Stigma Negatif Masih Dirasakan Pasien Bibir Sumbing

Pasien dengan kondisi celah bibir dan langit-langit (CBL) masih hidup dengan stigma buruk dari masyarakat

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 08 Sep 2014, 16:00 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2014, 16:00 WIB
Celah Bibir dan Langit-langit
Pasien dengan kondisi celah bibir dan langit-langit (CBL) masih hidup dengan stigma buruk dari masyarakat

Liputan6.com, Jakarta Pasien dengan kondisi celah bibir dan langit-langit (CBL) masih hidup dengan stigma buruk dari masyarakat. Olokan serta cacian masih sering diterima orang dengan kondisi ini ketika bersosialisasi dengan orang lain.

Bahkan di televisi, entah disadari atau tidak oleh para pekerja seninya, kondisi dengan suara yang terdengar sengau dijadikan 'senjata' untuk memancing gelak tawa para penonton yang menyaksikannya.

Diakui mantan orang dengan kondisi CBL, Nidhal Syarifa (28) bahwa stigma dan pandangan miring terhadap orang yang memiliki kondisi sama seperti dirinya tidak hanya berasal dari orang yang berada di luar lingkungannya, melainkan juga berasal dari orangtua sendiri. Tidak sedikit orangtua yang belum mampu menerima kenyataan bahwa anak yang lahir dari rahimnya memiliki kondisi seperti itu.

"Sama seperti autisme, masih ada orangtua yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya lahir dengan kondisi seperti ini," kata Nidal kepada Health-Liputan6.com di Bandung, ditulis pada Senin (8/9/2014)

Nidhal yang telah lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran (FKG-UNPAD) dan tengah bertugas di Puskesmas Tangkit, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi sebagai dokter gigi PTT Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengatakan, meski kondisi mereka seperti itu, sebenarnya mereka memiliki otak yang sama seperti orang pada umumnya. "Pembedanya, kami ini ada bekas operasi di mulut," kata dia menambahkan.

Hal senada pun diungkapkan Kepala SMF Bedah Mulut Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat, Asri Arumsari, drg, SPBM. Di mana stigma akan pasien dengan CBL masih sangatlah tinggi. Bahkan, kata dia, kondisi CBL dijadikan simbol kebodohan di Bali.

"Saat itu saya jalan ke Bali dan menemukan adanya topeng dengan kondisi CBL ini. Saya penasaran apa makna dari topeng itu, saya tanya, dan mereka menjawab bahwa itu simbol kebodohan," kata dia.

"Saya sedih mendengarnya," kata Asri menambahkan.

Tampaknya, apa yang dikatakan oleh Wakil dari Yayasan Pembina Penderita Celah Bibir dan Langit-langit (YPPCBL), Dr. Armyn Firman, SpA (K) adalah benar. Di mana operasi bukan satu-satunya jalan keluar dari masalah kondisi CBL, tanpa ada `bantuan` dari masyarakat yang mau menerima kehadiran pasien dengan CBL tanpa memandang sinis apa kondisi mereka.


"Memang operasi tidak cukup, tapi masalah medis, psikologis, dan sosial terus mengikuti sepanjang tumbuh kembang si pasien," kata Armyn.

"Di sini peran masyarakat sangat penting dalam meraih kehidupan sosial yang normal bagi pasien CBL," kata dia menambahkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya