Liputan6.com, Jakarta Rahmat Danu Andika pria lulusan Teknik Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sempat menginjakkan kakinya di pedalaman Halmahera Selatan dengan tujuan mulia, memberikan pendidikan kepada anak-anak di Pulau Bacan.
Tepat setahun ia menghabiskan waktunya menjadi wali kelas dari 23 anak di SDN Pelita, suka dan duka pun ia rasakan di pulau terpencil itu.
Kehidupan di sana tentu berbeda 180 derajat dari kondisi di kota seperti Jakarta Raya ini. Namun itu semua tidak menjadi beban untuk Dika, sapaan hangat pria berkulit cokelat itu.
Advertisement
"Saya tinggal di desa yang berisi 600-an orang penduduknya, desa kecil enggak ada sinyal, enggak ada listrik. Tetapi karena saya pergi dan sudah dipersiapkan, ya bagi saya itu bukan suatu masalah atau kesengsaraan gitu," ungkapnya kepada Health-Liputan6.com, Rabu (22/06/2016).
Tinggal dengan fasilitas seadanya bukan beban untuknya. Bahkan Dika menceritakan tinggal di lingkungan kecil seperti di Pulau Bacan bisa jauh dari kondisi stres.
"Ya, di sana enggak ada orang stres karena konsep kehidupan di sana (desa) dan di kota jauh berbeda. Di sini--di kota--jauh lebih kompleks kan, kita ngomongin pekerjaan ada berapa banyak pekerjaan di sini. Kalau di sana pekerjaan ya kalo enggak kepala desa atau guru dan petani, udah se-simple itu," jelasnya.
Berbeda dengan Jakarta, orang di kota harus mempersiapkan waktu sejauh mungkin agar tidak telat berangkat kerja. Menurut Dika pekerjaan di desa yang tidak banyak justru membuat orang di desa lebih bahagia.
"Mereka di sana kalau pagi mendung mereka tunggu hujan selesai sambil ngopi, baru berangkat kerja. Enggak ada yang marahin, mereka di sana kerja ngatur jamnya masing-masing," tutupnya.