Longsor Picu Megatsunami 198 Meter di Greenland dan Kirim Gelombang Seismik ke Seluruh Dunia, Bumi Bergetar 9 Hari

Gelombang seismik usai megatsunami di Greenland timur yang terpencil yang dirasakan di seluruh dunia telah menarik perhatian para peneliti.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 13 Sep 2024, 20:43 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2024, 20:43 WIB
Arti Mimpi Melihat Tsunami Berdasarkan Tekanan Bencananya
Ilustrasi tsunami di Greenland. (Credit: pexels.com/Matt)

Liputan6.com, Nuuk - Pada September 2023, sebuah megatsunami terjadi di Greenland timur yang terpencil, akibat tanah longsor di Dickson Fjord. Runtuhnya puncak gunung setinggi 1.200 meter ke fjord Dickson. Hal itu dilaporkan telah memicu gelombang seismik di seluruh dunia yang menarik perhatian para peneliti.

Peristiwa tersebut, seperti dikutip dari laporan scitechdaily.com, Jumat ((13/9/2024), menghasilkan dua sinyal seismik yakni sinyal berenergi tinggi dari tanah longsor dan Very Long Period (VLP) signals atau sinyal VLP yang bertahan lama dari seiche di Fjord. Temuan tersebut menawarkan wawasan baru tentang risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan tanah longsor di Greenland.

Menurut laporan baru di The Seismic Record, peristiwa tersebut menciptakan gelombang berosilasi selama seminggu di Dickson Fjord. 

Adalah Angela Carrillo-Ponce dari Pusat Penelitian Geosains Jerman GFZ dan rekan-rekannya yang mengidentifikasi dua sinyal berbeda dalam data seismik dari peristiwa tersebut: satu sinyal berenergi tinggi yang disebabkan oleh longsoran batu besar yang menghasilkan tsunami, dan satu sinyal very long-period (VLP) yang berlangsung lebih dari seminggu.

Analisis mereka terhadap sinyal VLP—yang terdeteksi sejauh 5.000 kilometer (3.100 mil)—menunjukkan bahwa tanah longsor dan tsunami yang dihasilkan menciptakan seiche, atau gelombang berdiri yang berosilasi di badan air. Dalam kasus ini, seiche bergolak selama berhari-hari di antara pantai Dickson Fjord.

"Fakta bahwa sinyal gelombang yang dipicu oleh tanah longsor di daerah terpencil Greenland dapat diamati di seluruh dunia dan selama lebih dari seminggu sangat menarik, dan sebagai seismolog, sinyal inilah yang paling menarik perhatian kami," kata Carrillo-Ponce.

"Analisis sinyal seismik dapat memberi kita beberapa jawaban terkait proses yang terlibat dan bahkan dapat mengarah pada peningkatan pemantauan kejadian serupa di masa mendatang. Jika kita tidak mempelajari kejadian ini secara seismik, maka kita tidak akan mengetahui tentang seiche yang dihasilkan dalam sistem fjord," tambahnya.

Getarkan Bumi Sembilan Hari

Situs CNN menyebut mencairnya gletser pemicu tanah longsor besar yang memicu tsunami besar setinggi 650 kaki atau sekitar 198 meter di Greenland September 2023 lalu. Kemudian muncul sesuatu yang tidak dapat dijelaskan: getaran misterius yang mengguncang planet Bumi selama sembilan hari.

Selama setahun terakhir, puluhan ilmuwan di seluruh dunia telah mencoba mencari tahu sinyal apa ini.

Sekarang mereka memiliki jawabannya, menurut sebuah studi baru dalam jurnal Science, dan ini memberikan peringatan lain bahwa Arktik memasuki "perairan yang belum dipetakan" karena manusia mendorong suhu global semakin tinggi.

The Guardian melaporkan bahwa peristiwa gelombang seismik tersebut terdeteksi oleh sensor gempa bumi di seluruh dunia, tetapi benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya sehingga para peneliti awalnya tidak tahu apa yang menyebabkannya.

Setelah memecahkan misteri tersebut, para ilmuwan mengatakan bahwa hal itu menunjukkan bagaimana pemanasan global telah berdampak pada skala planet BUmi dan bahwa tanah longsor besar mungkin terjadi di tempat-tempat yang sebelumnya diyakini stabil karena suhu meningkat dengan cepat.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Bantu Peneliti Perihal Dampak Tanah Longsor di Greenland

Gambaran umum stasiun seismik di Greenland (segitiga hitam), lokasi tsunami (lingkaran merah) dan stasiun seismik terdekat (segitiga merah), yang sinyalnya terdeteksi. (Angela Carillo Ponce dan rekan)
Gambaran umum stasiun seismik di Greenland (segitiga hitam), lokasi tsunami (lingkaran merah) dan stasiun seismik terdekat (segitiga merah), yang sinyalnya terdeteksi. (Angela Carillo Ponce dan rekan)

Temuan dua sinyal ini, seperti diberitakan scitechdaily.com, disebut akan membantu para peneliti saat mereka mempelajari dampak tanah longsor di Greenland dan wilayah serupa di seluruh dunia, tempat pemanasan global dan hilangnya lapisan tanah beku permanen pemicu lereng berbatu dan gletser semakin tidak stabil.

Di Greenland bagian barat, tsunami baru-baru ini menimbulkan konsekuensi yang menghancurkan, seperti peristiwa Karrat Fjord tahun 2017, tempat longsor menyebabkan tsunami yang membanjiri Desa Nuugaatsiaq dan menewaskan empat orang. Megatsunami setinggi lebih dari 100 meter (330 kaki) di lepas pantai timur Greenland juga telah mencapai Eropa.

Megatsunami pada 16 September 2023 terjadi di Dickson Fjord di bagian terpencil Greenland Timur, dan pertama kali tercatat dalam unggahan media sosial dan laporan tentang gelombang yang menghantam instalasi militer di Pulau Ella.

Carrillo-Ponce dan rekan-rekannya mempelajari sinyal seismik dan citra satelit dari area tersebut untuk menemukan dan merekonstruksi rangkaian peristiwa secara tepat.

Analisis mereka terhadap sinyal seismik berenergi tinggi awal, dikombinasikan dengan citra satelit dari petak batu yang hilang di sepanjang tebing di sepanjang Dickson Fjord, memungkinkan mereka melacak arah tanah longsor saat tanah longsor tersebut mengangkat es gletser dan menjadi longsoran campuran batu es sebelum mencapai air.

Longsoran megatsunami yang dihasilkan mencapai lebih dari 200 meter (650 kaki) di dekat titik masuk air dan rata-rata 60 meter (200 kaki) di sepanjang bentangan fjord sepanjang 10 kilometer (6 mil).


Sinyal Seismik dan Dampaknya yang Berkelanjutan

Gempa Bumi
Ilustrasi sinyal seismik. (iStockphoto)

“Meskipun kami dapat memperoleh informasi tentang arah dan besarnya gaya yang diberikan oleh tanah longsor, kami tidak memiliki data untuk menyelidiki penyebab awal tanah longsor,” kata Carrillo-Ponce.

Kekuatan, pola radiasi, dan durasi sinyal seismik VLP selanjutnya paling sesuai dengan skenario di mana tsunami menciptakan seiche yang berlangsung lama di fjord, demikian temuan para peneliti.

Adapun sinyal VLP telah diamati sebelumnya di Greenland, tetapi biasanya dikaitkan dengan runtuhnya gunung es akibat gempa bumi glasial. "Dalam kasus kami, kami juga mengamati sinyal VLP, tetapi perbedaan utamanya adalah durasinya yang panjang,” jelas Carrillo-Ponce.

"Sangat mengesankan melihat bahwa kami dapat menggunakan data berkualitas baik dari stasiun yang terletak sejauh Jerman, Alaska, dan Amerika Utara, dan bahwa rekaman tersebut cukup kuat setidaknya selama satu minggu," tutur  Carrillo-Ponce.

Para peneliti mengatakan pendekatan mereka mungkin terbukti berguna dalam mempelajari peristiwa masa lalu yang serupa, dan kemungkinan kaitannya dengan perubahan iklim dan lingkungan.

"Kami telah membandingkan hasil kami dengan data penginderaan jarak jauh untuk memvalidasi solusi kami, dan studi kami menunjukkan bahwa gaya yang dihasilkan oleh sinyal tersebut dapat diatasi dengan baik," kata Carrillo-Ponce. "Oleh karena itu, analisis ini menjadi berguna karena sinyal seismik berisi informasi tentang jenis sumber yang menghasilkan sinyal dan bagaimana energi tersebut diradiasikan."


Tak Ada Korban Jiwa

Ilustrasi Perubahan Iklim, Gunung Es Mencair. Kredit: Markus Kammermann via Pixabay
Ilustrasi Perubahan Iklim, Gunung Es Mencair. Kredit: Markus Kammermann via Pixabay

Tidak ada yang terluka oleh longsor atau megatsunami akibat puncak gunung runtuh ke laut di Greenland. Tetapi menurut laporan Daily Mail, gelombang setinggi 650 kaki itu telah menghancurkan infrastruktur senilai sekitar $200.000 di stasiun penelitian yang tidak berpenghuni di Pulau Ella.

Terlebih lagi, peristiwa itu terjadi di dekat rute yang biasa dilalui oleh kapal pesiar. Jika ada yang berlayar saat ini, itu bisa menyebabkan tragedi.

"Ketika kami memulai petualangan ilmiah ini, semua orang bingung dan tidak ada yang tahu sedikit pun apa yang menyebabkan sinyal ini," kata Kristian Svennevig, penulis utama studi dan ahli geologi di Survei Geologi Denmark dan Greenland.

Svennevig dan rekan-rekannya kini yakin bahwa perubahan iklim menjadi pemicu longsor ini dengan mencairkan gletser di kaki gunung dan menyebabkan ketidakstabilan es dan batu yang cukup untuk mengisi 10.000 kolam renang Olimpiade.

Seiring meningkatnya suhu global yang terus mencairkan wilayah kutub Bumi, longsor yang merusak seperti ini bisa menjadi lebih umum.

Tim peneliti menerbitkan temuan mereka 12 September di jurnal Science.

Ketika jaringan pemantauan seismik pertama kali mendeteksi aktivitas tersebut, para ilmuwan bingung karena dua alasan.

Pertama, sinyalnya jauh lebih menyebar daripada coretan rapat yang biasa dihasilkan gempa bumi pada seismograf - perangkat yang digunakan untuk merekam guncangan tanah.

"Gempa itu berosilasi dengan interval 92 detik di antara puncaknya, terlalu lambat untuk dirasakan manusia," menurut pernyataan dari University of California San Diego, salah satu lembaga yang berkontribusi pada penelitian tersebut.

Kedua, sinyalnya tetap kuat selama sembilan hari berturut-turut. Peristiwa seismik yang umum terjadi jauh lebih cepat - gempa bumi rata-rata hanya berlangsung beberapa detik hingga menit.

Ilmuwan di seluruh dunia pun segera mulai bekerja untuk mengungkap sinyal aneh ini.

Diskusi daring akhirnya memunculkan laporan tentang tanah longsor besar yang terjadi di gunung yang menghadap ke fjord terpencil di Greenland Timur pada 16 September 2023.

Untuk menentukan apakah tanah longsor itu terkait dengan guncangan misterius tersebut, tim peneliti yang dipimpin oleh Svennevig merekonstruksi tanah longsor dan guncangan yang dihasilkan secara digital. Mereka melakukannya dengan menggunakan kombinasi rekaman seismik dari seluruh dunia, pengukuran lapangan, citra satelit, dan simulasi komputer.

Para peneliti juga menggunakan superkomputer untuk mensimulasikan mega-tsunami setinggi 650 kaki yang dipicu oleh 33 juta meter kubik batu dan es yang menghantam fjord.

Gelombang tersebut menghantam bolak-balik di dalam fjord dalam fenomena yang dikenal sebagai seiche. Para peneliti menyimpulkan bahwa guncangan inilah yang menyebabkan rentang aktivitas seismik selama sembilan hari yang mengguncang Bumi tahun lalu. "Pada akhirnya, diperlukan banyak sekali pengamatan geofisika dan pemodelan numerik dari para peneliti di banyak negara untuk menyusun teka-teki dan mendapatkan gambaran lengkap tentang apa yang telah terjadi," kata salah satu penulis Robert Anthony, seorang ahli geofisika dengan program Bahaya Gempa Bumi Survei Geologi Amerika Serikat, dalam sebuah pernyataan.

Menurut para peneliti, temuan tersebut menunjukkan "bahaya yang kompleks dan berjenjang" yang didorong oleh dampak perubahan iklim pada wilayah kutub Bumi.

"Perubahan iklim mengubah apa yang biasa terjadi di Bumi, dan dapat memicu kejadian yang tidak biasa," kata salah satu penulis Alice Gabriel, seorang seismolog di University of California San Diego, dalam sebuah pernyataan.

Untungnya, tidak ada orang di daerah tersebut ketika tanah longsor besar dan tsunami yang diakibatkannya terjadi. Namun, insiden ini menekankan pentingnya memantau wilayah kutub saat perubahan iklim semakin cepat.

Infografis 10 Tsunami di Selat Sunda. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 10 Tsunami di Selat Sunda. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya