Liputan6.com, Bamako - Junta militer Mali yang berkuasa pada hari Kamis (11/4/2024), melarang media melaporkan aktivitas partai dan asosiasi politik, sehari setelah mereka menangguhkan semua aktivitas politik di negara tersebut hingga pemberitahuan lebih lanjut.Â
Perintah tersebut disebarkan melalui media sosial dan berlaku untuk semua bentuk media, termasuk televisi, radio, online, dan cetak.Â
Mali telah mengalami dua kudeta sejak tahun 2020, yang menyebabkan gelombang ketidakstabilan politik yang melanda Afrika Barat dan Tengah dalam beberapa tahun terakhir. Selain masalah politiknya, negara ini juga berada dalam cengkeraman pemberontakan yang semakin parah oleh kelompok militan yang terkait dengan al-Qaeda dan ISIS.Â
Advertisement
Cakupan larangan tersebut – atau bagaimana penerapannya dalam praktiknya – masih belum jelas. Juga tidak diketahui apakah jurnalis masih diizinkan untuk melaporkan isu-isu seperti ekonomi, yang terkait erat dengan politik, dan siapa yang akan memantau pekerjaan mereka.
Organisasi payung yang mewakili jurnalis di Mali menolak perintah tersebut. Kelompok, yang dikenal sebagai Maison de le Press atau Press House meminta jurnalis untuk terus melaporkan situasi politik di Mali. Pernyataan yang sama juga mendesak mereka untuk berdiri tegak, tetap bersatu, dan melakukan mobilisasi untuk membela hak warga negara memiliki akses terhadap informasi. Demikian seperti dilansir AP, Jumat (12/4).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Mali pada Kamis turut mengungkapkan penyesalan dan keprihatinan mendalam atas keputusan junta militer Mali. Mereka memperingatkan bahwa hal ini berbahaya.
"Alih-alih menenangkan iklim sosial, pembatasan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan ini berpotensi menimbulkan masalah dan ketegangan, yang tidak diperlukan oleh negara ini," sebut Komisi HAM Mali.
Reaksi Balik atas Ketidakpuasan
Tindakan keras terhadap media mengikuti tindakan serupa pada hari Rabu (10/4), ketika junta militer Mali memerintahkan penangguhan semua kegiatan partai politik sampai pemberitahuan lebih lanjut, dengan alasan perlunya menjaga ketertiban umum. Berita tersebut disiarkan di televisi pemerintah ketika masyarakat sedang merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Para analis mengatakan langkah ini kemungkinan merupakan reaksi balik terhadap tokoh-tokoh politik, masyarakat sipil dan mahasiswa yang telah menyatakan frustrasi atas kegagalan junta militer Mali mengembalikan negara ke pemerintahan demokratis seperti yang dijanjikan.
"Dalam beberapa minggu terakhir terdapat tekanan yang meningkat dari partai-partai dan tokoh-tokoh politik," kata Rida Lyammouri dari Policy Center for the New South kepada AP.Â
"Untuk pertama kalinya, masyarakat dan politikus secara terbuka mengkritik para pemimpin junta dan menuduh mereka kurang serius."
Advertisement
Pemilu Dibatalkan
Kolonel Assimi Goita, yang mengambil alih kekuasaan setelah kudeta kedua pada tahun 2021, berjanji mengembalikan negara ke demokrasi pada awal tahun 2024. Namun, pada September, junta militer membatalkan pemilu yang dijadwalkan pada Februari 2024 tanpa batas waktu, dengan alasan perlunya persiapan teknis lebih lanjut.
Junta militer Mali berjanji mengakhiri pemberontakan yang muncul pada tahun 2012 setelah menggulingkan pemerintahan terpilih. Negara ini memutuskan hubungan militer dengan Prancis di tengah meningkatnya rasa frustrasi terhadap kurangnya kemajuan setelah pemberian bantuan selama satu dekade. Mereka beralih ke kontraktor Rusia, tentara bayaran dari kelompok Wagner, untuk mendapatkan dukungan keamanan. Namun, para analis mengatakan kekerasan semakin memburuk.Â
Amerika Serikat (AS) mengatakan pihaknya "sangat prihatin" dengan larangan kegiatan politik di Mali.Â
"Kebebasan berekspresi dan kebebasan berserikat sangat penting bagi masyarakat terbuka," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Matthew Miller kepada wartawan di Washington.