Joe Biden telah memperingatkan Israel agar tidak memperluas invasinya ke kota tersebut, menyebutnya sebagai "garis merah". Fakta lain adalah hubungan antara Israel dan AS semakin renggang.
Presiden Biden mendukung kecaman luar biasa yang dilontarkan Chuck Schumer, pemimpin mayoritas Senat, yang menyerukan pemilu baru di Israel. Jika pemilu diselenggarakan, Netanyahu dipercaya akan tersingkir.
Namun, Netanyahu dilaporkan yakin bahwa dia masih didukung oleh kelompok lobi AS yang pro-Israel. Bagaimanapun, Netanyahu dinilai harus bersiap karena ketika Pilpres AS semakin dekat, pemerintahan Biden bukan tidak mungkin dapat memutuskan menenangkan warga AS yang frustrasi dengan dukungannya terhadap Israel dan mulai membatasi bantuan militer.
Advertisement
Pulau Kemanusiaan?
Kantor Netanyahu menyetujui rencana operasi militer di Rafah pada Jumat dan menambahkan pihaknya sedang mempersiapkan evakuasi warga sipil.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan berencana memindahkan pengungsi Palestina di Jalur Gaza ke tempat yang mereka sebut "pulau kemanusiaan" di tengah jalur tersebut. Tidak jelas seperti apa bentuk "pulau" tersebut atau bagaimana cara pengoperasiannya.
Berbicara di Yordania sebelumnya, Kanselir Scholz merujuk pada perlunya gencatan senjata yang bertahan lebih lama.
Pembicaraan gencatan senjata diperkirakan akan dilanjutkan di Qatar dalam beberapa hari mendatang. Israel berencana mengirimkan delegasi untuk bergabung dalam perundingan tersebut, namun para menteri belum menyetujui mandatnya.
Israel menghadapi kritik yang meningkat atas jumlah korban sipil di Gaza, serta kurangnya bantuan yang memicu kelaparan.
Netanyahu Dicerca Dunia
Merespons pernyataan Schumer, Netanyahu menyebutnya sama sekali tidak pantas dan sudah seharusnya mereka berupaya menjatuhkan tirani Hamas.Sikap Netanyahu tersebut dianggap sebagai pola perilaku: membalas kritik dan berusaha bertahan di tengah meningkatnya tekanan di dalam dan luar negeri.
Netanyahu sendiri semakin dikepung. Dia dicaci oleh anggota pemerintahannya sendiri, oleh keluarga para sandera, dan sekutu Barat yang sudah kehabisan kesabaran.
Dorongan Netanyahu untuk melanjutkan perang di Jalur Gaza disebut dipengaruhi fakta bahwa kabinetnya berisi para menteri sayap kanan, yang memang lebih suka berperang. Mereka meyakini bahwa warga Israel yang trauma atas serangan 7 Oktober masih mendukung serangan ke Jalur Gaza.
Analisis lain menyebutkan bahwa sangat mungkin pula Netanyahu berbicara keras soal Rafah demi meningkatkan tekanan terhadap Hamas sebelum perundingan gencatan senjata baru di Doha.
Netanyahu diyakini tahu persis bahwa ketika perang berakhir, karier politiknya juga akan berakhir menyusul rentetan skandal yang menerpanya, termasuk korupsi.
Advertisement